"Dajjal"

29 6 0
                                    

Tak lama kemudian tamu-tamu itu pulang. Jana nampak masih sembab setelah berpisah dari Pak Soer. Ia diwajibkan pulang sebenarnya. Ia harus diisolasi karena situasi tidak aman. Tapi Jana menolak. Ia tidak mau meninggalkan Alex. 

Pak Soer menyerah. Ia pun menitipkan Jana pada dua bodyguard yang menunggu didepan pintu. Si kakak beradik Maloringan. Erick dan Semid. Mereka sudah dikenal Jana dari kecil. Mengabdi selama dua puluh tahun terakhir ini.

Jana sebetulnya tidak mau diawasi. Kaya anak kecil. Ribet. Tapi setidaknya itu membuatnya tidak perlu diisolasi. Akhirnya ia setuju. Setidaknya ia bisa kembali menemani Alex. 

Sambil mendesah lega Jana pun masuk ke ruangan pasien. Pintu dibiarkannya terbuka agar tidak repot jika tamu datang. Didalam ruangan terlihat Alex sedang melamun. Melihat nanar ke atas langit-langit kamar. Jana menghampirinya.

"Aku tau siapa dalang semua ini" ujar Jana sambil mengusap-usap kening Alex yang diperban. Alex mengangkat alisnya. Lalu Alex menjawab pelan. Agas sinis sebenarnya.

"Siapa?" Dwi?"

"Bukan kok" tegas Alex sambil tetap menatap nanar ke langit-langit.

Kemudian hening.

Sombong sekali. Pikir Jana lelah. Ia malas merespon. Ia hanya diam. Lalu ia beranjak pergi dari tepi ranjang Alex. Tapi tangannya malah dipegang erat.

"Maafin aku" lirih Alex.

Jana kembali tidak merespon. Ia menarik lengannya.

"Jana" kata Alex lagi. 

"Aku salah, Jan"

"Maaf..."

Jana menoleh pria itu. Wajahnya kali ini memelas. Tidak seperti biasanya yang angkuh seperti tak butuh pertolongan siapapun. Wajahnya kali ini nampak hancur. Jana ingat. Alex pernah cerita kalau ia memang sering mengalami perubahan mood secara mendadak. Itulah alasannya selalu menyendiri. Ia sering jatuh dalam jurang depresi yang tidak diketahui sebab musababnya.

Menurut ayahnya, kecelakaan saat ia kecil itulah sebabnya. Penderita brain injury memang sering jatuh dalam jurang depresi tanpa sebab. Alex sudah bisa menerima semua kenyataan itu. Termasuk insomnia, kuping berdenging dan sakit kepala yang selalu ia alami.

"Ada alasan kenapa aku selalu sendiri"

"Ada alasan kenapa aku selalu menjauh"

"Spend a day with me you'll know I'm not lying" ujar Alex dengan tatapan mata kosong.

Jana tersenyum. Ia kembali mengusap kepala Alex. 

"Dajjal" kata Jana sambil menatap mata Alex lembut. 

Mata Alex membulat. "Siapa?"

Jana tertawa renyah. 

"Panggilannya Dajjal. Alias Dwi. Nama panggilannya saat jadi cadet di West Point

Alex memiringkan kepalanya. Menatap langsung ke mata Jana. 

"Kenapa kamu menolak dia?" pertanyaan sok tahu itu terlontar begitu saja. 

Jana tertawa terbahak-bahak. Ia memang kagum dengan daya tebak pria dihadapannya ini. Begitu smooth dan begitu saja keluar dari mulutnya tanpa repot dipikirkan.

"First of all. He's married with two kids. Second of all he's not my type"

"So what happened?"

"Dajjal tidak pernah suka dengan Pak Tony. Dia bahkan memberikanku posisi corporate secretary di perusahaan medianya"

"Alasan Dajjal cuma satu: Tony itu palsu

Sang Pengacara "Sembilan Naga"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang