Langkah Calyn terhenti ketika matanya menangkap keberadaan kerumuman kecil di sebuah ruang rawat yang ada pada departemen tempatnya menuntut ilmu. Dari jarak yang tak terlalu jauh, Calyn berhenti—terpaksa Hadja juga. Tatapan heran, tatapan kasihan, tatapan benci, tatapan jijik, tatapan penasaran. Semua itu bercampur aduk dalam setiap pasang mata yang berkerumun bersama.
Sepertinya ada keributan kecil. Tidak aneh jika melihat orang-orang berkumpul, keributan memang seringkali menyatukan orang-orang. Sebenarnya Calyn merasa tidak enak ikut melihat hal tersebut, tetapi ia memang ada urusan di resepsionis departemen yang kebetulan dekat dengan tempat peristiwa itu terjadi. Selain karena... ya, Calyn mengakui kalau dirinya juga sedikit penasaran.
"Kenapa berhenti? Bukumu ada di ruang residen, kan? Bukan di sini?" tanya Hadja.
"Aku harus ambil berkas dulu di sini, tapi sepertinya orangnya masih istirahat, kita tunggu di sini sebentar, ya," Calyn menjawab sekenanya. Percuma juga menjelaskannya kepada Hadja, gletser itu tak akan mengerti rasa penasaran melihat peristiwa seperti ini.
Hadja heran, kenapa Calyn harus berhenti untuk menatap ke arah kerumunan. Bukankah itu membuang waktu? Jauh lebih baik jika Hadja pergi duluan saja.
Sampai... Hadja menangkap sosok familiar di samping pusat kerumunan tersebut. Membuatnya tiba-tiba enggan beranjak. Malah, ia ingin berada di tempat ini sedikit lebih lama.
"Kalau Mama memang tidak ingin membantu, cukup menghilang lagi saja seperti selama ini. Tidak perlu membuat keributan di sini, aku tidak menyangka mama sampai datang kemari."
Hanya dengan sepenggal kalimat itu saja, sepertinya orang bisa menyimpulkan sedikit jika ini adalah perselisihan antara ibu dan anak. Hadja ingat, perempuan itu adalah orang yang mengatakan bahwa Grace tidak sedang berada di kafe ketika Hadja pergi ke Glece Kafe pada hari ulang tahunnya. Apakah perempuan itu teman Grace?
"Aku memang tidak peduli denganmu ataupun dengan nenekmu, tapi kalau sudah sampai kamu ingin mendonorkan ginjal, kamu butuh disadarkan, Tara! Nenekmu itu sudah tua, berapa sih harapan hidupnya? Untuk apa mendonorkan ginjal? Yakin nenekmu itu bisa bertahan hidup? Kalau gagal, kamu akan hidup menyedihkan sendirian hanya dengan satu ginjal sembari membayar hutang seumur hidupmu. Kamu sudah mengorbankan pekerjaanmu demi nenekmu dan sekarang ginjalmu juga? Perempuan miskin dan sekarang cacat? Kamu pikir ada yang mau denganmu? Cantik saja tidak."
Hadja terkejut mendengarnya—sepertinya semua orang yang mendengarnya demikian. Hadja pernah melihat wali pasien dengan segala macam kelakuan ajaibnya, tapi ini benar-benar keterlaluan.
"Bagaimana hidupku, aku akan mengurusnya sendiri. Yang pasti, aku tak akan merusaknya seperti bagaimana Mama merusak hidup Mama sendiri," kata Tara.
"Bicaramu kurang ajar sekali, Tara. Tidak, aku tidak menyetujui transplantasi ini!"
"Tidak menyetujui lalu mengambil sedikit uang tersisa yang harusnya digunakan untuk biaya nenek?" tanya Tara.
"Ah sialan, berkatalah begitu kalau kamu sudah banyak uang, Tara. Jangan gila, percuma menyelamatkan nenekmu yang sudah tua, nanti malah kamu yang mati bagaimana. Lagipula kalau kamu bisa dapat uang puluhan juta itu, lebih baik kamu gunakan untuk memperbaiki hidupmu."
"Apapun yang terjadi, apapun risikonya, aku tetap akan melakukan transplantasinya. Aku akan melakukan apapun untuk menyelamatkan satu-satunya keluargaku."
Suara Tara terdengar getir. Ia harus berkali-kali menggigit bibir bawahnya, memastikan bahwa ia tak akan meneteskan air mata setetespun. Setidaknya tak di hadapan wanita yang tak tahu diri ini. Sayangnya, suara sang ibu yang dua kali lipat lebih lantang dari Tara menekan Tara semakin dekat menuju tetesan air mata.
![](https://img.wattpad.com/cover/210087644-288-k691754.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[SS] Before You
RomancePerkenalkan, The Untouchable Hadja. Keturunan konglomerat Saputro yang tampan dan jenius, saat ini bekerja sebagai dokter untuk membalas budi atas kehidupannya. Seorang dokter penderita alexythimia dan penyintas PTSD. Diam, datar, tak bisa ditebak...