Bab Dua Puluh Delapan : Dilematika

833 102 14
                                    

Cakrawala menggebrak pintu sebuah ruangan dengan kasar. Tangannya ia kepal erat untuk menahan segala amarahnya saat ini. Mata elangnya langsung tertuju pada seorang wanita tua yang ada di hadapannya. Wanita tua itu adalah Anjani, neneknya sendiri yang kini berdiri membelakanginya dan sedang melihat ke luar jendela.

"Kamu sudah pulang?" Anjani memutar tubuhnya dengan tongkat yang berlapis emas miliknya kemudian melangkah maju mendekati Cakrawala.

"Kenapa Nenek begitu? Hah! Jawab!" teriak Cakrawala marah. Ia tidak menjawab pertanyaan neneknya. Dia sudah tak bisa menghormati orang yang memiliki sifat seperti neneknya ini. Bentakkannya saat ini mampu membuat Sanjaya-orang kepercayaan neneknya maju untuk menahan Cakrawala.

Tapi Anjani menoleh dan memberikan isyarat supaya pria berjas hitam itu tetap diam di tempat. "Kamu melangkah terlalu jauh. Kamu harus sadar diri," sinisnya.

"Semua ini... "Neneknya melirik seisi ruangan. "Ayahku yang bangun, bukan Ayahmu. Nenek tidak akan membiarkan semua itu hilang hanya karena nenek mempunyai cucu yang terlalu naif."

"Kalau begitu ambil semuanya!" sindirnya keras. "Cuma sampah," sambungnya lagi dan neneknya malah tertawa.

Anjani membalikkan badannya. Dia berjalan menuju meja kerjanya dan duduk di kursi.

"Baiklah, silahkan bermain dengan gadis itu. Toh dia akan mati!"

Mendengar ucapan sarkas dari mulut Neneknya, Cakrawala langsung berjalan cepat menghampiri Neneknya. Tapi Sanjaya langsung menahan dirinya lalu berteriak keras dan tak butuh waktu lama beberapa bodyguard masuk ikut menahannya.

"Bangsat! Jangan macam-macam ya!" Cakrawala memberontak dia masih berusaha meloloskan dirinya.

"Memang benar-benar pembawa sial. Semua orang terdekatmu pasti mati. Apa kamu tidak bisa menghitung jumlah yang mati jika bersamamu?" tanya Anjani tanpa beban sambil melirik cucunya yang saat ini tengah terkunci di tengah hadangan orang-orang kepercayaannya.

"Ayahmu, Ibumu, Bagas, dan bahkan kakaknya gadis itu pun juga meninggal. Itu bukan karena salah siapa-siapa. Itu semua terjadi pasti karena mereka berhubungan dengan kamu. Kamu memang pembawa sial!" Wanita itu menunjuk Cakrawala dengan tongkatnya.

"Gadis itu pun akan bernasib sama jika terus berhubungan denganmu!"

Kata-kata itu mampu membuat Cakrawala berhenti memberontak. Apa itu benar? Apa dia memang pembawa sial? Cakrawala mengerutkan keningnya lalu menggelengkan kepalanya tak percaya. Kenapa dia baru menyadari hal itu sekarang. Lutut Cakrawala langsung melemas dan badannya langsung terjatuh begitu saja.

"Ingat kata-kata itu, Cakrawala Albrata Wijaya. Kamu adalah pembawa sial. Hiduplah seperti itu terus selamanya."

Anjani bangkit dari kursi dan berjalan menuju pintu keluar diikuti oleh Sanjaya di belakangnya.

"Kamu memang terlahir sebagai pecundang," ucapnya lagi sebelum pintu kembali tertutup.

"Bagaimana dengan Clarissa?" tanya Anjani pada Sanjaya.

"Semua sudah diurus. Besok anda sudah bisa berjumpa dengannya kembali. Tapi apa nyonya memang berniat untuk melakukan ini semua?" tanya Sanjaya penasaran.

"Tentu. Apapun agar mereka bisa berpisah."

"Beberapa bulan lagi semua akan selesai dan anda bisa membuat Cakrawala pergi sejauh mungkin dari para pengganggu."

Anjani mengangguk-angguk pelan. Tapi dia kembali menoleh dan menatap Sanjaya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Kamu harus tau, cucu saya akan tetap di sini. Cakrawala tidak akan kemana-mana. Saya tidak suka jauh dari cucu saya. Kamu mengertikan?"

Sanjaya tersenyum patuh. "Tentu saya mengerti, semua bisa diurus."

***

Fidella membuka pintu rumahnya dengan ragu saat seseorang mengetuk pintu berulang kali sehingga menganggu waktu tidurnya. Bukannya apa, sekarang sudah pukul satu pagi. Dia takut jika yang ada di luar sana adalah penjahat. Tapi ketukkan pintu yang tidak berhenti itu membuat Fidella tidak punya pilihan lain selain membukanya. Apalagi dia melihat Ibunya tidak punya niatan untuk bangun.

Alangkah kagetnya Fidella saat mendapati Cakrawalalah yang ada di depan rumahnya. Pria itu menatapnya dengan tatapan mata yang sendu dan tubuh yang basah kuyup terkena air hujan. Jaket kulit bewarna gelap yang dipakai Cakrawala menitikkan air ke lantai rumah. Paling parahnya Fidella bisa melihat tangan kiri Cakrawala meneteskan darah. Keadaannya benar-benar kacau, seperti bukan Cakrawala yang dia kenal selama ini.

"Kakak kenapa?" tanya Fidella khwatir lalu melirik ke sekitar rumahnya. Tidak ada mobil milik Cakrawala, yang ada hanya sebuah motor yang terparkir di dekat pagar bambu rumahnya. "Sekarang hujan, kenapa-"

Ucapan Fidella terpotong karena Cakrawala tiba-tiba saja meletakkan kepalanya di atas bahu kanan Fidella dan membuat bajunya basah.

"Del...," panggil Cakrawala dengan nada yang serak.

"Maafin gue ya ..."

"Gue salah l..."

Fidella menghela napas sedih. "Kenapa minta maaf? Emangnya Kakak salah apa?" tanyanya seraya mengelus-elus kepala Cakrawala.

"Gue udah merokok tadi. Maaf ya ..."

"Gue juga minum bir tadi dan gue yakin lo enggak senang dengan itu."

Fidella tidak tahan mendengar penuturan dari mulut Cakrawala. Cakrawala memang tidak menangis, tapi Fidella tahu apa yang dirasakan oleh Cakrawala pasti sangat menyakitkan. Fidella tidak suka melihat Cakrawala yang kacau seperti ini.

"Terus tangannya kenapa?"

"Aah, itu..." Cakrawala malah mengeluarkan kekehan ringan yang entah kenapa terasa seperti suara tangisan bagi Fidella. "Gue mukulin dinding, Del. Karena gue enggak mau lo marah kalau tau gue mukulin orang. Guekan mau berubah jadi cowok baik. Biar bisa jadi tipe yang lo bilang kemarin itu."

"Kak ..."

"Iya, Del," jawab Cakrawala lembut.

"Lo enggak boleh begitu. Jangan sakitin diri lo sendiri."

Cakrawala hanya diam.

"Boleh peluk enggak?" Cowok itu mengangkat kepalanya.

"Iya." Cakrawala langsung memeluk tubuh Fidella erat-erat seolah-olah tidak ada hari besok.

"Sayang banget sama lo." Memeluk Fidella seperti ini membuat Cakrawala bahagia. Benar hangat rasanya. Cakrawala tidak akan cerita apa yang terjadi. Dia datang karena dia butuh sandaran sebentar. Mereka mungkin tidak akan bisa lama berhubungan, tapi Cakrawala tidak masalah. Dia akan pergi jika memang semua sudah diatur untuk kebaikan siapa pun.

Tapi untuk saat ini, dia ingin bersama Fidella. Supaya dia bisa mengumpulkan segala memori mengenai kisah dia bersama gadis ini. Cakrawala tidak bodoh, dia tahu apa yang sudah diatur oleh Neneknya. Cakrawala tidak senang dengan itu, tapi itu lebih baik. Karena dia berjanji dia akan lebih kuat lagi suatu hari nanti.

Mereka masih berpelukkan dengan hangat sampai tidak menyadari kehadiran seseorang yang bersembunyi tidak jauh dari mereka. Orang itu memakai pakaian serba hitam, kacamata hitam dan masker hitam. Orang itu menatap Cakrawala dan Fidella dengan tatapan marah. Dia akan bersabar untuk saat ini. Dia percaya akan datang waktu yang tepat untuk menjadikan orang itu sebagai miliknya.

Apa yang ingin kalian katakan setelah baca ini?

Jangan cuma next, kasih semangat dong kalau mau aku cepat up. Ok!!

CAKRAWALA √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang