Bab 36

1.8K 316 14
                                    


Setelah memakai pakaian rumahannya Prilly memberanikan diri keluar dari kamarnya menuruni tangga menuju ruang makan dimana Ayah dan Ibunya sedang berkumpul.

Prilly tidak tahu apa yang akan Ayahnya lakukan jika melihat dirinya di sini. Prilly sudah banyak melakukan kesalahan selama satu minggu ini bahkan dia nekad menjual mobil dan juga ponsel keluaran terbaru miliknya hanya untuk memutuskan komunikasi dengan orang tuanya.

Dia jahat bukan? Karena itu lah Tuhan memberikan balasan padanya. Dia sudah menyakiti hati orang tuanya maka selama satu minggu terhitung sejak dia meninggalkan rumahnya Prilly selalu digandrungi penderitaan sampai akhirnya Ali ikut melukai hatinya.

Ah, pria itu apa kabar hari ini? Senangkah Ali mengetahui dirinya sudah tidak tinggal dirumahnya lagi? Jelas senang dong ya kan ada Laras di sana.

Prilly mendengus pelan mengingat pria itu kembali membuat hatinya berdenyut sakit. Dengan cepat Prilly melangkah menuruni tangga rumahnya.

Begitu menapaki lantai bawah dengan cepat Prilly berjalan menuju ruang makan dan di sana dia melihat sang Ayah sedang duduk sepertinya beliau sedang menunggu kedatangan dirinya.

"Pa..pa." Suara lirih Prilly membuat Haris mendongak. Pria paruh baya itu menatap dalam putri yang selama satu minggu ini tidak dia lihat rupanya.

"Prilly putri Papa." Haris merentangkan kedua tangannya bersiap untuk menyambut putrinya yang kini menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

Melihat kedua tangan Ayahnya terentang lebar tanpa menunggu lama Prilly segera berlari dan menubruk tubuh Ayahnya. Di dalam pelukan sang Ayah Prilly meneteskan air matanya. Menggumamkan maaf berkali-kali pada sang Ayah.

"Maafin Prilly Pa. Maaf."

Haris tidak mengeluarkan sepatah katapun hanya pelukannya saja semakin mengerat pada tubuh mungil bidadari kecilnya.

"Papa sayang Prilly. Papa sayang kamu Nak." Runtuh sudah pertahanan sosok keras Haris Pratama. Di depan putri kecilnya satu persatu air mata menyusup keluar dari kelopak mata hitam legam itu.

Julia ikut menangis haru melihat suami dan putrinya tak tahan Julia ikut memeluk dua orang yang sangat berarti untuknya itu.

Haris melepaskan sebelah tangannya yang memeluk Prilly kini berpindah memeluk erat pinggang istrinya. Julia membenamkan wajahnya di leher suaminya.

Di dalam hati tak henti-hentinya dia mengucapkan syukur karena Tuhan berbaik hati dengan mengembalikan kebahagiaan dan juga keharmonisan keluarganya.

"Papa sayang kalian. Sayang sekali." Suara Haris terdengar serak dan sedikit bergetar. Pria itu tidak lagi memikirkan wibawanya karena di depan istri dan anaknya Haris adalah sosok manusia biasa yang hatinya mudah sekali tersentuh jika berkaitan dengan orang-orang yang dicintai olehnya.

"Prilly juga sayang Papa dan Mama. Prilly sangat menyayangi kalian. Maafkan Prilly." Air mata Prilly sudah membasahi baju yang dikenakan Haris.

Perasaan Prilly benar-benar terasa plong sekarang. Beban yang selama satu minggu ini menghantui dirinya terasa diangkat menyisakan kekosongan yang membuat dada Prilly terasa ringan.

Rasa sesak akibat penyesalannya pada kedua orang tuanya perlahan menghilang digantikan rasa syukur dan juga bahagia yang tak terhingga.

Semoga kebahagiaan ini terus mengiringi langkahnya termasuk Ali, Prilly ingin Ali menjadi bagian dari rasa bahagia untuknya entah itu esok, lusa atau nanti.

Biarlah waktu yang akan menjawab semuanya.

***

"Makanlah Keira!" Genta mulai kehabisan akal membujuk Keira untuk menelan makanannya. Keira semakin hari sikapnya semakin menyebalkan saja.

"Aku ingin kita segera menikah." Ujar Keira tanpa menatap Genta.

"Oke kita menikah! Tapi tolong jangan jadikan pernikahan kita sebagai ajang balas dendam kamu pada Prilly. Dendam kamu tidak beralasan Keira."

"Nggak beralasan kata kamu? Aku benci dengan kebahagiaan yang Prilly miliki. Aku benci dia bisa mendapatkan semuanya sedangkan aku." Keira menunjuk dirinya sendiri tatapan matanya berkobar nyalang pada Genta.

"Aku tidak mendapatkan apa-apa Genta! Tidak ada."sambungnya dengan dengusan kasar.

Genta meletakkan mangkuk berisi bubur yang sengaja dia siapkan untuk Keira lalu dia tatap Keira dengan tatapan lelahnya.

"Kamu nggak merasa bahagia bukan karena Prilly tapi karena diri kamu sendiri Kei. Kamu terlalu picik dalam berpikir dan yang paling parah kamu memiliki penyakit hati. Sikap iri hati kamu pada orang lain itu yang membuat hidup kamu jauh dari kebahagiaan. Sadarlah Kei!"

"Jadi menurut kamu semua ini salah ku?"

Dengan mantap Genta menganggukkan kepalanya. "Terlepas dari pengkhianatan yang kita lakukan pada Prilly sebaiknya kita meminta maaf Kei apa yang kita lakukan adalah sebuah kesalahan tapi kebencian kamu pada Prilly yang tidak berdasar itu akan menjadi jurang yang suatu saat akan menghancurkan kita semua termasuk anak kita." Genta tidak tahu lagi bagaimana harus menyadarkan Keira yang hatinya sudah ditutupi oleh kebencian pada Prilly.

"Kamu berkata seperti itu karena kamu mau balikan sama Prilly kan?"

Genta tersenyum kecut. "Andai bisa Kei." Keira membelalakan matanya, dia tidak menyangka jika Genta akan mengakui perasaannya segamblang itu.

"Andai Prilly masih mau menerimaku maka aku tidak akan berfikir dua kali untuk bersimpuh di kakinya memohon supaya dia mau menerima ku kembali tapi aku sadar sampai kapanpun Prilly nggak akan sudi menerima seorang pengkhianat seperti ku." Genta semakin melebarkan senyumannya yang penuh kemirisan.

Genta jahat? Iya katakan saja seperti itu tapi adakah yang tahu bagaimana rasa sakit yang setiap detik mendera tubuh dan hati Genta akibat penyesalan yang selalu menghantui dirinya.

Sampai detik ini Genta belum bisa melupakan Prilly termasuk kebodohannya yang memilih larut dalam kenikmatan sesaat yang ditawarkan Keira dan pada akhirnya Genta kehilangan permata hatinya.

Miris sekali bukan?

Genta sedang menuai karmanya. Balasan dari rasa sakit yang dia berikan pada Prilly. Dan Genta akui karma yang dia dapatkan benar-benar menyakitkan hingga terkadang Genta ingin mati saja.

"Tidurlah Kei! Kapanpun kamu ingin kita menikah bilang saja aku akan menyiapkan segalanya." Genta berkata sebelum berbalik meninggalkan Keira yang mengepalkan kedua tangannya.

Wajah Keira berubah merah, mati-matian dia berusaha menahan amarahnya didepan Genta. Begitu pintu kamarnya tertutup teriakan dan raungan Keira terdengar memekakkan telinga.

"Brengsek! Sialan! Wanita sialan! Aarrghhh!!!"

*****

Yang mau pdf ini bisa list yaa harga 55k.

Permainan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang