25. Aji Indrajaya

573 25 1
                                    


Aku tersenyum palsu,"DETIK INI JUGA, LO JAUHIN AIRIN" bukan memberikan apa yang Bram minta, aku malah menyuruhnya untuk menjauhi Airin.

Aku sungguh tidak suka jika Airin didekati oleh pria lain. Dapat ku lihat, Bram membulatkan matanya saat aku mengutarakan itu."maksud lo apaan sih?"tanya Bram yang tidak mengerti dengan apa yang aku katakan barusan.

Aku terkekeh pelan,"gue cuma bilang. Lo jauhi Airin!"tegasku menatapnya.

"Kenapa gue harus jauhi Airin?"

Mendengar pertanyaan nya aku tersenyum palsu."DIA ISTRI GUE"kata ku lantang. Bram yang mendengar itu merasa kaget.

"Istri"beonya untuk memastikan.

Aku mengangguk memainkan gelas yang ada di hadapanku."jadi gue minta lo bener-bener jauhi Airin."

"Bukan nya istri lo, Sin ... di?"

Aku kembali tersenyum,"Sindi istri kedua gue dan-". Bibir ku  mendekat ditelinganya,"dan Airin istri pertama gue"bisik ku diakhiri dengan kekehan kecil.

Setelah membisikan itu aku berlalu dari sana. Namun, langkahku dihentikannya. Dia menghadang ku,"gue tetep gak ngerti dengan apa yang lo ucap tadi."

Aku tertawa keras, sebagian pengunjung mungkin memperhatikan kami. Ralat, tapi memperhatikanku yang sedang tertawa padahal tidak ada yang lucu bagi mereka.

"Bukan hanya ingatan lo yang hilang, ternyata sebagian pendengaran lo juga, kayaknya"kekeh ku mengejeknya."Sudah gue katakan, GUE SUAMI SAH DARI AIRIN ARASYA"kataku kuat.

"Dan lo, jangan pernah coba-coba untuk mendekati istri gue"aku menunjuk nya,"kalau lo deketi dia, bukan hanya ingatan lo yang hilang tapi nyawa lo juga"ancamku.

Bram yang mendengar ancaman ku tampak tersenyum lebar."lo pikir gue takut dengan ancaman lo itu? ancaman yang begituan udah basi bagi gue"ucapnya yang membuat nafasku terasa sesak.

"Gue gak bakalan jauhi wanita lo. Sebab apa?sebab gue merasa wanita lo lebih pantas dengan gue"ucapnya lantang.

Bugh..

Satu bogeman berhasil mendarat di pipi kanan nya. Beraninya dia berkata seperti itu. Dia mencoba membalas pukulanku, tapi aku berhasil untuk mengelaki pukulannya.

Aku semakin muak dan mulai meninju perutnya dan dia juga membalas ku. Tapi aku tetap tidak tinggal diam, ku hadiahi empat bogeman dikedua pipinya. Sehingga, sudut bibirnya mengeluarkan cairan merah pekat itu.

Beberapa orang mulai mendekat dan ada juga yang menghalangi tinjuanku yang kesepuluh kalinya. Bram sudah terseungkur disana, dengan beberapa bapak-bapak menolongnya untuk berdiri.

Sementara, tanganku dipegangi oleh kedua security cafe ini. Aku mencoba untuk melepaskan diri, namun mereka memegang ku cukup erat.

"Pak jangan buat keributan disini!"tegas salah satu security yang memegang tangan kananku.

"Oke, saya tidak akan buat keributan tapi lepaskan tangan saya"ucapku meminta.

Security itu mengangguk dan meminta temannya untuk menurutiku. Aku merapikan kerah lenganku, aku meraba sudut bibirku, yang juga ikutan terluka. Aku mendekat kearahnya.

Security tadi kembali mencoba menahan ku, tapi aku menolaknya."sekali lagi. LO JAUHI ISTRI GUE"peringat ku untuk kesekian kalinya.

Setelah mengatakan itu aku meninggalkan Bram, dengan pikirannya yang masih penuh dengan tanda tanya plus dengan luka memar dimana-mana.

Beberapa orang menyoraki ku. Dasar manusia, tidak tahu ujung pangkalnya, sok main hakim sendiri.

Beberapa kali pula aku meludah untuk membuang darah yang terus mengalir dari bibirku. Setidaknya luka ku tidak seperah dia. Tapi, luka yang ku hadiahi untuk dia belum seberapa. Ya BELUM SEBERAPA!

Meskipun dia adik ku, tapi jika dia mendekati wanitaku, maka ku anggap musuh.

Aah....

Aku tidak suka jika dia mengambil wanitaku lagi.

Lagi?

Dan sekali lagi.

Dia adalah wanitaku. Dan tetap akan menjadi wanitaku.

*****

Aku membawa mobil meninggalkan cafe tersebut. Sekarang, entah kemana tujuanku selanjutnya. Balik kerumah? Nanti bertengkar lagi dengan Sindi. Mau kerumah Airin? jika aku kesana, yang ada Sindi semakin membenci Airin. Aku semakin pusing.

Lima puluh menit kemudian aku tiba didepan kantorku. Aku memutuskan untuk menenangkan diri disini dulu atau bermalam disini saja. Sepanjang jalan menuju ruangan ku, beberapa karyawan menyapa ku.

Sekarang jam sudah menunjukan jam enam sore, sepertinya sebentar lagi magrib akan berkumandang. Beberapa karyawan ku sudah memutuskan untuk meninggalkan kantor dan beberapanya lagi memilih untuk lembur.

Saat tiba di ruangan ku, aku langsung saja menjatuhkan badanku. Sudah cukup untuk hari ini, beban hari ini terasa sekali bagiku.

Perlahan ku pejamkan mataku, untuk sedikit menghilangkan nyeri disudut bibirku. Semoga, aku terbangun nanti. Hanya mimpi yang telah terjadi hari ini.

Semoga saja.

Jodoh Tak Utuh (On going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang