28 - His Feelings

148 14 0
                                    

Hari ini Hadja tak berangkat ke rumah sakit. Hari liburnya ia manfaatkan untuk menemui psikolog dan psikiaternya. Hadja tak dapat membiarkan dirinya lebih kacau dari pada saat ini.

Saat ini Hadja tengah berada di tempat parkir halaman rumah seorang psikolog. Hadja diantar oleh seorang supir, ia merasa kalau lebih baik tidak menyetir sendiri.

Beberapa jam sebelumnya, pada pagi hari, Hadja telah menemui psikiater yang telah ia kenal sejak usianya sebelas tahun. Sudah lama sejak Hadja datang ke psikiater itu.

Hadja bercerita tentang peristiwa tak biasa yang ia alami beberapa waktu lalu, yaitu kembalinya PTSD yang pernah ia alami secara tiba-tiba. Untuk berjaga-jaga, Hadja kembali diresepkan obat waspada hal seperti itu terjadi kembali, apalagi ketika Hadja sedang sendirian.

Waktu itu Hadja benar-benar beruntung dirinya tak sendirian. Ada Grace yang menemani, karena jika sendirian dan tanpa obat, Hadja bisa-bisa pingsan dan harus bed rest seperti terakhir kali PTSD-nya relapse. Namun psikiaternya mengatakan jika Hadja memiliki masalah lain yang lebih kompleks yang tak ia sadari sehingga ia harus menemui psikolognya.

Berbeda dengan psikiaternya, Hadja sudah mengenal psikolog ini untuk waktu yang lebih lama. Ibunya sudah membawa Hadja menemui psikolog ini semenjak usia tiga tahun karena ibunya merasa bahwa perkembangan inteligensi Hadja tak seperti anak-anak seusianya. Dan benar saja, Hadja ternyata tergolong individu dengan IQ sangat superior. Lalu pada usia rnam tahun, Hadja terdiagnosis memiliki Alexithymia.

Kesulitan memahami dan mengekspresikan emosinya, kesulitan mengidentifikasi emosi orang lain, kesulitan bersimpati dan berempati.

Nampaknya, kondisi Hadja kecil saat itu pun sulit untuk diterima sang ibu. Sehingga dengan harapan bahwa anaknya bisa benar-benar terbebas dari kondisi tersebut, Sekar memasukkan Hadja ke sekolah biasa. Sayangnya, hal itu malah menjadi kesalahan yang sampai saat ini masih disesali Sekar.

Lalu bagaimana Hadja selama ini menjalai hari-harinya, apalagi dengan tuntutan pekerjaan sebagai dokter?

Belajar! Hadja mempelajari semua. Ia mempelajari berbagai macam situasi, kondisi, dan tanda-tanda berkaitan dengan emosi manusia dan mengingatnya dengan baik, sehingga ketika berhadapan dengan sebuah situasi, Hadja sudah punya skenario akan apa yang harus dilakukannya. Makanya, ketika berhadapan dengan situasi yang tak familier dan tak pernah Hadja pelajari, ia sedikit kebingungan. Tentu saja tidak mudah menjadi seorang dokter dengan kondisi seperti itu, hingga saat ia menjadi seorang dokter PPDS, Hadja hampir selalu dimarahi setiap hari terkait caranya berkomunikasi dengan pasien.

Sebab itu Hadja sudah bertemu psikolog yang lebih tua dari ibunya ini sejak usia dua tahun. Setelah menginjak bangku kuliah pun Hadja masih kerapkali datang kemari ketika emosinya kacau dan ia butuh bantuan untuk menata dirinya kembali. Sebenenarnya psikolog ini sudah pensiun sejak tujuh tahun lalu, tapi ia tetap menyambut kedatangan Hadja yang sudah ia terasa seperti anaknya sendiri.

"Jadi, bagaimana perasaanmu?" tanya wanita berusia tujuh puluh empat tahun bernama Ani.

Setelah itu, Hadja bercerita cukup panjang—setidaknya ia tak pernah berbicara sepanjang ini kepada orang lain, kesana-kemari tak beraturan, berantakan. Ani mendengarkan dengan seksama. Alih-alih sesi konseling, ini lebih seperti seorang ibu mendengarkan cerita anaknya, semuanya berjalan seperti percakapan biasa. Bagi Hadja, tak ada orang lain yang mampu memahaminya sebaik Ani.

Usai percakapan yang cukup panjang, Ani akhirnya sampai pada kesimpulannya. Sebenarnya tak ada kondisi yang benar-benar serius, Hadja hanya kesulitan memahami perasaannya. Sepanjang percakapan itu, Hadja berkali-kali tertampar karena Ani mampu memahami apa yang terjadi di dalam dirinya lebih baik daripada dirinya sendiri.

[SS] - Before YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang