I'm finally a step closer to you, but you're now ten step ahead of me
Sudah sekitar sebulan sejak peristiwa dompet hilang, Hadja dan Grace beberapa kali dipertemukan kembali. Entah itu adalah takdir atau kesengajaan yang mempertemukan, yang pasti pertemuan itu tidak disesali oleh keduanya.
Hadja tiba-tiba saja teringat peristiwa di bioskop. Jujur, Hadja merasakan sebuah rasa senang ketika melihat Grace segalam maca emosi yang dirasakan oleh Grace sepanjang film. Sesuatu yang lebih menarik daripada tontonan bermodal miliaran tersebut.
"Hei! Hei! Oi Hadja, kamu ngelamun? Sambil, apaan itu? Hah? Senyum? Mikirin apa sampe begitu?"
Suara itu membuyarkan Hadja yang tengah mengingat kejadian kemarin di kafe. Gawat! Apa yang sedang dirinya lakukan, memalukan sekali.
"Apa, sih," jawab Hadja cepat. Mengembalikan raut wajahnya yang datar seolah tidak terjadi apa pun. Namun nada suaranya terdengar sedikit panik.
"Jangan pura-pura kamu, aku lihat jelas dengan mata kepalaku sendiri. Tuhan, aku kaget banget lihat kamu begitu, kamu sehat?" kata Calyn kemudian duduk berhadapan dengan Hadja.
Saat ini mereka berada di kantin khusus dokter yang berada di lantai satu rumah sakit. Sengaja memilih tempat ini agar tidak terlalu ramai. Sudah lama Hadja tidak makan dengan Calyn sekalipun mereka selalu berada di rumah sakit yang sama.
"Sehat. Denyut jantung normal, suhu tubuh nor—"
"Bukan itu, bodoh!" ujar Calyn kesal. "Ah kan aku jadi ngatain bodoh ke orang pinter," ringisnya.
"Aku udah pesenin makanannya," kata Hadja.
"Makasih. Tapi serius deh kamu kenapa tadi? Aku baru itu lihat kamu ngelamun terus senyum gitu. Mikirin apa? Kayak orang lagi kesengsem aja," ujar Calyn.
"Kesengsem? Itu semacam sangat tertarik ke sesuatu, ya? Kayaknya kalo aku gak salah pemahaman, sering kali dipakai juga buat istilah kalau orang lagi jatuh cinta."
Calyn tampak sedikit bingung dengan penjabaran Hadja. "Ya iya gitu. Kesengsem itu maksudnya kayak lagi jatuh cinta."
"Jatuh cinta? Memang ciri-cirinya apa?" tanya Hadja dengan wajah clueless-nya.
"Cari tahu sendiri, dong," ejek Calyn.
Hadja memilih untuk tidak melanjutkan pembahasan tersebut. Untuk apa juga diperpanjang.
"Mau minta tolong apa?" tanya Hadja.
"Bantu aku belajar tentang gastroenterologi," ujar Calyn mantap.
Setelah berkata demikian, Calyn mengatupkan mulutnya karena tahu ia akan menerima penolakan dari Hadja. Calyn menghitungnya dalam hati, satu, dua....
"Kamu minta tolong itu ke aku? Yang spesialis penyakit dalam siapa?" tanya Hadja.
"Ayolah, aku tahu kamu pasti baca-baca buku tentang itu juga. Lagipula waktu stase penyakit dalam dulu, kamu dapet pembimbingnya dokter subspesialis dari divisi itu, kan? Dokter Via."
"Iya memang Dokter Via. Tapi tetap saja, aku ini residen spesialis bedah, Calyn. Bukan penyakit dalam."
"Dokter Via terlalu perfeksionis. Aku gak yakin bisa lulus ujiannya. Yang aku pelajarin banyak yang buyar lagi. Karena lupa lagi jadi panik, karena panik jadi susah buat nginget dan mahamin materinya. Kayaknya aku memang gak cocok kuliah di kedokteran, otak pas-pasan begini."
Calyn menghela napas, wajahnya tampak murung. Ia meletakkan wajahnya di antara tangannya yang berada di atas meja.
"Bicara apa kamu setelah sejauh ini?" tanya Hadja sembari menatap Calyn tajam.

KAMU SEDANG MEMBACA
[SS] Before You
RomancePerkenalkan, The Untouchable Hadja. Keturunan konglomerat Saputro yang tampan dan jenius. Seorang dokter penderita alexythimia dan penyintas PTSD. Diam, datar, tak bisa ditebak, dan tak menunjukkan emosi, Hadja benar tak tersentuh. Jangankan mendeka...