"Happy Reading"
Angin menerpa wajahnya, tak memperdulikan betapa berisiknya sekitar, dengan tangan yang memegang sebuah buku. Ingin merasa ketenangan setelah memutuskan untuk membaca di taman. Namun, ketenangan tersebut hanya akan datang sesaat teruntuk lelaki itu--Malvin.
Malvin merasa terusik saat merasakan terdapat seseorang tengah menduduki diri disebelah dirinya tanpa izin.
Kali ini Malvin dapat merasakan bahwa wajahnya telah diamati. “Pergi.”
Dia—seorang gadis--Selin terkekeh mendengar teguran Malvin secara tiba-tiba terlontar, yang entah bagaimana menyadari kehadirannya. Ia membuat jarak dirinya dan Malvin lebih dekat. “Seneng, lo bisa ngenalin gue.”
Malvin tentunya hanya diam. Ingin terlihat tak terusik. “Ngomong-ngomong, gue udah tau rencana lo. Buat deketin dia sebagai pancingan biar gue cemburu, bukan? Antara dua, lo mau gue jauhin lo atau lo kesal karena gue jalan bareng cowok lain?”
Lagi dan lagi tak terdapat jawaban. “Gue ngerti, Malvin. Lo juga gak bakalan mungkin suka sama dia, cewek cupu, genit, aneh dan juga kecentilan itu mana bisa bersanding sama lo. Gue tipe yang terbaik dari yang terbaik, nyari kayak gue itu susah. Jadi jangan jadiin cewek murahan itu jadi pengantin gue. Big no, baby.”
Tepat, kali ini Selin tidak dicuekin lagi. Dia membalas, namun dengan sebuah gelak tawa. “Selin ... Selin, miris banget sih jadi lo, ngaca deh, bukannya sebaliknya ya? Lo bersikap seakan akan gue suka sama lo dan berbuat berbagai cara agar gue tertarik sama lo. Gue bahkan bisa bermain bersama banyak wanita, dan lo bukan satu-satunya—lo tidak se-spesial itu.”
“Lagipun, pikirkan lo bener-bener cetek, pemikiran kekanak-kanakan, yang sangat membanggakan dirinya sendiri. Miris gue.”
Selin berdecak sebal. “Jangan berakting kaya gitu, lo udah ketahuan, gue udah tau kok, kita kan udah lama kenal, dan dulu lo juga udah pernah ngelakuin hubungan dengan banyak cewek. Jadi, gue yakin pasti tu cewek salah satunya," ucapnya dengan bangga. “Lagian, kita juga udah pernah ngelakuin itu. Malvin!”
Malvin terkekeh.
“UPS, ngebongkar jati diri sendiri. Siapa sih yang masukin obat tidur ke minuman gue. Terus nidurin gue? Keliatan kan, siapa yang sebenarnya murahan.” Malvin tentunya tau dari cctv rumahnya. Selin benar-benar licik jika ingin mendapatkan sesuatu.
Selin menghentakkan kakinya kesal. Malvin benar-benar menyebalkan, tetapi ia harus mendapatkan cowok itu. Malvin berdiri, berniat meninggalkan tempat itu namun kalah cepat dengan Selin yang segera mungkin menarik tangan Malvin, lalu mendekatkan dirinya pada Malvin.
Belum sempat berucap. Seseorang--Friska yang sedari tadi memperhatikan mereka dengan segera menarik Malvin dengan paksa hingga membuat Selin hampir saja tersungkur. "Gak usah genit-genit sama dia!" ketus Friska lalu membawa Malvin pergi. Cowok itu hanya menurut, dari pada harus bertemu nenek lampir seperti Selin.
Selin berdecak sebal. "Gue bakalan rebut dia dari lo!" gumamnya. "Kalau lo ngerebut milik gue, lo akan berurusan sama gue!”
"Jangan main-main sama gue, taruhannya ada dua pilihan. Hidup atau mati.”
***
Friska membawa Malvin keroofstof. Ditatap tajamnya Malvin dengan perasaan ingin memukul yang mengebu-gebu.
"Gak usah deket-deket. Sekali--dua--tiga—apapun, cukup Deket sama gue. Cuma gue!"
"Lo siapa?" tanya Malvin seenak jidad.
Friska berdecak sebal. "Pacar lo."
"Gue gak pernah nembak lo.”
"Pdkt lo."
"Gue gak pernah ngajak lo pdktan.”
"Yaudah, gue jodoh lo!"
"Gua—"
"Gue apa? Jangan ngadi-ngadi, lo belum tau jodoh lo siapa." Friska tersenyum sombong.
"Yang pasti bukan lo.”
Sialan.
Friska cemberut seraya menatap Malvin sinis. “Gue foto ya? Lumayan, buat nakutin setan di rumah gue.”
“MALVIN BRENGSHAKEEEEEEEK!”
Teriakan gadis itu benar-benar dasyat. Malvin lantas saja menutup kupingnya dengan erat, berharap kesehatan kupingnya baik-baik saja. Dan tidak tercemari virus budeku. Hingga akhirnya, gadis itu menghentikan teriakannya. "Udah selesai teriaknya?" tanya Malvin dingin. Ia dapat melihat Friska yang tengah ngos-ngosan.
Friska berdecak sebal. "Tau ah, males," balasnya lalu duduk dan menggelamkan kepalanya ditangannya.
Malvin ikut mendudukkan diri, menatap gadis aneh itu dengan senyuman. "Lo kenapa, gila?"
Friska mendongak. "Lo gak peka banget sih! Gue suka sama lo!" teriaknya tanpa merasa malu.
"Gue peka, gue juga ngerti. Tapi, bukan lo yang gue mau.”
Friska menatap Malvin dengan sedu. “Lo suka sama cewek lain?” Ia bertanya lirih.
Malvin menggelengkan kepalanya pelan. Ia tersenyum. “Gue lagi gak suka sama siapapun, dan gak mau sama siapapun makanya gue bilang begitu. Gue sendiri gak tau, apa yang gue mau.”
Friska mengangguk mengerti. "Tapi, pasti nanti suka. Kayak Iqbal ke Acha."
"Iqbal? Acha? Siapa? Tetangga lo," tanya Malvin ngaco.
"Ish bukan, dia tokoh di cerita Mariposa!"
"Itu kan cuman cerita," ucapnya enteng. "Gak mungkin terjadi.”
"Pasti, karna perjuangan nggak akan mengkhianati hasil.”
Malvin geleng-geleng. "Terserah, gue cuman gak mau lo entar sakit hati.”
“Tapi gue yakin, lo gak bakalan nyakitin guee!”
“Lo itu terlalu berharap,” ucap Malvin. "Gini aja, gue tantang lo main basket, kalau lo kalah, lo harus jauhin gue, tapi, kalau lo menang, lo bebas ngelakuin apa pun sampai gue suka sama lo," lanjutnya. “Dengan seizin gue, itu bisa mempermudah, bukan?”
Friska nampak berfikir sesaat. “Tapi gue gak bisa main basket.”
“Gue gak peduli mengenai itu. Antara dua pilihan, lo ngelakuin syarat gue atau lo jangan ganggu gue lagi.”
“OPSINYA MENYULITKAN!”
“Gue kasi waktu buat lo belajar seminggu. Gimana?” Ia tersenyum sinis. “Gue udah ngasih keringanan loh.”
"1bulan?"
"6 hari."
"Setengah bulan?"
"3 hari," jawab Malvin santai. Friska melotot saat itu juga.
"Seminggu deh seminggu!" ucapnya pasrah.
“Oke, kalau lo kalah, lo harus nurutin semua permintaan gue.”
“Tapi kalau gue menang, lo harus nurut sama gue!” Friska berucap yakin.
“Aman.”
Malvin tersenyum tipis. Dia menyodorkan tangannya, Friska pun menerimanya. "Deal."
Malvin tau gadis ini tidak mungkin bisa bermain basket, apalagi tinggi badannya yang tidak mendukung ini, ya walaupun tidak terlalu pendek.
Lagipula, bermain basket bukan hal yang mudah.
***
Waktu pulang telah tiba, gadis itu—Friska berdiri dengan senyuman yang terus-menerus terukir. Pandangan mengedar ke banyak arah, dengan harapan Malvin tepat berada di hadapannya.
Friska berencana mengajak Malvin pulang bareng, siapa tau ia akan mau dikarenakan negosiasi yang telah dibuat.
Friska berdecak sebal. Sudah lebih dari 30 menit ia menunggu, seperti orang gila yang menyaksikan orang lain lalu lalang. “Malvin ke mana, sih?”
Tepat. Pandangannya segera menangkap sosok pria yang jalan Malvin tengah berjalan menuju motornya. Gadis itu tersenyum senang. “Mal—“
Senyum Friska memudar saat tiba-tiba terdengar seorang perempuan berlari lalu dengan seenaknya memeluk Malvin, tanpa tau malu. Friska dapat melihat Malvin terdiam, sampai akhirnya iapun menepis tangan gadis itu yang berada di pinggangnya.
Friska dapat mendengar mereka.
"Pulang bareng yuk!"
Malvin tak menjawab, melainkan kembali melangkahkan kakinya. Lelaki itu terdiam, setelah dilihatnya Friska yang tengah menyoroti dirinya dengan kesinisan.
"Ayo dong Malvin!" teriaknya. Selin mendengus saat lelaki itu hanya terdiam. “Yaudah, gue naik taksi aja.”
“Lo pulang bareng gue.” Belum sempat melangkah, sebuah suara membuat Selin tersenyum sumringah.
“Beneran?!!”
Malvin tersenyum tipis, lalu mengangguk pelan.
Malvin dapat melihat wajah gadis itu sangat masam. Ia terlihat sangat kesal mengenai tindakan Malvin.
“Cowok sialan! Gue gak akan biarin kalian barengan!” Friska melangkah hendak menghadapi Malvin, sebelum ia benar-benar telah pergi.
Namun, Friska kalah cepat dengan kedatangan seorang cowok yang entah dari mana datang seraya menyodorkan helmnya pada Friska. “Gak ada tebengan, kan? Ayo pulang bareng.”
Friska tersenyum lebar melihat itu, sebelum menaiki motor cowok itu, dia menatap Malvin seperti meremehkan. Lalu tanpa berfikir panjang segera memeluk pinggang cowok itu. Tentu saja ia yang disebut Aksa itu sangat senang mendapatkan perlakuan tak terduga seperti ini. Ia segera menjalankan motornya, membawa Friska meninggalkan sekolah.
Kepergian Friska menarik perhatian Malvin. Katanya suka, tapi deket sama cowok lain, dasar women.
Friska tersenyum bahagia, terlebih ia tadi tak sengaja melihat Malvin menatapnya sinis. Ia harap Malvin juga menyukainya, jika dilihat dari perlakuan Malvin, Friska dapat mengpede bahwa Malvin cemburu dan tentu menyukainya.
Lamunan Friska buyar, saat mendengar teriakan Aksa. "LO ANAK BARU, KAN?”
"IYAA!"
"LO ANAK IPS KAN?" tanyanya lagi sembari teriak. Memang berisik sekali di jalan saat ini, jadi kudu teriak-teriak.
"IYAAA!"
Aksa mengangguk mengerti. "Rumah lo di mana?”
Hah? Ngomong apaan ni cogan? batin Friska kebingungan. Bodo amatlah, iyain aja. "Iyaa!"
"RUMAH LO DI MANAAA?"
"IYAAA!"
"RUMAH LO DIMANAAA?" teriak Aksa yang sudah tau kalau Friska belum menjawab petanyaanya.
"IYAAA!"
Aksa geleng-geleng, ia membuat arah motor tersebut beralih pada permukiman sepi, untuk bertanya lebih jelas, akibat kendaraan lalu lalang hari ini sangatlah berisik.
Friska menatapnya heran. "Lah? Ngapain berhenti?"
"Rumah lo di mana?"
"Di jalan Jubaedah." Aksa mangguk-mangguk mengerti.
Aksa bergegas kembali menjalankan motor, dengan tujuan yang telah tersebut tadinya.
Setelah melewati beberapa menit. Akhirnya mereka pun sampai pada rumah Friska. Friska segera turun dari motor Aksa lalu memberikan helm cowok itu. “Makasih banyak, yaa.”
Aksa menerimanya lalu tersenyum. "Sama-sama, btw boleh minta nomor lo, gak?"
"Buat apa?"
"Buat ngenal lo lebih dekat, dan siapa tau lo butuh ojek mendadak?" tanya Aksa sembari terkekeh.
Friska tertawa . "Gak perlu, tapi kalau mau berteman, okelah.”
Friska pun mulai menyebutkan angka demi angka, sedangkan Aksa dengan segera mengetik di ponsel mimiliknya. “Oke, thanks ya.”
"Yoi, yaudah, gue masuk dulu ya," pamit Friska. "Btw, lo mau masuk dulu atau gimana?"
"Engga usah, gue pulang sekarang aja, soalnya ada urusan. Aksa mulai menyalakan motornya. Friska hanya mengangguk mengerti.
"Yaudah, gue pulang dulu, bye Riska!" Aksa berteriak dengan motor yang telah berjalan, meninggalkan gadis itu di depan rumahnya.
Friska hanya terkekeh, lalu kakinya mulai melangkah memasuki permukiman rumah dan memasuki pintu utama.
Hari yang mengagetkan. Namun juga menyenangkan jika mengenai dia dan Malvin.
Lalu, bagaimana dengan selanjutnya? Akankah lancar atau sebaliknya? Yang dipikirkan adalah, harapan bahwa Malvin menyukainya terjadi.
***
Saat ini Friska tegah berada di kamar dengan keberadaan ke-empat teman-temannya. Dirinya sempat menyuruh mereka lalu menceritakan apa yang telah dialami.
“Jadi lo nantang dia?”
Friska mendengus sebal. Ia menatap Zoid sedu. “Dia nantang gue.”
“Terus, lo iyain?” tanya Tiffa.
“Apa menurut kalian gue punya pilihan?”
Mereka tertawa mendengar itu. Nasib temannya benar-benar mengagetkan.
“Bantu gue. Waktunya Cuma seminggu, kalau gue mikirin sendiri bisa stres.”
Mereka hanya diam namun dengan pikiran yang bergulat. Memikirkan syarat yang pas untuk gadis itu.
"Gue punya adi!" teriaknya antusias. Hal itu membuat semuanya keget bukan main, lalu menatap cowok itu dengan tajam, sedangkan yang ditatap hanya cengengesan.
"IDE GEBLEK.” Zoid geleng-geleng.
"Sama aja," elak Abdi
"Ide apaan?" tanya Tiffany.
"Gimana kalau Aksa?”
Sial. Friska mengenalinya nama itu.
“Bener banget. Aksa kan bisa tuh.”
Tiffa mengangguk pada Zoid. "Iya, dia juga sering mewakili sekolah.”
“Terus gimana nih?” tanya Adel
Mereka menatap Friska yang hanya diam sedari tadi. Menunggu persetujuan dari gadis tersebut
"Jadi—“ Friska menatap mereka ragu. “Sama Aksa?”
Mereka mengangguk antusias. Friska menghela nafas kasar. “Jadi gimana dia. Lo mau?” Lagi lagi Adel bertanya.
“Seolah-olah gue punya pilihan.”
Mereka tertawa mendengarnya.
"Telpon sekarang!"
“Abdi bener. Sekarang aja, jangan nunda.” Friska tersenyum pada Zoid.
Friska mengambil ponsel yang berada di saku miliknya, membuka kontak lelaki yang telah disebut, baru beberapa menit yang lalu lelaki tersebut mengirimkan dirinya pesan bahwa itu adalah nomornya.
Tangannya mulai menekan tanda telepon. Lalu membuat suara itu membesar setelah diangkat.
"Hay Aksa!”
“Iya Ris, kenapa?”
“Gue cuman mau minta bantuan sama lo, bisa?"
"Bantuan apa?"
"Lo kan hebat banget ni main basket, jadi, gue mau minta ajarin sama lo. Apa lo ma_"
"Gue mau, besok kita mulai, lo datang aja kelapangan. Masalah waktu, gue uris," potongnya. Lalu mematikan panggilan itu secara sepihak.
Friska dkk heran, mereka pun saling memandang, detik berikutnya mereka tertawa. Entah apa yang lucu, yang pasti mereka bahagia karena respon lelaki itu tidak mengecewakan.
***
Di sore hari, seperti apa yang dikatakan Aksa, dia mengajarkan skill dan peraturan bermain basket. Friska dengan senang hati mengikuti instruksi Aksa. Untung saja cowok itu sabar menghadapi sikap cerewet Friska.
Friska sangat kesal karna bolanya tidak pernah memasuki keranjang basket. Namun, ia tak menyerah, lagi dan lagi ia mengulangi.
Kali ini Friska langsung fokus, seperti apa yang dikatakan Aksa. Setelah itu dia pun melempar bola itu keranjang. Friska kaget sekaligus senang saat bolanya tepat sasara.
"Bolanya masuk!" teriak Friska berada di hadapan Aksa. Aksa hanya mengangguk sembari tersenyum lebar. Tanpa aba-aba, Friska memeluk Aksa antara sadar tidak sadar.
Friska yang sadar langsung melepas pelukannya, tetapi, senyuman tak kunjung hilang. "Aksa sorry ya, reflek.” Aksa hanya membalas dengan senyuman.
"Kalau gak bisa main, nyerah aja.”
Mereka kaget mendengar suara itu, keduanya segera menoleh pada pemilik suara. Friska tersenyum lebar. "Eh masa depan!"
"Njirr masa depan," ejek Saka sambil terkekeh.
“Jauh pemikiran lo Ris," lanjut Dafa disertai tawa.
Friska memonyongkan bibirnya. "Siapa tau beneran!" ketusnya.
"Terserah! Halu bebas," balas Dafa.
"Gue saranin mending lo nyerah.”
Friska geleng-geleng akan ucapan Malvin. "Gak semudah itu ferguso!"
"Terserah lo! Gue cuman nyaranin aja," ucap Malvin. "Oh iya, gantian, gue mau latihan.” Malvin menunjuk mereka satu persatu. "Lo, dan lo. Bisa pergi.”
"Eh, gak bisa gitu dong ganteng!" ketus Friska.
"Gak papa Ris, kita juga udah lama latihan, dan ini giliran mereka," jelas Aksa lembut.
"Tapika_"
"Udah, besok kan bisa.”
Friska menghela nafas pasrah serta mengangguk pelan. "Yaudah deh, demi Malvin aku ngalah.”
"Yaudah, yuk Ris," ajak Aksa sembari mengengam tangan Friska tanpa aba-aba, lalu menariknya agar berjalan beriringan.
Malvin hanya menatap kepergian mereka dengan mata yang tak hentinya terlihat sinis.
***
Pagi hari telah tiba, menyambut senandung gadis yang tengah mengendarai sepeda. Namun, pandangannya tak sengaja menangkap sosok lelaki idamannya tengah berada di tepi jalan. Tanpa banyak fikiran, digoesnya sepeda dengan tujuan si lelaki.
"Hay Malvin!"
Malvin mendengus sebal melihat itu. Gadis itu menambah kekesalan saja. Friska segera menuruni sepeda lalu berjalan menuju Malvin. "Lo ngapain di sini?"
"Mobil gue mogok.”
Friska tertawa mendengarnya. “Katanya horang kaya. Mobil aja bisa mogok.”
Malvin mendengus kesal. "Berisik! Lagian ini salah supir gue, kenapa gak dibawa ke-montir. Mana dia sakit lagi.”
Friska tersenyum mendengar itu. Idenya tiba-tiba terpancar di otak. "Yaudah, kalau gitu, bareng gue aja."
"Bareng lo?" Friska mengangguk semangat.
"Ogah.”
"Nggak usah gengsi deh, dari pada entar telat loh."
Malvin nampak berfikir sebentar, lalu menatap sepeda sekaligus wajah gadis yang berada di hadapannya saat ini dengan keraguan.
5 menit tidak mendapat jawaban, Friska langsung memukul lengan lelaki itu.
“Lama banget mikirnya! Keburu telat ini!" ketus Friska yang saat ini sudah mulai hilang kesabaran.
Malvin ingin sekali tertawa saat melihat wajah kesal gadis itu, tetapi, dia harus menahannya. Pada akhirnya, Malvin pun mengangguk. "Yaudah, gue mau. Tapi, jangan kepedean dulu, gue cuman nggak mau telat.”
Friska mendengus kesal. "Iya deh, gak janji gue.”
Mereka mulai melangkah beriringan menuju sepeda gadis itu. Friska segera menaikinya, lalu menatap Malvin yang hanya berdiri. “Ayo.”
Malvin mengerjapkan matanya. "Lo bonceng gue?" Friska mengangguk semangat. Hal itu membuat Malvin menggeleng keras. "Mau di letak dimana muka gue kalau dibonceng sama cewek!”
"Lah? Emang salah?"
"Bukan salah, tapi salah besar! Turun lo!" Friska hanya menurut, setelah itu kali ini Malvin yang menaikinya.
"Ayo naik!" Friska pun menaikinya.
Positif thinking aja Ris, mungkin Malvin pms
Friska yang heran karena Malvin tak kunjung menjalankan sepedanya pun bingung. "Kenapa gak jalan?"
"Ini udah telat, kalau bawa sepedanya lambat, gak akan keburu."
"Lah? Terus?"
Malvin berdecak sebal. "Pegangan. Gue mau ngebut, entar lo jatuh, gue yang repot!”
Friska pun langsung tersenyum lebar saat itu, dia langsung melingkarkan tangannya dipinggang Malvin dengan erat, dan menyandarkan kepalanya dipunggung lelaki tersebut. Malvin yang melihat itu tersenyum tipis. Lalu menjalankan sepeda seperti dugaan.
Waktu hitungan menit telah berlalu. Keduanya sampai pada tujuan, sepeda yang telah dituruni itu diparkir Malvin ke sembarang tempat. Mereka menghampiri gerbang yang di dalamnya terdapat pak Satpam.
"Oh! Oh! Kalian terlambat," ejek Pak Satpam.
"Yahh, jangan gitu dong Pak!" ucap Friska.
"Bener tu, kita cuman telat 5 menit doang!" bela Malvin.
"5 menit doang kamu bilang? Kalian itu udah telat 30 menit!"
Friska dan Malvin lantas kaget dengan apa yang dibilang Pak Satpam.
"Kok bisa! Gara-gara lo nih!"
"Enak aja, lo yang lama bawa sepedanya!"
"Emang lo yang salah. Jangan nyalahin gue deh!" teriak Malvin tak mau kalah.
"Lo yang salah, siapa suruh mikirnya kelamaan terus bawa sepedanya!"
"Gak usah nyalahin gue deh lo, yang salah itu elo!"
"Apaan sih, lo dong!"
"Lo!" teriak Malvin.
"Lo!" teriak Friska tak mau kalah.
"Lo!" teriak Malvin nyolot.
"Lo!" pekik Friska.
"Ada apa ini?" tanya Pak Bomo yang tak sengaja lewat.
"Diam!" sentak Malvin dan Friska dengan bersamaan. Kemudian, mereka sadar, bahwa mereka tengah menyentak siapa. Lalu, mereka menatap Pak Bomo yang sedang shock.
Mereka tersenyum sumringah. “Maaf Pak, maaf.”
"Gara-gara lo ni Vin.”
Ditatapnya tajam gadis itu. "Enak aja lo nyalahin gue!"
"Lah, emang iya kan?" balas Friska.
"Diam!" teriak Pak Bomo menghentikan perdebatan mereka. Mereka langsung kicep alias diam, nyali mereka tiba-tiba menciut.
"Kalian udah terlambat dan malah buat keributan di sini!" ketus Pak Bomo.
“Maaf Pak.”
Pak Bomo menghela nafas pelan. "Pak, kasih mereka hukuman, saya masih sayang sama kesehatan, jadi gak mau ngurus masalah dulu," ucap Pak Bomo lalu dibalas anggukan oleh Pak Satpam.
"Awas ya, jangan macem-macem kalian. Tak gigit, rawrr," geram Pak Bomo. Lalu pergi dari sana seraya memijat pelipisnya.
"Kalian berdua, lari lapangan 10 kali, lalu hormat ke bendera, setelah istirahat, kalian baru boleh masuk," ucap Pak Satpam.
Mereka mau tak mau melakukan itu. Setelah pagar dibuka. Mereka berdua pun berlari mengelilingi lapangan yang amat besar! Bagaimana tidak, sekolah ini adalah sekolah terbesar di kota ini
Beberapa menit lamanya telah berlalu. Akhirnya mereka berdua sudah selesai menyelesaikan satu hukuman. Tinggalkan satu lagi, mereka pun berdiri lalu menghormat. Friska sungguh sangat lelah.
Sedangkan Malvin? Cowok itu cowok yang kuat jadi hal itu tidak mengurangi tenaganya, dia juga sudah biasa berdiri di sinar matahari, dan memang sering kali dihukum, tetapi, akhir-akhir ini dia jarang yang namanya dihukum. Ini kali pertama setelah sekian lama Malvin kembali dihukum.
Malvin melirik gadis itu perlahan, dapat terpampang wajahnya telah memucat, sepertinya gadis itu sakit. Apa mungkin Friska belum makan? Belum sarapan? Atau dia sakit? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang difikirkan Malvin.
"Lo kenapa?”
Friska menoleh lalu memaksakan senyumannya. "Gue baik-baik aja.”
Malvin tau jika gadis ini berbohong. Ia tak sengaja melihat Saka dan Dafa sedang membawa makanan dan minuman dengan diam-diam. Dia menghela nafas pelan, sudah hafal dengan kelakuan mereka berdua. Izin ke toilet, tetapi malah nyasar ke kantin, lalu membawa makanan plus minuman dikelas agar bisa memakan diam-diam saat guru tengah menerangkan.
Malvin seketika mempunyai sebuah ide, dia mengambil ponsel disakunya. Lalu mencari kontak Dafa. Diteleponnya si pemilik nomor.
Bawa air dingin kelapangan tiang bendera. Itu yang ditulis oleh Malvin.
Dafa yang mendapat pesan itu pun langsung memandang kearah lapangan.
"Beh, Malvin akhirnya dihukum lagi!" sorak Dafa bahagia.
Saka yang binggung langsung mengikuti arah pandangan Dafa, dia pun ikut bahagia karena Malvin dihukum.
Detik berikutnya dia sadar. Lalu berlari dengan cepat kearah Malvin, agar Malvin tak ngamuk, Saka yang bingung hanya mengikuti Dafa.
"Nih.” Dafa menyodorkan air dingin itu kepada Malvin.
"Thanks.” Malvin langsung menyodorkan air itu pada Friska, lantas membuat gadis itu kditatapnya Malvin dengan heran. "Kenapa?"
Malvin berdecak sebal. "Minum.”
"Enggak, lo aja.”
"Gak usah gengsi, minum cepet."
"Gue bilang enggak.”
Malvin yang kesal langsung menarik tangan kanan Friska dengan kasar, lalu meletakan air itu ditangan Friska. "Minum sekarang!" bentak Malvin.
Malvin menatapnya seakan-akan tidak menerima penolakan, matanya yang tajam berhasil membuat nyali Friska menciut. Dia lalu meminum air itu sekilas.
"Lagi," pintanya.
"Hah?"
"Gue bilang minum lagi. Habisin!" Malvin tau jika itu tak cukup, tetapi Friska sepertinya tak enak hati dengannya dan teman Malvin.
Friska yang tak ingin Malvin marah pun meminum nya sampai kandas. Malvin langsung mengambil lalu kembali memberikannya pada Saka dan Dafa.
"Pergi," usir Malvin seenak jidad.
Dafa menatap Malvin tak percaya. "Gitu doang? Setelah ku bantu lalu kau menyuruh ku pergi?" tanya Dafa dramatis.
"Gak usah drama," ketus Malvin.
Dafa hanya berdecak sebal, lalu pergi meninggalkan Malvin, diikuti dengan Saka. Pandangan Malvin beralih ada Friska yang menatapnya lekat.
Gimana mau lupain Malvin, kalau sikap manis Malvin bisa membuat hati Friska nyut-nyutan, meleleh dan meninggoy.
"Jangan kegeeran, gue Cuma memanusiakan manusia.”
Friska pun tersadar lalu kembali diposisi semula diikuti Malvin. Friska diam-diam tersenyum sembari melirik-lirik Malvin sekilas.
Beberapa jam kemudian, bel istirahat pun berbunyi, mereka langsung bernafas lega, akhirnya waktu yang di tunggu-tunggu datang juga.
Malvin langsung melangkah pergi, sedangkan Friska hanya menatapnya dengan seulas senyuman manis. Seketika Malvin berhenti, lalu menoleh kearah Friska.
"Jangan lupa makan dan jangan telat makan, entar lo sakit. Kasian orang disekitar lo kalau ngurus lo. Nyusahin!" ketus Malvin lalu melanjutkan jalannya.
Namun, seketika kedua sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman kecil.
Friska lelah tersenyum."I love you Malvin!" teriaknya. Malvin yang mendengar itu hanya terkekeh pelan.
"Ck, dasar cewek gila."
***
Semua bersorak akan kedatangan Malvin, Friska lantas tersenyum. Setelah beberapa hari berlalu, ini inti dari keberuntungan. Menang atau kalah, mendapatkan atau tidaknya Malvin, akan dimulai dari saat ini.
Malvin menatap gadis itu dengan remeh. "Udah siap kalah?"
"Dikoreksi, bukan kalah, tapi menang."
Malvin hanya tersenyum remeh. Keduanya saling beradu tatapan, hingga naman mereka telah disebutkan oleh guru yang mereka minta untuk menjadi saksi.
Sorakan demi sorakan terdengar menyerukan nama Friska dan Malvin. Keduanya berjalan seiringan menuju tempat yang telah ditentukan.
"Friska lo harus menang, demi traktiran sebulan!" teriak Saka. Dalam hal yang seperti ini, kesempatan yang bagus untuk memanfaatkan Malvin. Itulah Dafa dan Saka.
"Hidup Friska! Hidup!" teriak Dafa.
Adel langsung memukul kepala Dafa. "Ini pertandingan basket bukan partai atau pemilihan presiden!"
Dafa hanya cengengesan. "Namanya juga semangat.”
Adel menatapnya sinis. “Pala lo rabun.” Dafa hanya terkekeh mendengarnya.
Akhirnya permainan pun telah dimulai, poin pertama diraih oleh Malvin. Melihat itu, Friska segera mengambil ancang-ancang untuk mengambil alih bola yang ada ditangan Malvin.
Malvin men-dribble bola, dan hendak memasukannya kedalam ring. Tetapi, bola meleset dan jatuh lalu ditangkap oleh Friska.
Tanpa menunggu lama, Friska langsung memasukan bola tersebut kedalam ring, dan ya! Berhasil. Sekarang skor Mereka seri.
Pertandingan semakin sengit, pasalnya sedari tadi skor mereka sama. Sedangkan waktu pertandingan sebentar lagi.
Dengan percaya diri, Friska mengambil alih bola yang akan Malvin lemparkan kedalam ring. Setelah bola ia kuasai. Dengan gerakan cepat dia masukannya kedalam ring.
Suara tepukan tangan dan sorakan terdengar jelas. Friska berhasil mengalahkan Malvin pada detik-detik terakhir.
Teriakan yang paling besar adalah Risky dkk, namun yang sangat besar adalah Dafa dan Saka, bagaimana tidak, mereka lantas akan puas ditraktir sebulan oleh Malvin.
Berbeda dengan yang lain. Selin dkk menatap Friska sinis, segala umpatan dilontarkannya saat Friska dinyatakam sebagai pemenang dan suara tepukan tangan untuknya. Mereka segera pergi dari sana.
Malvin mendesah kasar. Ditatapnya sinis Friska yang berjalan menuju dirinya. Senyuman penuh kemenangan terbit di bibir gadis tersebut.
"So. Siap-siap cinta sama gue ya ganteng.”______________________________________
DITUNGGU YA KELANJUTAN CERITANYAAAA^^
TETAP SEMANGAT BACA PART SELANJUTNYA^^
JANGAN LUPA FOLLOW, KOMEN DAN VOTE, KARENA ITU YANG AUTHOR TUNGGU DARI KALIAN^^
JANGAN LUPA JUGA BUAT SHARE KE TEMAN KALIAN, BIAR MEREKA JUGA BISA BACA CERITA INI❤
Salam dari Pacar orang-orang ganteng, yang ... Disponsori oleh ...
Oh Anggi, Park Anggi, Kim Anggi, Byun Anggi, Zhang Anggi, Huang Anggi, Wong Anggi, D.O Anggi dan dari Nyai juga seluruh taman bunga pesantren SM entertainment.
Sekian dari saya yang telah lelah menyukai dia ... Menjalankan cinta bertepuk sebelah kaki yang menyulitkan ....
KAMU SEDANG MEMBACA
P. Sycho [TAHAP REVISI]
Novela Juvenil[Follow dulu sebelum baca ya] [Update tiap hari Jum'at, kalau gak Update berarti lagi galau] BELUM DIREVISI SEJAK 2020. Malvin tersenyum miring. "Lo mau gue bunuh?" "Kalo diganti sama ciuman?" "Diterima. Gue bakalan buat bibir lo memerah alami." **...