09 - The Forgotten Invitation

714 81 0
                                    

Hadja membuang apron medis sekaligus penutup kepala dan maskernya ke tong sampah di dekat ruang operasi. Dia mencuci tangannya kemudian berjalan keluar dari ruang operasi. 

Setelah sekitar dua belas jam berada di ruang operasi, Hadja akhirnya bisa menghirup udara di luar—meskipun masih rumah sakit. Dokter Amri sudah pergi dari ruangan lebih awal. Sementara itu, Hadja, para perawat, dan dokter lain masih harus berada di ruangan lebih lama untuk memantau pendarahan dan reaksi tubuh pasien sebelum melakukan penjahitan akhir.

Ketika sampai di dekat ruang istirahat residen departemen bedah umum, Hadja bertemu dengan seorang dokter residen perempuan. Hadja kemudian menghentikan langkahnya ketika perempuan itu menghampirinya.

"Ada apa?" tanya Hadja.

"Dokter Hadja," sapa perempuan itu. "Baru selesai operasi transplantasi, ya? Bagaimana operasinya, Dok?" tanya perempuan bernama Shika.

"Lancar, meskipun sempat ada pendarahan, tapi bisa dikontrol dengan baik. Tidak ada reaksi penolakan juga. Tinggal mengawasi pascaoperasinya saja," jawab Hadja.

"Seperti biasa Dokter memang hebat."

"Tidak aku cuma membantu." Hadja menggelengkan kepalanya. "Ada apa?"

"Dokter sudah makan malam?" tanya Shika.

"Belum."

"Bagaimana kalau makan bersama di kantin, Dok?"

Dilihat secara umur, Shika sepantaran dengan Hadja, tetapi jika dilihat dari tingkatan, Shika adalah junior Hadja.

"Silahkan saja. Aku masih harus mengontrol pasien dan menyelesaikan laporan jaga."

Setelah berkata demikian, Hadja pergi begitu saja. Dia harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya sebelum malam terlalu larut. Karena jika terlambat, Hadja tidak akan bisa menepati perkataannya.

Sekitar dua jam berlalu, Hadja akhirnya menyelesaikan seluruh pekerjaannya untuk hari ini. Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam, kafe di seberang rumah sakit pasti masih buka.

Hadja keluar dari ruang ganti khusus pria. Dia keluar dengan mengenakan celana denim panjang berwarna hitam dan atasan kaos berwarna cokelat.

Baru berapa langkah berjalan keluar dari ruang ganti, Hadja merasakan sesuatu yang kurang dari saku celananya. Ternyata dompetnya tertinggal di loker. Mau tidak mau, Hadja harus kembali ke ruang istirahat.

Tidak ada orang di ruang istirahat para dokter residen. Mata Hadja menangkap buku-buku berserakan di atas meja dan bagian atas kasur tingkat. Hadja tahu kalau itu adalah peninggalan dari seniornya yang sedang belajar sebelum akhirnya dipanggil untuk melakukan operasi. Waktu ujian semester memang tidak lama lagi.

"Permisi, apa Anda dokter PPDS ilmu bedah?" Seorang dokter pria dengan snelli pendek yang bagian lengannya juga pendek berdiri tepat di pintu ruang istirahat.

"Iya, ada apa?" tanya Hadja.

"Saya diminta untuk mencari dokter PPDS yang ada. Dari tadi sudah berkeliling tapi semuanya punya pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan," jawab seorang dokter umum itu dengan napas terengah-engah.

"Iya langsung jelaskan saja."

"Ada pasien darurat, korban kecelakaan mobil. Pasien tidak sadarkan diri dan harus segera dioperasi. Perutnya membengkak karena pendarahan internal, pendarahannya juga mengganggu saluran pernapasan. Kepala IGD sudah menghubungi Dokter Fira, beliau bilang akan sampai dalam dua puluh menit, jadi saya diminta untuk mencari dokter PPDS untuk menjadi asisten operasi."

"Sudah menghubungi anestesi dan menyiapkan ruang operasi?" tanya Hadja.

"Sudah, kepala IGD sudah menghubungi dokter anestesi dan para perawat juga sedang menyiapkan ruang operasi."

[SS] - Before YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang