24 - Last Seen

638 26 3
                                    

Seminggu sudah Aubry dirawat, sebenarnya dia hanya sakit kepala di waktu dan lokasi yang tidak tepat. Waktu itu Aubry memang sudah terbangun di pagi hari dengan denyutan kecil akibat kerap terbangun dengan mimpi-mimpi buruk, beberapa kali dia bahkan memimpikan Nikko, ya kembaran Nikki dengan warna rambut yang berbeda, mereka bertemu dibukit itu, Nikko hanya diam dan tersenyum, sesekali dalam mimpinya Nikko bahkan menarik tangannya ingin mengajak Aubry pergi, tapi suara-suara tanpa wujud Nikki mampu membuatnya tetap tinggal dan membiarkan Nikko pergi sendirian.

Mengambil ijazah hanyalah alasan, walaupun sebenarnya ijazah sarjananya memang sudah seharusnya diambil sejak sebulan yang lalu. Aubry hanya bosan selama dua hari tanpa kegiatan, tidak seperti di jakarta yang penuh jadwal Sunshine. Setelah mengambil Ijazahnya Aubry berniat langsung pulang, tapi di anak tangga teratas pandangannya muali berkunang-kunang sehingga menyebabkan dia jatuh berguling disekian banyak anak tangga hingga kepalanya terbentur keras pada tiang pegangan tangga terbawah yang terbuat dari beja persegi. Aubry masih sadar dan sempat terduduk sebentar, tapi kegelapan langsung menarik kesadarannya, Aubry tak ingat apapun kecuali dia tiba-tiba terbangun disebuah kamar rumah sakit dengan sakit kepala yang berdentam dan sekujur tubuh yang nyeri. Ibu yang menungguinya terlihat kusut dengan mata bengkak dan jilbab yang agak berantakan. Setelah ditanya ternyata dia tak sadarkan diri hampir 8 jam.

Sekarang yang dia tau adalah seminggu penuh selama dirumah sakit, denyutan dikepalanya tak kunjung hilang, bahkan untuk duduk pun Aubry tak sanggup melakukannya, Sakit dan sempoyongan adalah hal pertama yang menghantamnya jika dia bersikeras melakukan itu. Aubry yakin ada yang tidak beres dengan kepalanya, tapi selalu menahan diri untuk bertanya. Aubry ingin terus berprasangka baik, bahwa dia sehat dan bisa segera pulang setelah sakitnya mereda.

Siang ini setelah minum obat Aubry merasa sangat mengantuk dan segera terlelap setelah setengah jam berusaha menahan kantuk. Ibu selalu setia menemaninya sambil terus menerus memijit kepalanya, sering kali ibu menangis melihat kondisi putri terkasihnya itu, sering kali ibu terisak ketika Aubry tidur karena mendapati helai-helai rambutnya yang terlepas cukup banyak menyebabkan rambut panjang indahnya kian menipis, apalagi sekarang Aubry yang langsing semakin bertambah kurus.

Ibu jelas tau apa yang menimpa putrinya, segera setelah kejadian jatuh dari tangga itu ibu langsung menandatangani semua prosedur yang perlu dilakukan untuk menyelamatkan putrinya. Dan alangkah terkejutnya Ibu ketika hasil CT scan menunjukkan adanya pendarahan otak yang malaupun minimal tapi harus memperoleh perawatan intensif, belum lagi ada pembekuan darah dikepala akibat terbentur dimasa lalu ketika Aubry terjatuh dari ayunan yang ternyata merupakan penyebab Aubry begitu mudah terserang sakit kepala. Dokter memberikan dua opsi ketika itu, dengan obat ataupun operasi karena pendarahan dianggap masih minim. Ibu lebih memilih opsi pertama dengan alasan tidak tega, mana ada ibu yang tega melihat kepala anaknya di bedah dan rambut indah Aubry dibabat habis, bahkan Ibu dengan ikhlas dan senang hati akan bersedia menggatikan posisi putrinya itu. 

Sambil bersenandung sendu Ibu memijit pelan kepala Aubry yang tertidur sampai sebuah ketukan dipintu membuatnya kaget.

"Masuk aja", kata ibu lirih.

"Aubry.." Rana masuk lalu menghambur kesisi kanan tempat tidur Aubry. Sebelumnya dia kerumah Aubry dan mendapat kabar dari pak madun yang menjaga rumah bahwa sohibnya itu belum pulang dari rumah sakit.

"Ssssttt, dia baru tidur nak, ngantuk abis minum obat", ibu memperingatkan Rana yang kini sedang meneliti sahabatnya yang sedang tertidur lelap.

"Ya Allah bu, kenapa dia kayak gini sih? ibu kenapa nggak bilang Rana?", Rana kaget dan terpukul melihat kondisi Aubry.

"Ibu pengen bilang, tapi sering lupa, terlalu sibuk merawat Aubry", Ibu menjawab tanpa menatapnya, Rana tau beberapa hari ini banyak menangis dan sedikit tidur.

"Maafin Rana ya bu, nggak jagain Aubry dengan baik disana"

"Husss, ngapain minta maaf, mungkin emang udah harus begini nak", ibu tersenyum lirih, senyuman yang tak pernah menjangkau matanya.

"Udah seminggu Aubry ga balik, Rana mikir pasti dia masih sakit dan ternyata kenyataannya jauh lebih buruk dari dugaan Rana bu, sebenarnya Aubry kenapa?" Ibu bangkit dari sisi tempat tidur merapikan bajunya yang agak kusut lalu menarik tangan Rana keluar.

Mereka sekarang berada di taman rumah sakit, Rana duduk disebelah ibu dan dengan khusuk mendengarkan kondisi Aubry yang sebenarnya. Rana sangat shock dengan apa yang menimpa sohibnya itu.

"Rana udah bilang buat ct scan berkali-kali ke Aubry bu , tapi dia terus nolak dan bersikeras kalo dia sehat dan sakit kepalanya itu biasa-biasa aja"

"Dia emang gitu nak, saran ibu aja nggak pernah di dengerin, ibu juga nganggap kalo dia baik-baik aja, soalnya cepat sembuhnya kalo dia udah minum perda rasa sakit, tapi yah itu tadi, mungkin emang udah harus begini" , Ibu berusaha tegar dan berdoa dalam hati bahwa putrinya akan baik-baik aja.

"Aubry pasti sembuh bu, dia kan selalu semangat dan nggak gampang menyerah", Rana memeluk ibu, mencoba menyalurkan kekuatan yang sebenarnya juga tak dimilikinya kepada Ibu.

"Ibu takut Ran.." Ibu terisak keras dibahu Rana, menumpahkan kesedihan yang seminggu ini di tahannya.

"Ibu nggap perlu takut, ada Rana", katanya sambil mengelus punggung ibu yang bergetar.

"Ibu ngga mau tidur, karena tiap malam Ibu mimpi Aubry duduk di ayunan belakang rumah, hanya duduk tersenyum sambil bermain gitar, senyum malaikatnya bersinar-sinar, tapi ibu takut kalau tiap malam mimpi yang datang adalam mimpi yang sama", kalimat ibu membuat Rana terhenyak, mau tak mau dia terpaksa turut berfikiran negatif.

"Mimpi itu bunga tidur, mungkin ibu terlalu mikirin Aubry, dia pasti sehat koq", Ibu melepas pelukan Rana dan menatapnya lekat.

"Semoga ya nak.." Ibu bangkit dan berlalu mininggalkan Rana sendiri.

"Mungkin Aubry udah bangun, Ibu kekamar duluan ya", Rana mengangguk lalu menatap punggung ibu. Perlahan airmatanya jatuh, fikiran buruk dan kata-kata ibu menyergapnya dengan cepat, membuatnya terisak hebat. Dengan kasar ditariknya HP dari tas tangannya, tergesa-gesa memencet sebuah nomor yang ternyata tidak kunjung aktif, lalu dengan segera  menghubungi nomor lain yang mungkin bisa membantunya.

Mungkin beberapa chapter lagi cerita ini abis, keep reading and voting please.. 

White MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang