3 - Frontal

23.8K 2.4K 154
                                    

"Happy Reading"

Setelah menyelesaikan masalah perut, dan perdebatan singkat antara mereka mengenai rahasia Malvin, akhirnya saat ini mereka sudah berada di dalam mobil. Friska mengelus-elus perutnya yang terasa sangat kenyang. Sesekali dia bersendawa tanpa merasa malu. Malvin sedari dalam perjalanan selalu geleng-geleng melihat tingkah konyol Friska yang tak henti-hentinya memudar.

Setelah melalui perjalanan cukup panjang, mobil pun akhirnya berhenti tepat di sebuah rumah yang telah menjadi tujuan mereka. Pandangan Malvin beralih pada Friska sekilas. "Ini rumah lo?"

Friska ikut menatap Malvin. Lalu tersenyum padanya. "Oh engga, ini rumah tetangga." Friska seketika merubah ekspresi nya menjadi kesinisan. "Ya, rumah gue lah!"

Malvin hanya ber'oh’ria. Lalu kembali berucap, "Yaudah, turun." Tangannya segera membuka pintu mobil Malvin, tanpa berbicara sepatah kata lagi ia mulai mengeluari dirinya dari mobil tersebut. Namun, belum sempat turun tangannya tiba-tiba ditahan oleh Malvin, yang membuatnya harus kembali dan menutup pintu mobil tersebut.

Friska menatap Malvin heran. "Ada apa sih?"

Tatapan Malvin benar-benar sulit diartikan. "Hapus video yang ada di ponsel lo, sekarang," pinta Malvin pelan, namun terdengar sangat tegas.

Friska cengengesan mendengarnya, ia pun segera mengumpati dirinya sendiri mengenai hal tersebut. Friska memberikan tanda peace pada Malvin, harap-harap menerima perdamaian. “Gue cuma bercanda.”

“Gue lagi gak menerima jasa kebohongan.”

Friska menatap Malvin dengan raut wajah tak percaya. "Jadi, lo percaya gitu aja?" Friska seketika tertawa melihat Malvin, tentu saja semua yang dikatakannya hanya mengada-ngada. Dan mengagetkannya lagi lelaki itu percaya begitu saja. "Padahal lo liat sendiri gue gak ngevidion waktu masuk tu gubuk. Lagian gue aja gak ada megang hp sedari tadi. Itu pun gue mainin hp lo karena minta nomor lo dengan cara ngirim pesan ke hp gue. Jadi nantinya gue bisa simpan pas gue udah pulang.”

Malvin menatap Friska dengan tajam, tangannya meraih sebuah pisau kecil berada pada sakunya. Disodornya pisau tersebut pada leher Friska. Ia tersenyum melihat reaksi terkejut gadis itu. "L-lo gak bisa bunuh gue di depan rumah gue sendiri.”

"Siapa bilang?" Suara rendah itu terdengar lembut, namun terasa mematikan.

Friska menggelengkan kepalanya. "Gue ngelakuin itu karena ...." Friska menelan ludahnya dengan susah payah, terlebih jarak mereka yang terbilang sangat dekat. "Gue masih mau hidup, lah. Gue masih mau hidup normal, gue mau hidup sama sahabat-sahabat gue walaupun mereka kayak setan, dan sama keluarga gue walaupun ngeselin."

“Lo punya keluarga juga, kan? Pasti, dan lo harus membuat diri lo berada di posisi orang-orang yang udah lo bunuh. Entah gimana keluarga dan tersayangnya, terlebih jika kehidupannya terbilang cukup tenang. Jangan ganggu kebahagiaan orang lain, Malvin. Hanya karena ... kalo lo gak ngerasain itu.”

Malvin hanya diam, Friska buru-buru memenangkan dirinya, lalu kembali menatap Malvin kesal. “Lo kan ganteng—“

“Apa hubungannya sama kagantengan gue bodoh.”

Friska nyengir. “Gak ada sih, tapi selagi nyawa diujung tanduk. Sangkut pautin sama apapun dah asal selamat.” Lagi-lagi Malvin hanya diam. “Gini deh, tadi lo udah ngasih kepercayaan sama gue, sekarang lo bisa pengang ucapan gue untuk menjaga rahasia lo. Gue gak akan punya nyali.”

Berhasil—entah berhasil dalam apa—karena apa, tangannya perlahan menjauh, lalu kembali meletakan pisau tersebut ke dalam sakunya. Ia menatap Friska, kali ini tatapannya terlihat biasa saja, tak menandakan apapun. "Turun. Sekarang."

P. Sycho [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang