21- To Whom The Promise Belongs

230 10 0
                                    

"APA?" Leo berteriak cukup kencang. Cukup untuk menarik perhatian orang-orang yang juga sedang berada di taman rumah sakit. "Kok kalian baru cerita?" tanya Leo, dia tampak marah.

"Maaf ya Leo. Kalo Grace karena kebetulan waktu itu dia lagi di rumah sakit bareng aku."

"Aku gak percaya ada manusia setega itu," ucap Leo.

"Sebenarnya, aku gak mau ceritain apapun tentang keluargaku selain soal nenek, karena itu... terlalu menyedihkan. Aku... malu." Tara menunduk, ia tak sanggup menatap wajah sahabatnya.

"Tapi itu bukan kesalahan kamu, Tara. Kamu gak perlu terlalu menekan dirimu seperti ini," kata Grace.

Setelah kata-kata tersebut terlontar, Tara perlahan mulai menangis. "Aku gak mau cerita, tapi... tapi ini terlalu berat. Sampai saat ini aku bahkan gak tau siapa ayahku, ibuku juga cuma datang kalau dia butuh uangku dan uang nenek yang sedikit. Aku bener-bener menyedihkan." Terdengar kemarahan dari suara parau Tara. Air matanya mulai semakin deras menetes.

Grace panik mendengar kata-kata Tara, tetapi ia lebih memilih untuk segera membawa pundak dan kepala Tara ke pelukannya. Grace mengelus pelan rambut Tara, sementara Leo menepuk pelan pundak Tara. Pasti berat, pasti berat sekali untuk Tara selama ini.

Sebenarnya yang baru saja Tara lontarkan itu masih belum semuanya. Ia memiliki banyak sekali untuk diceritakan, tetapi Tara tak sanggup untuk melanjutkan pembicaraan tersebut.

Tara memang tidak pernah tahu siapa ayahnya. Namun satu hal yang pasti, ayah kandungnya kini pasti tengah berbahagia bersama keluarga 'aslinya'. Tara mengetahui fakta ini ketika ia kelas enam sekolah dasar, kedua kalimya Tara melihat sang ibu. Hari itu, ibu Tara datang ke rumah karena memaksa ingin menggadaikan surat tanah milik neneknya untuk melunasi hutangnya. Adegan hari itu masih terekam dalam ingatan Tara.

"Jangan, Rosa. Surat tanah ini satu-satunya yang tersisa setelah kamu gadaikan surat rumah dulu. Kalau surat tanahnya juga tidak ada, bisa-bisa ibu dan Tara menjadi gelandangan, tidak punya cadangan," kata Iraya—Nenek Tara. Nada suaranya sangat memelas, entah mengapa ia masih tak sampai hati untuk melarang dengan tegas perilaku anak semata wayangnya tersebut.

"Terus ibu mau aku yang jadi gelandangan? Sekarang aku lagi hamil, binsis suamiku kena tipu dan harus ganti rugi, mana mungkin aku jadi gelandangan. Dan juga apa istimewanya rumah kecil jelek seperti ini? Pindah ke tempat yang lebih jelek juga tidak akan berasa, kan? Selama ini ibu membesarkan aku dengan
miskin dan menyedihkan, setidaknya sekarang bantu aku. Hidupku juga tidak akan berantakan begini kalau ibu tidak miskin," kata Rosa. Setelah mengatakan hal tersebut, matanya melihat Tara yang tengah terdiam di pojokkan ruang tamu tak jauh dari tempat Rosa dan Iraya berdebat.

"Oh dan karena anak itu juga, kamu juga membuat hidupku berantakan. Kalau kamu tidak pernah ada, istrinya gak akan tahu kalau dia ada hubungan denganku. Gak akan aku ditinggalkan sendirian setelah bertahun-tahun kita bersama, aku juga gak akan hidup kesusahan karena ditinggal dia," kata Rosa sembari menatap tajam Tara yang masih kecil.

Dulu, Tara tak begitu paham apa maksud dari perkataan ibunya. Namun seiring bertambahnya usia Tara, semuanya menjadi jelas. Ibunya dulu selama bertahun-tahun menjadi selingkuhan dari pria yang sudah beristri, lalu ditinggalkan karena hamil. Setelah melahirkan dirinya, ibunya itu pun langsung meninggalkan Tara yang masih bayi bersama neneknya. Dan kehidupan ibu Tara sekarang? Ya kurang lebih, sang ibu masih kesulitan untuk 'naik kelas' sebagaimana yang selalu ia inginkan. Hanya bedanya kini Rosa tak lagi menjadi perusak rumah tangga orang lain.

Tak jarang Tara merasa jika dirinya memang pantas mendapatkan semua menyedihkan yang terjadi dalam hidupnya. Mungkin ini adalah karma atas dosa-dosa yang tak pernah ia lakukan.

[SS] - Before YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang