26 - The Green Crocs and The Blue Crocs

158 15 2
                                    

Terhitung pukul sebelas pagi, Hadja yang ditemani oleh juniornya Shika dan seorang perawat senior telah berkeliling ke dua bangsal, dengan total sepuluh pasien. Setelah ini, mereka akan mampir ke bangsal terakhir di jadwal jaga hari ini. Untungnya, di bangsal terakhir hanya ada dua pasien sehingga tidak perlu waktu yang lebih banyak. Sembari menunggu perawat mengisi kembali peralatan yang kurang, Hadja dan Shika menunggu di depan resepsionis kecil yang ada di setiap ruang rawat inap.

"Dokter Hadja bagaimana konferensinya?" tanya Shika.

"Sudah selesai," jawab Hadja. Matanya masih tertuju pada rekam medis pasien akan ia periksa selanjutnya dan kondisi terakhirnya.

"Bagaimana ya supaya saya bisa seperti Dokter yang sering dilibatkan project dokter spesialis bahkan para profesor, sampai ke international conference?" tanya Shika.

"Tulis saja karya ilmiah," jawab Hadja sekenanya. Tak memberi perhatian penuh kepada Calyn.

"Saya kagum sekali, Dokter Hadja masih bisa menulis banyak karya ilmiah berkualitas di tengah kesibukan PPDS. Dokter sungguh beruntung ya terlahir gifted, sudah sepintar itu dengan IQ tinggi dari lahir. Saya cuma bisa mengandalkan belajar dengan sangat keras, bahkan masuk ilmu bedah UI saja, saya yang pas-pasan dan tidak kuliah S1 di UI ini harus mengalahkan ratusan orang untuk kuota yang tidak sampai sepuluh. Yah, untuk hanya bertahan di sini saja saya harus mati-matian belajar. Semoga ke depannya saya bisa mengikuti jejak Dokter Hadja yang punya banyak publikasi ilmiah, ya," kata Shika, ia mengatupkan kedua bibirnya, seolah menampilkan ekspresi berharap. Perkataannya panjang dan lebar tapi....

Memangnya siapa yang bertanya?

Hadja berhenti membaca halaman rekam medis pasien. Ia langsung menatap tajam Shika—meskipun ekspresi wajahnya tidak berubah. Namun, perempuan yang sebaya Hadja itu pastinya tak akan sadar apa yang terjadi. Ia kira tatapan Hadja itu normal saja meskipun membuat Shika sedikit kebingungan.

Sejujurnya Hadja cukup risih dengan keberadaan Shika. Perempuan itu berisik, mengganggu ketenangannya. Shika itu dokter PPDS seangkatan Calyn, baru saja masuk enam bulan lalu. Namun entah mengapa Hadja merasa kurang nyaman bekerja bersama juniornya satu ini, beda sekali dengan ketika bekerja bersama teman angkatan Shika yang lain seperti Gerva.

Yah, Hadja tak mau ambil pusing. Ia tidak merasa ini merupakan hal serius yang perlu ditindaklanjuti. Sekalipun Shika memang cukup membuat Hadja tak nyaman, ya sudah abaikan saja.

Untungnya, perawat senior itu segera menyelesaikan pekerjaannya. Sehingga bersama Hadja dan Shika, mereka bisa melanjutkan pekerjaannya. Pasien pertama tidak ada masalah, sehingga pemeriksaan berlangsung dengan sangat cepat. Namun sedikit masalah muncul ketika memeriksa pasien kedua di ruangan itu, sekaligus pasien terakhir yang Hadja periksa pada jadwal jaganya hari ini.

"Lama banget, Dok. Daritadi saya kesakitan tapi gak ada yang datang ke sini," kata pasien tersebut, tampak marah.

Pasien pasca operasi wasir. Seorang pria berusia empat puluh tujuh tahun dan saat ini tak ada orang yang menemaninya. Ini adalah hari kedua pasca operasinya. Harusnya, keadaannya sudah jauh membaik. Sementara itu Shika mengamati dan mencatat, perawat juga siaga dengan troli obatnya.

"Saya periksa dulu kondisi Bapak, ya," kata Hadja.

Hadja membantu memposisikan tubuh pasien itu untuk mempermudah melihat kondisinya. Luka pasca operasinya hampir sepenuhnya kering, lukanya juga bersih dan tidak ada gejala infeksi, tanda vital bagus. Kalau Hadja lihat dari kondisi fisik, seharusnya besok pagi pasien ini sudah bisa pulang setelah pemeriksaan dengan alat-alat medis.

"Apakah Bapak hari ini sudah mulai mencoba buang air besar secara normal?" tanya Hadja setelah memeriksa kondisi fisik pasien tersebut dan melepaskan sarung tangan lateksnya.

[SS] - Before YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang