Bab 34

1.8K 354 32
                                    


"Sekarang apa lagi?"

"Maksud lo apa?"

"Lo seharian ini marahin para karyawan nggak ada kerjaan lain lo ya?"

Tama benar-benar sudah tidak tahan untuk tidak melabrak Ali karena seharian ini dia hanya mendengar aduan jika belasan karyawan bahkan ada beberapa karyawan wanita yang menangis setelah keluar dari ruangan Ali.

Tama baru sempat menyambangi ruang Ali ketika hari beranjak sore karena tadi tiba-tiba ada telfon masuk dari klien yang ingin membahas proyek baru mereka dan begitu tiba di kantor hanya aduan seperti inilah yang dia dapatkan.

Apa-apaan sih Ali.

"Lo berani negur bos lo sendiri? Nggak tau diri banget lo!" Hardik Ali yang dibalas dengusan terang-terangan oleh Tama. "Kenapa? Lo mau mecat gue iya? Karena gue nggak tahu diri lo mau tendang gue dari perusahaan lo iya begitu? Ya udah lo tendang gue sekarang!" Tantang Tama tak main-main.

Tama sangat mengenali watak Ali sahabatnya ini. Ali begitu buruk dalam mengontrol emosinya jika sedang marah Ali tidak akan perduli jika kata-kata yang keluar dari mulutnya itu menyakiti orang lain meskipun setelahnya Ali akan sangat menyesali kesalahannya.

Ali mendengus kuat-kuat sebelum mengalihkan pandangannya dari Tama yang masih berkacak pinggang didekat meja kerjanya.

"Keluar lo!"

"Nggak akan sebelum lo jelasin ke gue sebenarnya seharian ini lo kenapa?!"

Ali berdecak kesal menatap Tama dengan tatapan tajamnya. "Bukan urusan lo!"

"Jelas urusan gue karena gue ngerasa lo nggak profesional hari ini! Lo libatin karyawan kita yang nggak tahu menahu tentang masalah pribadi lo. Lo terlalu kekanakan hari ini Li sumpah!" mulut Tama juga tak kalah tajam dari mulut Ali. Mereka benar-benar sahabat yang sangat serasi ya?

Ali langsung beranjak dari kursinya. "Lo terlalu ikut campur urusan gue Tam!" Ali menuding jari di depan wajah Tama.

Dengan berani Tama menepis jari Ali yang mengacung di depan hidungnya. "Gue nggak akan ikut campur kalau sikap lo nggak kekanakan! Lo udah terlalu tua untuk uring-uringan kayak betina nggak jelas begini!" Balas Tama tanpa rasa takut.

"Brengsek!"

"Lo bajingan!"

Ali nyaris melemparkan laptop didepannya kearah Tama yang masih berdiri menantang dirinya dengan begitu berani.

Sialan! Kenapa hari ini semua begitu menyebalkan! Tidak Mamanya, tidak Prilly dan sekarang Tama sahabatnya!

Kesialan macam apa sih yang sedang merajai Ali saat ini!

Benar-benar sialan!

***

Ali mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang, setelah berdebat dengan Tama pria itu memutuskan untuk pulang kerumahnya.

Dia tidak bisa berlama-lama dalam satu ruangan dengan Tama bisa-bisa dia kalap dan berujung pertumpahan darah dengan Tama. Emosi Ali sedang buruk-buruknya saat ini.

Drrtt...

Drrrtt..

Ali mengabaikan ponselnya yang sudah berdering sejak tadi panggilan dari Laras. Wanita itu tak henti-hentinya menganggu dirinya seharian ini. Kepala Ali nyaris pecah memikirkan perjodohannya dengan Prilly ditambah Laras benar-benar membuat Ali muak.

Ali sudah mengirimkan orang kepercayaannya untuk menjemput wanita itu tapi dasar banyak maunya Laras meminta Ali yang khusus menjemput dirinya. Maaf saja Ali memiliki kesibukan yang jauh lebih penting daripada menjemput Laras.

Ali menekan klakson mobilnya begitu tiba di depan gerbang rumah mewahnya. Ali ingin berbicara dengan Prilly mengenai perjodohan mereka. Ali tidak tahu apa yang akan dia lakukan jika Prilly menerima perjodohan ini.

Jujur Ali belum sepenuhnya melepaskan Shania.

Dan bagaimana mungkin Ali sanggup menjalani hidupnya bersama Prilly sedangkan masa lalu masih terus membayangi dirinya.

Shania. Nama itu selalu berputar-putar di kepalanya bersanding dengan nama Prilly yang juga mulai menguasai otaknya.

Ali nyaris tumbang memikirkan masalah yang datang bertubi-tubi padanya.

"Prilly di mana Ma?" Begitu turun dari mobilnya yang sudah dia parkirkan di garasi rumahnya, Ali langsung bergerak menuju taman belakang dimana sang Ibu menghabiskan waktu jika sore menjelang.

Ratna hanya melirik putranya sebentar sebelum mengalihkan pandangannya kembali menatap riak air yang begitu tenang.

"Pulang."

"Pulang?" Beo Ali tak percaya. "Pulang kemana maksud Mama?"

"Ya kerumahnya lah memangnya kemana lagi. Tinggal di sini pun kamu abaikan jadi mending dia pulang lah." Ratna seketika sewot saat berbicara dengan putranya.

"Mama kenapa biarin Prilly pergi sih? Aku mau ngomong banyak sama dia." Ali jadi ikutan sewot.

Ratna berdiri dari duduknya menatap sang putra dengan tatapan bingungnya. "Mau bicara apa lagi kamu sama Prilly? Belum puas kamu sakitin hati dia dengan sikap pengecut kamu tadi pagi?"

"Ma.. Please kasih aku waktu untuk aku mencerna semuanya Ma. Ini terlalu tiba-tiba untukku." Ali meraup wajahnya dengan kasar, Ibunya ini keras kepala sekali jika sudah berkeinginan.

Ali tahu Ibunya menginginkan Prilly menjadi menantunya tapi Ali tidak bisa semudah itu mengabulkan permintaan sang Ibu.

Ali harus memikirkan semuanya termasuk benar-benar melepaskan Shania dan memulai semuanya dengan Prilly.

"Waktu untuk apa? Apa yang akan kamu cerna? Jujur, Mama mulai muak dengan drama kamu Nak." Ali tak percaya Ibunya bisa berkata sepedas itu padanya.

"Bertahun-tahun kamu memilih hidup dalam kubangan derita hanya karena satu orang wanita yang bahkan memikirkan kamu saja belum tentu." Ratna mati-matian berusaha menahan air matanya. Hatinya selalu sakit jika mengingat bagaimana sosok Shania meninggalkan putranya yang kala itu hanya orang biasa.

Ali tidak kaya seperti suami pilihan Shania. Wanita itu sudah bahagia sedangkan Ali--

Lihat putranya bertahun-tahun Ali hidup menderita dan Ratna muak dengan semua itu. Ratna benar-benar mulai muak tapi sialnya dia tidak bisa berbuat banyak ketika putranya sendiri memilih untuk tetap berkubang dalam penderitaan masa lalu sedangkan kebahagiaan -Prilly- di masa depan sedang menunggu.

Ali lebih rela membiarkan kebahagiaan itu menunggu tanpa dia sadar jika kebahagiaan itu tidak akan bersedia menunggu lama. Prilly bukan gadis biasa dan Ratna tahu diluar sana bukan hanya satu dua orang laki-laki yang mengharapkan Prilly.

Tapi dasar putranya saja yang bodoh yang menolak wanita sebaik Prilly hanya demi masa lalu yang sudah jelas membawa petaka.

Ratna menatap putranya dengan dalam. "Jika kamu ingin tetap di sini tanpa mau melangkah menuju masa depan silahkan Nak." Ali mendongak menatap Ibunya. "Tapi Ibu harap suatu saat nanti bukan penyesalan atau penderitaan lainnya yang kamu terima. Mungkin sekarang Prilly tidak berarti apa-apa untuk kamu tapi ingat  seseorang akan sangat terasa berati ketika dia sudah bukan milik kita. Jika masa itu tiba Mama harap kamu tidak akan menyesalinya."

*****

Alhamdulillah ternyata banyak sekali yang berminat pada cerita ini..

Untuk yg mau list po cerita ini silahkan chat ke wa ya 081321817808 untuk yang Transfer hari ini dan besok masih berlaku 1 pdf gratis ya bebas mau yang mana harga pdf 55k.

Terima kasih..

Permainan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang