10 - The Burden

1.9K 131 3
                                        

Sekar memandangi foto berusia dua puluh tahun yang terbingkai rapi. Masih sangat kecil. Meskipun hampir tiga dekade berlalu, tetapi masih segar dalam ingatan Sekar ketika pertama kali Hadja menangis, ketika mata mereka akhirnya bertatapan setelah sembilan bulan Sekar hanya bisa melontarkan lantunan, ketika jemari mungil itu dengan lembutnya mendekap kelingking sang ibu. Perasaan-perasaan itu tidak pernah luntur dari ingatannya.

Dada Sekar terasa sesak. Anaknya itu belum bebas, Hadja belum melepaskan diri dari belenggu yang dia biarkan mengikat dirinya.

Sekar ingin Hadja bisa untuk selalu tersenyum tulus, tertawa lepas, dan berbahagia dengan hal yang ia sukai. Bukan sekadar si jenius yang selalu mendapat nilai sempurna dan menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.

Ingatan Sekar tiba-tiba mengenang kembali peristiwa yang terjadi bertahun-tahun lalu. Mungkin sudah usang di ingatan sebagian orang, tapi lagi-lagi, Sekar masih mengingatnya dengan jelas.

[11 tahun lalu]

Suasana rumah tidak seperti biasanya. Sekar dan Harold sedang saling menatap tajam. Suasana hati pasutri yang selalu tampak harmonis itu tampak buruk, bahkan putra dan putri tertua mereka pun hanya bisa duduk terdiam dengan perasaan tegang di pojok ruangan.

"Kenapa? Itu keputusan Hadja, dia ingin kuliah di sana. Kenapa orang tua harus mengahalangi anaknya mengejar cita-citanya setinggi mungkin? Kamu pikir cambridge university itu lelucon? Hadja belajar keras siang malam untuk ujian itu. Dan di detik-detik terakhir kamu melarangnya pergi?" tanya Harold.

"Aku tidak rela, aku tidak ingin dia jauh. Setelah semua yang terjadi, bagaimana bisa kamu tega melepas Hadja pergi jauh seperti itu?" tanya Sekar.

Meskipun sangat jarang terjadi, tetapi lima bersaudara tahu persis kalau ayah dan ibunya sudah memakai kata ganti aku dan kamu, situasinya serius, apalagi kalau saling memanggil nama. Meskipun tidak pernah sampai melontarkan kata-kata kasar atau main tangan, tetapi Sekar dan Harold benar-benar sedang bertengkar hebat.

"Apa kamu bilang? Tega? Bagaimana bisa kamu berkata asal seperti itu. Aku selalu ingin yang terbaik untuk semua anak-anakku," ujar Harold mulai meninggikan suaranya.

"Lalu apa kalau begitu? Kamu pikir aku juga tidak ingin yang terbaik untuk anak-anakku? Aku ingin yang terbaik untuk mereka dan ini yang terbaik untuk Hadja!" Terpancing dengan Harold, Sekar pun ikut meninggikan suaranya.

Harold dan Sekar masih berdiri berhadapan di samping sofa. Menatap satu sama lain dengan penuh kemarahan, hanya ingin pendapat masing-masing lah yang menang.

"Kemarin Hadja bilang sendiri kan dia akan pergi ke sana. Dia bekerja sangat keras untuk itu. Ini lihat." Harold menyodorkan kasar surat pengumuman penerimaan dari University of Cambridge yang bahkan Hadja cetak sendiri saking gembiranya.

"Tega kamu menghancurkan kebahagiaan Hadja?" tanya Harold sembari melemparkan kasar kertas tersebut ke arah sofa di dekat Sekar.

"Menghancurkan? Ucapanmu waras? Kamu pikir selama ini aku berdoa apa kalau bukan untuk kebahagiaan Hadja?" Sekar berucap tak kalah ngotot dengan sang suami.

Intinya mereka berdua sama-sama marah, ngotot, dan ingin menang. Argumen mereka terus berputar-putar pada inti yang sama. Saling menyalahkan dan menjatuhkan demi memenangkan perdebatan. Melihat hal tersebut, sekalipun Hendji dan Sekar bukan lagi anak kecil, tetapi pertengkaran kedua orang tua sudah pasti membuat anak mana pun merasa tidak nyaman.

[SS] Before YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang