"Escape From Hell"

25 3 0
                                    

Terdapat sembilan lampu sorot di langit-langit ruangan itu. Tiga di depan pintu masuk. Tiga diatas kepalanya dan tiga lagi di dalam ruangan loket. Hanya enam yang menyala. Padahal minggu kemarin rasanya ada delapan yang menyala.

Ruangan ini memang cukup nyaman bagi customer. Mungkin karena didominasi warna hijau. Kursinya pun cukup empuk di duduki. Apalagi untuk sosok bongsor sepertinya.

"Bapak Edo..."

Pikiran Edo teralih saat mendengar namanya dipanggil. Ia pun beringsut menghampiri loket. Menatap kosong ke arah petugas yang berdiri dihadapannya. Mereka terpisah kaca setebal 2,5 cm.

Petugas itu nampak sibuk menimbang-nimbang sesuatu digenggamannya dan kemudian mencatatkan sesuatu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Petugas itu nampak sibuk menimbang-nimbang sesuatu digenggamannya dan kemudian mencatatkan sesuatu. Lalu ia menatap Edo.

"Lima ratus ribu pak" ujarnya singkat.

Edo tersenyum getir. Kemudian ia mengangguk tidak bertenaga. Itu adalah liontin istrinya. Perhiasan terakhir yang harus digadaikan demi makan. Perhiasan terakhir dari sekian banyak harta yang harus dilepas demi menyambung hidup ini dari kebangkrutan.

Edo hanya mengangguk. Ia mengambil uang dan keluar dari kantor Pegadaian itu.

Diluar panas terik. Tinggal di Jakarta Utara memang butuh extra tenaga melawan panas. Belum lagi dengan proyek-proyek mall yang terus dikerjakan. Debu dimana-mana.

Edo langsung menyalakan Astrea Grand miliknya. Sebelum jalan ia memutar kepalanya ke kanan dan ke kiri. Mencari anaknya yang bermain entah kemana.

Semenit dua menit berlalu. Tak ada tanda-tanda anaknya itu muncul. Ia pun kembali mematikan motornya. Gusar ia pun turun. Mencari anaknya ke ruko samping. Tidak ada. Padahal perutnya sudah lapar sekali.

Lima menit ia menunggu disamping Sekolah KPS di Jalan Hybrida. Tetap tidak ada. Dengan kesal berjalan menuju daerah bubur Tangki. Tidak ada juga. Akhirnya ia kembali ke kantor Pegadaian. Menunggu sambil merokok.

15 menit kemudian anaknya yang baru berusia sepuluh tahun itu berlari dari kejauhan. Melambaikan tangannya ke arah ayahnya.

PLAK!!!

Tamparan itu tepat menghajar pipi anaknya yang langsung jatuh tersungkur.

Tapi anak itu tidak menangis. Ia hanya menatap dingin ke arah ayahnya. Tangannya nampak menggenggam permen lolipop yang ia beli di daerah tanah merah. Dekat kok sebenarnya. Namun Edo tidak mau mengerti. Kerah anak itu dicengkram lalu dinaikkan ke motor. Mereka pun pulang.

Sesampainya dirumah Edo langsung melemparkan uang itu ke istrinya. Buat makan. Katanya. Lalu ia kembali melihat anaknya semata wayang itu masuk rumah. Tanpa tedeng aling-aling ia kembali menempeleng anaknya itu hingga membentur tembok.

Anak sinting ini hilang lagi! makinya.

Istrinya ikut gusar. Ia melempar sebuah toples plastik ke arah anaknya yang sudah duduk terjatuh itu. Ngerepotin! serunya membela Edo. Anak itu hanya diam. Cerita ia digebuki bukan kali ini saja. Mungkin sejak ia masih kecil dan tidak tahu kapan berakhir.

Anak itu lalu naik ke kamarnya di lantai dua.

Rumahnya cukup bagus. 9 x 7 m di lantai satu. Totalnya 150 m dengan taman dan lantai dua. Orang tuanya sebetulnya berkecukupan. Tapi belakangan ayah sedang jatuh. Invoice kantor hukumnya banyak yang tidak dibayarkan. Belum lagi dengan reimbursement yang menggunung ternyata ditolak klien. Mereka kabur begitu saja.

Akhirnya ayah bangkrut. Banyak hutang sampai makan saja susah. Padahal ayahnya pengacara yang sangat berbakat. Semua orang mengakuinya. Sayangnya berbakat saja tidak cukup memberi makan.

Harus punya modal....

Di kamarnya ternyata ada Tina. Anak tetangga yang selalu dititipkan di rumah karena orang tuanya bekerja.

Tina sedang bermain dengan buku Donal Bebek yang belum dibacanya sekalipun. Agak robek kelihatannya.

Anak itu menarik napas. Marah. Tapi rencana yang sudah disusunnya ini tidak boleh gagal. Perlahan ia menghampiri Tina dan mengajaknya ke kamar mandi.

Kita main air yuk!

Sorenya anak itu ke kantor polisi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sorenya anak itu ke kantor polisi. Pikirannya sudah bulat. Rencana ini harus berhasil. Tekadnya.

Sesampainya di Polsek Kelapa Gading ia menyampaikan kepada Polisi bahwa ia sudah membunuh temannya sendiri denganmenenggelamkannya di kamar mandi. Saat ini mayat temannya itu ada dilemari.

Polisi jelas kaget dan memeriksa rumahnya. Ternyata benar. Keluarga pun heboh. Orang tua Tina tentu saja histeris. Anak itu akhirnya ditahan polisi. Persis seperti tujuannya selama ini.

Pergi dari rumah...

Pertanyaan demi pertanyaan datang bertubi-tubi dari para polisi.

"Kenapa kamu lakukan ini, dik?"

"Kenapa kamu tega?"

"Apa yang kamu rasakan sekarang?"

Gadis itu mengangkat wajahnya.

"Lega....." jawab Bunga sambil menatap polisi.

Dingin...

Dingin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sang Pengacara "Sembilan Naga"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang