14 - Someone's Waiting

711 76 7
                                    

Pikiran Grace kacau, ia panik dan berharap kalau tidak terjadi hal buruk kepada nenek Tara. Leo tak bisa dihubungi sejak kedatangan Grace di bandara Halim Perdana Kusuma hingga kini menunjukkan waktu pukul delapan malam, apalagi dengan Tara yang ponselnya sama sekali tidak aktif sejak pagi.

Grace langsung pergi menuju restoran dengan membawa sebuah koper berwarna biru. Langkahnya tergesa-gesa segera setelah ia turun dari taksi. Grace ingin segera menemui Tara dan neneknya. Oleh karena itu, ia tak mau mengulur waktu lebih banyak untuk bolak-balik ke apartemen. Kebetulan nenek Tara dilarikan ke rumah sakit di depan kafe.

Tempat dokter itu bekerja.... Entah mengapa Grace langsung terpikir hal tersebut. Namun sepertinya firasat kadangkala memang mencoba menyampaikan sesuatu. Iris mata Grace menangkap seseorang yang baru saja terlintas di pikirannya, orang itu kini hanya berada beberapa langkah darinya.

Sesaat Grace terpaku sampai akhirnya matanya bertukar tatap dengan pria yang beberapa detik lalu mengobrol dengan wanita cantik di hadapannya. Tatapannya dingin tetapi terasa lembut di saat yang bersamaan. Jarak mereka bahkan tidak dekat, tetapi tatapan itu tersampaikan dengan baik kepada yang dituju, terlepas dari apakah mereka saling menangkap arti dari tatapan terebut.

Untungnya Grace tersadar apa yang saat ini menjadi prioritasnya karena jika tidak, Grace akan mematung tanpa kata lebih lama di tengah kafe seperti orang bodoh. Atau mungkin melakukan hal bodoh lainnya seperti mengungkapkan kekecewaannya yang sangat kekanakan dan memalukan mengenai mengapa pria tersebut tak muncul sama sekali untuk memenuhi undangannya tempo hari di biskop. Karena jika Grace melakukannya, ia akan merasakan sesal berkepanjangan atas tindakan bodoh dan implusifnya.

Ya, niatnya kemari adalah meletakkan koper dan bergegas menuju rumah sakit. Grace pun berhasil mengalihkan pandangannya, tetapi tidak dengan Hadja.

"Hei Hadja! Hadja kenapa kamu tiba-tiba berhenti?" tanya Calyn.

Wajar saja Calyn kebingungan, Hadja yang  selalu cas-cis-cus dalam menjelaskan suatu materi—seperti yang diharapkan dari sang jenius, tiba-tiba terdiam membeku di tengah kata-katanya. Sungguh bukan seorang Hadja untuk mendadak diam sebelum menyelesaikan pernjelasannya.

"Lihat apa sih?" Menyadari tatapan Hadja yang aneh—hanya tertuju ke satu titik, Calyn segera mengikuti arah mata Hadja memandang. Namun Calyn tak menemukan apapun kecuali ruang kosong di bagian tengah kafe yang dekat dengan tempat kasir.

"Hadja!" Calyn yang sama sekali tak mengerti apa yang ada di pikiran Hadja berusaha memanggil lebih keras.

Hadja akhirnya kembali menatap Calyn, Hadja benar-benar tetap tampak tenang padahal satu detik lalu ia masih terpaku entah menatap apa. "Calyn, tatapan itu punya arti, kan?" tanya Hadja.

"Tiba-tiba? Ada apa sih memangnya? Bukan lanjut jelasin materinya."

Seperti yang sudah dijanjikan—setelah Calyn memohon terus-terusan kepada Hadja, akhirnya kali ini mereka memulai sesi pengajaran tersebut. Meskipun harus diakui kalau terkadang otak mungil Calyn tak mampu menangkap penjelasan Hadja yang rumit dan bahasanya berat, tetapi yang Calyn sukai dari belajar dengan Hadja adalah bahwa pria itu tak keberatan untuk mengulang dan terus menjelaskan hingga Calyn paham. Di hadapan Hadja, Calyn tak takut untuk menampakkan kepayahannya.

"Iya nanti di lanjut," jawab Hadja.

"Kamu aneh tiba-tiba nanya begitu, Hadja. Aku gak paham tapi mari kita skip aja bagian itu soalnya aku tanya pun pasti kamu gak akan jawab ada apa itu. Tapi ya, tatapan itu punya arti, bahkan menurutku tatapan kosong pun punya arti yang berarti orang itu got something or nothing going in their mind so they don't pay attention to people."

Hadja tidak membalas perkataan Calyn. Kalau seperti itu, tandanya perkataan Calyn belum mampu menjawab pertanyaan Hadja. Pria itu masih mengingkan jawaban lagi.

[SS] - Before YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang