5 - Insiden

21K 2K 144
                                    

"Happy Reading"

Malvin and the geng pun menduduki tempat yang biasa mereka tempatkan. Tepat sekali, hal itu membuat mereka berdekatan dengan Friska dkk. Pandangan Malvin tak sengaja menangkap gadis itu, ia menatap Friska seraya teringat kejadian beberapa jam yang lalu. Keduanya saling bergulat dengan pikiran masing-masing dengan pemikiran yang berbeda-beda.

"Malvin!"

Sebuah teriakan membuyarkan pikiran mereka yang entah kemana-mana. Mereka menatap arah sumber suara tersebut. Malvin hanya mengehela nafas kasar saat melihat seorang perempuan berlari kecil ke arahnya.

Friska melotot tak santai saat perempuan itu tiba-tiba memeluk lengan Malvin dengan manja. Tangannya terkepal kuat. Siapa dia? Bisa-bisanya membuat hari bahagia ini menjadi rusak hanya karena kehadirannya yang membuat Friska panas.

Tanpa berfikir panjang, Friska segera berdiri lalu tanpa segan menghampiri perempuan tersebut, ia lantas langsung menjauhkan mereka dengan kasar. "Jangan, sentuh-sentuh cowok gue," peringat Friska dengan nada suara yang terdengar pelan namun tajam.

Perempuan itu menatap Friska kesal, detik berikutnya ia menertawakan Friska. "Apa? Lo pacar Malvin? Gak salah gue?" Ia menatap Friska dari bawah hingga atas yang terkesan menghina. "Modelan begini, tipe Malvin, gitu? Jangan halu!"

"Wah!! Lo cari masalah sama gue? Coba lo introkasi diri deh!"

"Introspeksi diri, Fris," koreksi Abdul. Sempat-sempatnya.

"Introspeksi diri maksudnya." Friska memberikan jempol pada Abdul dan dibalas oleh cowok itu. Friska kembali menatap perempuan di depannya ini dengan remeh.

Perempuan itu menatap Friska dengan senyuman yang menungging. "Gue udah kenal Malvin lama. Dia terkadang suka mempermainkan perempuan dengan keseksiannya." Senyumnya semakin bersinar saat melihat Friska terdiam. "Apa, lo termasuk? Wanita bayaran? Atau wanita bayaran untuk buat gue cemburu."

Sebuah tamparan melayang dengan pas di pipi perempuan itu. Ia menatap perempuan itu sengit. "Kayanya, gue bukan perempuan semurahan lo." Sepertinya benar, Friska dapat menilai dari sikapnya, pakaian dan segalanya yang dapat terlihat jelas di diri perempuan itu. "Dan jangan samakan gue sama lo. Gue berasal dari keluarga baik-baik kalau lo gak tau, dan gak pantas bagi lo buat ngehina gue hanya karena lo terobbsesion sama cowok."

"Selin!"

Plak!

Pria yang baru saja meneriaki nama Selin tanpa berfikir panjang menampar Friska yang ia ketahui bahwa Friska telah menampar Selin. Friska kaget melihat itu, ia memegang pipinya dengan mata yang berkaca-kaca. Friska gemetar ... hatinya hancur.

Seluruh kantin dibuat kaget melihat itu. Bahkan Malvin pun menyaksikan nya sendiri, gadis yang bahkan ia berfikir beribu-ribu kali untuk membunuhnya malah dengan santainya ditampar oleh orang lain? Tangan Malvin bahkan saat ini sudah terkepal keras, matanya menajam dan tentu dengan wajah yang tenang. Terlebih aura horor yang seketika memenuhi kantin, siapapun yang berada di dekat Malvin pasti akan merasakan hawa panas yang menyengat.

"Lo gak papa kan, Sel?" tanya Arya, cowok yang sangat menyukai Selin. Ia memeluk Selin, lalu pandangannya beralih pada gadis yang baru saja ia tampar. Tatapan yang tajam tadi seketika menjadi sedu saat melihat Friska yang matanya sudah berkaca-kaca. Ia mendekat pada gadis itu. "Friska, gue minta maaf, gue gak--"

Friska menjauhkan dirinya dari Arya yang mendekat. Ia tersenyum miris. "Gak papa, makasih ... atas tamparan nya. Lo beruntung, manusia pertama yang nampar gue."

Friska segera berlari meninggalkan tempat itu, ia benar-benar merasa hatinya sangat terpuruk, terlebih ini kali pertama hal itu terjadi pada dirinya. Ke-empat teman-teman Friska lantas mengejar gadis itu.

Bisa-bisanya Arya menampar orang yang telah membantu orang tuanya. Tentu sana, keluarga Friska sangat dibutuhkan oleh keluarga Arya, karena keluarga Friska lah yang membantu keluarga Arya dari nol sampai sukses saat ini, jadi, keluarga Arya sangat berhutang budi pada keluarga Queenby.

Friska berlari ke kelas dengan tangisannya yang berhamburan, berani sekali dia menampar Friska, bahkan orang tua dan abangnya sendiri tidak pernah menamparnya. Dia menenggelamkan wajahnya di meja yang terdapat tangannya yang menutupi wajahnya. Tangis gadis itu memenuhi kelas tersebut, menggema hingga dapat terdengar jelas.

Teman-teman Friska yang melihat itu merasa tidak tega. Mereka segera mendekat dan menduduki diri di dekat gadis itu, tentu mereka dapat mendengar isakan Friska yang histeris. Risky memegang bahu Friska lembut. "Gue gak tau harus ngomong apa, tapi, gue gak bisa ngeliat lo gini."

"Nangis aja sepuasnya, tapi kalau udah berhenti bilang ya. Kita di sini nunggu lo tenang," ujar Adel.

Friska tak menjawab dia hanya terus menangis. Risky dkk hanya bisa menatap Friska dengan nanar, mereka sama sekali tidak bisa melihat sahabat bar-barnya ini menangis. Dia yang terheboh untuk membuat orang bahagia, dia juga yang bersedih membuat orang lain ikut bersedih.

Sebuah langkah berhasil mengalihkan perhatian mereka. Pandangan mereka menangkap Malvin yang tengah berjalan menuju mereka. Empat sepasang mata itu menyorotinya dengan heran.

Malvin menaruh tangannya di saku celana, dengan gaya cool, ia berdiri di hadapan mereka. "Kalian keluar biar gue yang tangani makhluk ini, kalian bawain kompres aja.”

Mereka tak bergerak, melainkan hanya fokus pada keheranan akan kedatangan Malvin.

"Pergi.” Kata yang ditekankan itu membuat Risky dkk bergegas berlari terbirit-birit dari sana. Langkah mereka terhenti saat berada di depan pintu. Terdapat beberapa adik kelas yang mereka kenal tengah membawa kompres dan semacam mangkok.

Mereka menatap sekumpulan itu heran. "Lah? Siapa yang nyuruh?" tanya Abdul pada anak-anak yang mereka sebut adkel.

"Kalau kak Friska sakit, entar dia gak bar-bar lagi dong, dan kalau gak bar-bar gak ada yang ngehibur kita.”

Friska jika gabut sering kali bermain di kelas orang, kadang dia dengan tidak sopan nya berlari-lari di kelas orang ataupun adik kelasnya sendiri, untuk menghibur dirinya. Lagipula, mereka sudah mengenal Friska sebelum memasuki sekolah tersebut. Mereka mangguk-mangguk mengerti lalu Tiffa mengambil alih mangkok yang berisi kompres dan es itu lalu membawanya pada Malvin, dan segera kembali lagi karena takut jika Malvin menatapnya dengan mata yang selalu terlihat tajam itu.

Malvin langsung duduk di sebelah Friska. Dia memegang pundak Friska yang bergetar disertai isakannya. Friska yang merasakan itu segera menepis tangan Malvin dengan kasar. Malvin hanya tersenyum, lalu mengacak-ngacak rambut Friska dengan lembut, hal itu lantas saja membuat Friska kesal lalu menatap pada sang pelaku.

Friska kesal, terlebih tidak bisa marah karena Malvin mengeluarkan jurus senyuman memastikan secara estetik pada Friska. Ia mendesah berat, lalu menghapus bercak-bercak air matanya. "Ngapain di sini?"

"Nyamperin lo."

Friska menatap Malvin dengan cemberut. "Kenapa? Kan lo pacaran sama tu cewek yang namanya Salin!"

Malvin mencoba tersenyum tulus pada gadis itu. Ia ingin terlihat sebagai cowok yang lembut meskipun sulit. "Selin Ris," koreksi Malvin. "Dia bukan siapa-siapa gue."

Friska tersenyum. "Yaudah, kita pacaran aja yuk, gasskeunn!" ucapnya semangat 45.

Malvin memutar bola matanya malas. Kegilaan Friska bisa cepat kambuh, padahal baru tadi menangis histeris. "Gak akan."

Friska langsung mendengus kesal. Ia menatap Malvin malas. "Terus ngapain di sini"

Malvin tak menjawab, ia menatap pipi gadis itu. "Itu sakit?" Malvin menunjuk pipi Friska yang lumayan memerah.

Friska mengangguk lucu. "Banget."

"Sini gue kompres, tapi awas lo baper.”

Friska menggeleng cepat. "Gak bisaa, kalau sama lo itu, bawaannya baper mulu! Jadi pengen dihalalin!"

"Lo babi?" tanya Malvin tanpa beban.

Friska menatap Malvin kesal. "GAK GITU JUGA KONSEPNYA JAMAL!"

Malvin menutup kupingnya. Teriakan mematikan Friska bisa merusak gendang telinganya. Ia menjauhkan tangannya dari kupingnya setelah merasa aman. "Berisik!" Friska tak menjawab ia hanya menatap Malvin malas.

Malvin mengambil kompres itu lalu meletakan di pipi gadis itu secara perlahan-lahan, sesekali gadis itu meringis kesakitan.

Arya benar-benar menampar dengan sepenuh hati. "Sakit ...Vin.”

"Gak usah lebay.”

Friska memajukan bibirnya cemberut. "Gak ada romantis-romantisnya lo!"

"Mau lo apa sih setan!" Malvin berucap kesal dengan mata dan tangan masih terfokuskan pada pipi yang memerah tersebut.

Friska mengerjap-ngejapkan matanya genit. "Cium dongg!"

"Gak usah manja.” Friska langsung menepis tangan Malvin dengan kasar.

"Nggak usah diobatin juga kalau gitu!" teriak Friska kesal.

Malvin hanya menghela nafas pelan, dia mencoba untuk tetap sabar dengan perilaku manja dari makhluk jadi-jadian ini. Dia benar-benar menguji kesabaran seorang Malvin. "Mau lo apa, sih?" tanya Malvin dengan nada yang berusaha selembut mungkin.

Friska tersenyum lebar melihat itu, ia mengetuk-ngetuk pipinya dengan jari-jari miliknya. "Ciummm."

Malvin diam. "Yakin?" Friska hanya membalas Malvin dengan anggukan semangat.

Huh. Sabar Malvin

"Ayooo buruannn!"

Astaga, ini cewek bener-bener nggak tau malu

"Cepetan!" teriaknya tak sabaran.

"Iya-iya." Malvin langsung mendekatkam bibirnya pada pipi Friska dengan gerakan slowmo.

Friska berdecak sebal. "Cepetan!" Ia pun menutup matanya dengan senyuman yang tak sabaran. Seperti akan menjalankan malam pertama saja.

"Ya ampun, ini lagi berjalan bangsad!" kesal Malvin. Friska hanya cengegesan lalu berusaha tetap sabar. Kali ini Friska diam seraya menghitung.

"Satu ...."

"Dua ...."

"Ti—"

"Ish, kasar banget sih nyiumnya! Terus ada kayak bulu-bulu gitu lagi! Sejak kapan lo punya janggut," kesal Friska lalu membuka matanya, ia lantas menatap Malvin.

Friska diam. Ia terkejut saat melihat Malvin memegang seekor kucing kelas seraya cengengesan. Friska menatap Malvin tak enak, ia merasa curiga pada cowok itu. "Lah? Kok ada si Markon? Atau jangan-jangan ...."

Malvin langsung melepaskan kucing itu lalu tertawa lepas setelah melihat reaksi dari Friska. Namun, Friska salah fokus akan tawa yang menggelengar itu, bahkan  dengan tertawa membuat ketampanannya bertambah 10 kali lipat. Itu sangat mengangumkan.

Friska menggeleng pelan, detik berikutnya dia sadar jika dia sedang dibodohi oleh Malvin. FriskaFriska menepuk jidatnya pusing, lalu menatap Malvin dengan tajam. "Ish, pasti Markon yang nyium gue!" kesel Friska. "Gue mau lo yang cium!" rengeknya.

"Yang pentingkan udah dicium," jawabnya santai tetapi tawanya masih berlanjut, apalagi melihat ekspresi menggemaskan dari gadis itu. Itu benar-benar lucu.

Friska cemberut. "Ngeselin banget sih." Friska memukul-mukul Malvin dengan seluruh tenaganya.

Bukannya Malvin yang kesakitan, tetapi malah Friska yang kesakitan. Apa cowok ini punya kekebalan tubuh? Lalu, ide muncul begitu saja, dia mencubit perut cowok itu dengan sangat keras, hingga berhasil membuat Malvin meringis kesakitan. Friska tersenyum penuh kemenangan saat mendengar jeritan itu. "Rasain lo!"

Malvin segera berlari dari cubitan maut Friska. Sekarang Malvin berfikir, bahwa Friska adalah Psikopat, ia benar-benar sangat ganas mencubit Malvin. Hingga terjadilah kejar-kejaran dan tawa yang mengelengar di kelas tersebut.

Mereka yang sedari tadi memperhatikan mereka hanya bisa tersenyum. Baru kali ini Malvin dekat dengan seorang gadis.

Tertawa dan berlari-lari dengan seorang gadis ... membuat kedua teman Malvin tersenyum bahagia, setidaknya Malvin bisa mencoba mencintai seseorang dan semoga saja dia bisa pergi meninggalkan sikapnya yang suka membunuh.

Atau kegabutannya yang mematikan.

****

Bugh!

Bugh!

Bugh!

Lelaki tersebut langsung tersungkur akibat pukulan yang baru saja memburunya. "Ini buat lo yang udah berani-beraninya nampar cewek!"

Bugh!

Bugh!

Bugh!

"Dan ini buat lo yang udah buat gue kesal!"

"A-ampun Vin, gu-gue minta maaf," lirih pria itu yang tak lain adalah Arya.

Sebelum menyusul Friska, ia sempat memberitahu Dafa dan Saka untukuntuka membawa Arya kegudang yang jauh dari keramaian warga sekolah. Entah kenapa, dia tidak menyukai jika Arya menampar seorang perempuan. Padahal dirinya sendiri sering kali membunuh banyak orang bahkan perempuan sekalipun.

Malvin memukul Arya hingga membuat cowok itu terseret menjauh. Tangan Malvin mengambil sebuah pisau yang sering kali ia bawa ketika berpergian. Ia berjalan mendekati Arya, lalu menunduk pada cowok itu yang sudah tepar akibat pukulan ganas dari Malvin.

Srett!

"Akhhh ...!"

Pipi Arya disayat oleh pisau kecil milik Malvin. Darah segar langsung mengalir begitu saja.

Srett!

Jlebb!

Bugh!

Malvin dengan lincah menyiksa Arya, hingga waktu bersenang-senangnya telah habis. Kedua tangan yang sudah dibalut oleh sarung tangan itu lalu memotong-motong beberapa bagian tubuh Arya.

Setelah merasa cukup, Malvin membuka sarung tangan itu lalu segera memasukannya ke dalam tas yang sudah Saka dan Dafa siapkan, sembari meletakan beberapa pisau miliknya. Semua ia bereskan sehingga tak terdapat jejak atau bukti bahwa ia yang telah melakukan pembunuhan ini.

Sebelum beranjak meninggalkan tempat itu. Malvin memperhatikan kondisi Arya yang sangat sadis, ia terkekeh pelan. Bahkan ia menilai hal yang ia lakukan pada Arya terkesan mengerikan. "Coba tadi gue buat bentuk lucu pake tubuh lo, pasti gak seserem ini."

“Sayangnya, gue gak bawa pisau gede. Sorry.”

Malvin tersenyum miring. "Yang tenang bro, ini akibatnya lo bikin gue kesel."

***

"Kang bakso, cilok satu!"

"Woy, kalau mau mesen bakso ya sama tukang bakso!"

"Terserah gue dong."

Abdul hanya menatap sinis Friska, lalu kembali melanjutkan memakan makanan miliknya.

Sembari menunggu ia menyapu pandangannya ke seluruh penjuru, siapa tau jika dia melihat Malvin. Dan benar saja, pandangannya langsung menangkap Malvin yang tengah berjalan sendiri, entah menuju kemana dia, tetapi tangannya membawa sebuah buku.

Namun, Friska dapat menebak bahwa Malvin terlihat kesal, terlebih tatapan horor dari Malvin yang berhasil membuatnya merinding.

"Ini Mbak Fris," ucap tukang cireng itu sambil memberikan cilok pada Friska.

"Lah? Kenapa jadi tukang cireng yang ngasih?" tanya Adel terheran-heran.

Kang Cireng nyengir. "Ngoper doang, Neng."

Tanpa basa basi ia segera berlari mengejar cowok itu, sebelum benar-benar hilang dari pandangan.

“FRISKA CILOK LO!”

Tak ada sahutan dari gadis itu, ia hanya fokus melangkah. Risky menghela nafas kesal. “Untuk gue aja deh.” Ia segera mengambil pesanan itu lalu memakannya.

“Itu anak kenapa sih?” tanya Tiffany keheranan.

"Positif thingking aja, mungkin dia buang hajat," ucap Abdul dengan pemikiran yang sangat jernih. Mereka yang mendengar itu hanya mengangguk setuju.

______________________________________

DITUNGGU YA KELANJUTAN CERITANYAAAA^^

TETAP SEMANGAT BACA PART SELANJUTNYA^^

JANGAN LUPA FOLLOW, KOMEN DAN VOTE, KARENA ITU YANG AUTHOR TUNGGU DARI KALIAN^^

JANGAN LUPA JUGA BUAT SHARE KE TEMAN KALIAN, BIAR MEREKA JUGA BISA BACA CERITA INI

Salam dari Pacar orang-orang ganteng, yang ... Disponsori oleh ...

Oh Anggi, Park Anggi, Kim Anggi, Byun Anggi, Zhang Anggi, Huang Anggi, Wong Anggi, D.O Anggi dan dari Nyai juga seluruh taman bunga pesantren SM entertainment.

Sekian dari saya yang telah lelah menyukai dia ... Menjalankan cinta bertepuk sebelah kaki yang menyulitkan ....

P. Sycho [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang