Hyejin masih menempel pada langit-langit gua. Tepat di depan pandangan, di lantai gua, Jung Wheein menengadahkan kepala membalas tatapan Hyejin. Maniknya masih putih, tubuhnya masih mengeluarkan sinar emas tetapi lebih redup daripada yang sebelumnya. Tato bunga mawar berpendar merah, resonance diatas tumitnya juga memancarkan sinar.
"Wheein-ah," lirih Hyejin.
Ia tidak bisa mengatakan apapun. Tenggorokannya tercekat, kepalanya masih sakit. Hyejin dan Wheein berdiam selama beberapa detik. Hyejin kira, monster dalam diri Wheein akan langsung membantai secara membabi buta. Nyatanya gadis itu bisa setenang sekarang. Tidak meledakkan gua hanya untuk menangkap DK.
"Turunin gue."
Wheein mengarahkan mantra ke keempat alat gerak Hyejin. Meleburkan mantra pengikat itu dengan mudah, melepaskan tubuh sahabatnya. Hyejin terjatuh, tapi langsung ditangkap oleh Wheein. Gadis berlesung pipi tanpa manik hitam itu menggendong Hyejin dalam pelukannya.
"Makasih," ujar Hyejin.
Wheeein tidak memberikan balasan. Ia langsung menurunkan Hyejin agar menapak tanah dan berdiri sendiri. Melihat gadis manis itu dalam keadaan tidak sadar seperti ini, membuat Hyejin sedih. Ia takut ini terjadi.
"Wheein-ah, tunggu disini. Biar gue yang ngurus DK."
Hyejin berbalik, namun ditahan. Hyejin pun kembali menatap mata tanpa manik milik Wheein. Seolah bisa mengerti bahwa gadis manis itu mencoba berbicara, Hyejin mendekat ke wajah Wheein.
"Lo terluka," ujar bibir Wheein tanpa suara.
Bola mata Hyejin melebar. Ternyata Wheein tidak sepenuhnya dikendalikan oleh kekuatannya. Gadis itu masih memiliki kendali diri dan akalnya. Hyejin menggenggam tangan Wheein dengan ekspresi seperti ingin menangis.
"Ayo pulang saja," putus Hyeijn. Suara gadis itu bergetar. Perasaannya berkecamuk hebat, dia merasa sangat bersalah saat ini. Hingga berpikir untuk menyudahi saja misi sialan yang membuat sahabatnya sampai seperti ini. Jiwa-jiwa itu tidak lebih penting dari belahan jiwanya, sahabat satu-satunya. Teman hidupnya.
Hyejin bersiap menarik tangan Wheein untuk keluar dari gua ini. Namun lagi-lagi pergerakannya terhenti oleh karena tangan Wheein menahannya. Gadis berlesung pipi menggerakkan bibir, berkata:
"Kita Saviour, tugas kita menyelamatkan."
Satu kalimat, tapi berdampak besar bagi Hyejin. Ia tidak bisa tidak mengingat alasan dia menerima misi ini. Menyelamatkan jiwa-jiwa malang yang dicuri. Hyejin sama naifnya seperti Wheein bila bersangkutan dengan pekerjaan. Gadis berambut hitam panjang itu punya tujuan yang harus ia wujudkan bagaimanapun caranya.
"Hahhh, God. What Should I do?" kesalnya kepada diri sendiri. Hyejin memijat kening dengan telapak tangan lain, kepala yang masih berdenyut itu ia paksa berpikir keras. Memperparah rasa sakitnya.
"Wheein-ah, tidakkah kondisimu harusnya lebih kita perhatikan?" tanya Hyejin lagi. Wheein mengulas senyum tipis di wajah putih pucatnya, menggeleng pelan. Setipis senyum miliknya, setipis itu pula pertahanan Hyejin. Ia menangis untuk pertama kali selama masa remajanya di hadapan satu-satunya gadis yang menjadi setengah jiwanya.
ღღღ
Angin bertiup kencang, dahan dan ranting saling bergesekan riuh rendah. Burung-burung malam saling sahut menyahut dari tempat persinggahan masing-masing. Beberapa makhluk malam lain mengaum, menggaungkan suara memecah kesunyian malam. Suhu turun beberapa derajat, mendinginkan malam yang dingin.
Dua anak remaja bertatapan di dalam sebuah gua yang disegel dengan mantra pada jalan masuknya. Masing-masing dengan pikiran berkecamuk. Kedua insan itu mengerutkan kening, sadar akan satu hal penting.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fortune Tellers [WheeSa] √
ParanormalWheein kecil berlarian di taman yang baru saja akan memekarkan bunga berwarna warni, musim semi. Kaki kecilnya mendadak berhenti dan melihat sekuntum kelopak bunga dengan warna unik, jarang dilihat. Kemudian mendadak, ada seorang gadis kecil lain be...