Bab 30

1.8K 318 28
                                    


Menjelang tengah malam Prilly baru keluar dari kamarnya, dia memang sengaja menunggu tengah malam supaya tidak ada yang melihatnya. Prilly berusaha menyembunyikan matanya yang bengkak dan juga minimalisir pertemuannya dengan Ali.

Prilly tidak ingin bertemu dengan Ali setidaknya untuk malam ini. Prilly masih sakit hati juga kesal dengan sikap abai Ali.

Memangnya pria itu siapa sampai berani melakukan hal itu padanya? Prilly tidak takut dipecat toh gajinya sudah di transfer oleh pria itu jadi jika dirinya dipecat ya sudah tinggal angkat kaki dan pergi dari rumah ini.

Prilly menggulung rambutnya dengan asal lalu dia cepol ditengah kepala. Prilly tidak perduli pada penampilan toh sudah tengah malam memangnya siapa yang akan melihat dirinya?

Prilly menghidupkan keran air lalu mulai membilas piring kotor yang bertumpuk di wastafel.

"Oh jadi lo Babu di sini?"

Prilly menghentikan gerakannya lalu menoleh menatap sosok wanita yang datang bersama Ali tadi. Laras.

Prilly hanya menatap sekilas sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya dia sedang malas meladeni siapapun saat ini apalagi orang luar seperti Laras ini. Tidak penting.

"Hei kalau orang nanya Jawab dong! Nggak diajarin sopan santun sama orang tua lo ya?!"

Byur!!

"Argh! APA YANG LO LAKUKAN SIALAN?!" Laras menatap tubuhnya yang basah karena di siram air cuci piring oleh Prilly.

"Itu ajaran sopan santun yang orang gue ajarkan untuk menghadapi orang-orang nggak tahu diri kayak lo!" Ucap Prilly dengan gaya santainya.

Laras mengepalkan kedua tangannya dia benar-benar kesal pada gadis kecil yang begitu berani menyiram dirinya dengan air cuci piring.

Sialan!

"Lo--"

"Apa? Lo mau ancam gue? Mau ngaduin gue ke Ali? Atau Mama Ratna? Sono aduin! Gue nggak takut nanti kita lihat siapa yang akan keluar dari rumah ini gue atau lo?!" Prilly menunjuk dirinya sebelum mengacungkan jarinya tepat di depan wajah Laras yang sudah memerah.

Laras kehilangan kata, dia tidak menyangka jika gadis kecil yang dianggap babu itu berani melawan dirinya seperti ini. Sialan! Benar-benar sialan!

"Mending lo enyah dari hadapan gue sebelum ajaran sopan santun gue yang lain keluar lagi." Usir Prilly dengan menggerakkan dagunya kearah pintu masuk dapur.

"Dan satu lagi jangan kelayapan di rumah orang lain itu nggak sopan apalagi disaat pemilik rumahnya sudah tidur semua. Orang tua lo nggak pernah ngajarin sopan santun ya? Padahal bokap lo Kades kan? Miris sekali." Prilly berdecak sok prihatin dengan wajahnya yang terlihat angkuh khas dirinya.

Laras nyaris menangis menghadapi gadis kurang ajar yang menatapnya begitu nyalang. Lihat saja dia akan balas Prilly nanti!

Dengan menghentakkan kakinya Laras beranjak meninggalkan Prilly yang langsung mendesah setelahnya. "Nah kan nambah-nambah kerjaan aja gue. Ck!"

Prilly menatap miris lantai dapur yang kotor karena air cuci piring yang dia pakai untuk menyiram wajah sok cantik Laras. Ck! Dosa lagi dia tengah-tengah malam ngumpatin orang lain.

Aish! Benar-benar menyebalkan.

***

Pagi sekali seperti biasa Prilly menyiapkan sarapan untuk penghuni rumah, sekarang Prilly tidak merasa bekerja di rumah Ali melainkan melakukan kegiatan sebagai seorang perempuan di rumahnya sendiri.

Bagaimana tidak, pagi sekali Ratna sudah datang menyambangi dirinya ke dapur lalu memaksa dirinya untuk membersihkan diri supaya terlihat cantik didepan calon suami.

Ratna tidak tahu jika mengingat Ali hati Prilly terus berdenyut nyeri namun untuk menjaga perasaan Ratna yang sudah dia anggap sebagai Ibunya sendiri maka Prilly tetap melakukan apa yang wanita itu perintahkan.

Dan sebagai gantinya Ratna lah yang memasak untuk sarapan pagi mereka.

Benar-benar mertua idaman sekali Ratna ini.

"Selamat pagi cantik."

Prilly sedikit terkejut ketika suara Tama terdengar begitu dekat di telinganya. "Ah selamat pagi Mas Tama." Prilly tersenyum lembut pada Tama yang langsung terpana melihat senyuman Prilly itu.

"Kamu beneran asisten rumah tangga?"

"Maksud Mas?"

Tama menggelengkan kepalanya. "Nggak Mas nggak yakin aja kamu asisten rumah tangga kamu cocoknya jadi artis tahu nggak."

Tawa Prilly terdengar merdu di telinga Tama juga telinga seseorang yang baru akan melangkah memasuki ruang makan namun urung karena terpaku pada tawa Prilly.

Tawa renyah Prilly mampu membuat jantungnya kembali berdebar kencang. Sial pagi-pagi dia sudah senam jantung saja.

"Apaan sih Mas Tama! Bisa aja." kata Prilly sambil menggelengkan kepalanya sebelum melanjutkan pekerjaannya menata makanan di atas meja makan.

Tama tidak juga menjauh dari Prilly justru dia semakin mendekatkan tubuhnya pada Prilly. "Mas serius. Kamu mau nggak jadi artis? Temen Mas ada yang punya rumah management khusus artis loh. Kamu cocok deh kerja di sana sebagai artis mereka." Tama semakin gencar merayu Prilly supaya mau bekerja dibawah naungan teman lamanya.

Prilly hanya tertawa menanggapi perkataan Tama yang sama sekali tidak menarik minatnya. Prilly tidak ingin menjadi artis dia tidak berminat karena Prilly sudah terlanjur menaruh minat untuk menjadi Ibu dari anak-anak Ali.

Wajah Prilly sontak memerah membayangkan dirinya yang sedang hamil dipeluk mesra oleh Ali yang dalam khayalannya baru pulang bekerja. Ah manis sekali.

"Ekhem! Jangan ganggu asisten gue kerja Tam!"

Prilly tersentak kaget ketika suara Ali terdengar begitu dingin menyapa telinganya. Apa kata Ali tadi asisten? Ah ya, Prilly lupa dimata Ali dirinya hanya asisten rumah tangga.

Prilly mengabaikan rasa sakit yang kembali menyerang ulu hatinya. Bukan salah Ali juga kan pria itu tidak tahu siapa dirinya lagian sejak awal memang dirinya asisten rumah tangga di sini kan? Dia datang sebagai asisten rumah tangga bukan sebagai calon istri Ali.

Prilly tetap melanjutkan pekerjaannya mengabaikan berbagai macam pikiran yang bermunculan di otaknya.

"Gue cuma mau nawarin dia pekerjaan." suara Tama yang beradu pendapat dengan Ali kembali terdengar.

"Jadi menurut lo bekerja di rumah gue itu bukan pekerjaan?" sinis Ali yang membuat Tama mengernyitkan dahinya. Ini Ali kenapa sih? Tiba-tiba datang langsung marah-marah kena sawan apa gimana sih dia? Pikir Tama.

"Ya pekerjaan tapi sayang aja gue lihat  Prilly memiliki cukup modal untuk menjadi seorang artis jadi kenapa nggak sekalian gue tawarin buat dia siapa tahu tahun Prilly sudah bergabung dengan jajaran artis papan atas." Tama mengeluarkan pendapatnya.

"Gue nggak setuju!" Tegas Ali dengan wajah kerasnya.

Tama tersenyum meremehkan. "Memangnya lo siapanya Prilly sampai Prilly harus ngedengerin pendapat lo?" Tantang Tama tanpa takut.

Prilly yang berada di antara pria itu langsung terpaku menanti jawaban yang akan keluar dari mulut Ali.

Please jawab Pak! Please...

*****

Permainan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang