29

95 11 0
                                    

Aku memegang kepalaku yang masih terasa berputar-putar seperti habis naik rollercoaster dalam kecepatan gila-gilaan. Langkah kakiku agak ceroboh dan tidak dalam perhatianku sehingga Ajun harus memegang bahuku, menuntunku agar tidak hilang di keramaian.

“ Ck. Makanya kalo bawa motor tuh kira-kira donk! Gue masi belom mau mati, ya!? ” omelku yang tak ada habisnya sejak turun dari boncengan Ajun.

Ajun malah terhehe-hehe tanpa raut bersalah di wajahnya.

Aku memukul kepalanya agar benar lalu mendengus, “ Dasar gila, ” makiku masih kesal dengannya.

Ajun tidak protes, masih menuntunku lalu duduk di kursi yang sudah dipesannya. Mungkin? Ya katakanlah begitu karena meja yang ada di depan kami tertata dengan dekorasi cukup romantis. Dengan guci kaca tembus pandang berisikan beberapa tangkai mawar kayak meja ruang tamu dan lilin aroma therapy yang menghiasi beberapa sudut ruang—— et, wait. Kok kayak ada yang salah, ya?

“ Jun, kok sepi? ” tanyaku sebagai manusia selain Ajun di ruangan yang sepertinya cafe karena dinding kaca yang langsung mengarah pada jalan raya di sisi lain ruangan.

Aku bahkan baru sadar kalau kami duduk di satu-satunya meja yang diletakkan tepat di tengah-tengah ruangan(!)

Pintu cafe tertutup membuat ruangan balok ini terlihat sangat luas sekalipun sudah dipenuhi dengan dekorasi ini. Foto-foto yang aku yakini diambil sembunyi-sembunyi tergantung bebas menghiasi langit ruangan. Ada juga saat aku dan Ajun ada di kantin dan saat lain kami beberapa kali tidak sengaja berpapasan. Semua tampak cantik dengan bingkai foto indah.

Aku terpana menatap seluruh ruangan. Cahaya matahari jingga membuat suasana agak nyaman dan memberi kehangatan di hati. Aku mengalihkan tatapan pada Ajun meminta penjelasan.

“ Ajun... Ini buat apaan? ”

Ajun malah tertawa. Dia berpindah berdiri di belakang punggungku dan melingkarkan lengannya dengan nyaman di perutku.

Aku mendengar suaranya berbisik pelan di telingaku. “ Gue sayang sama lo... Ini hadiah dari gue buat lo. ”

Untuk pertama kalinya darah panas melonjak naik ke kepala karena ucapan Ajun. Wajahku terbakar dan berwarna merah menahan malu dan lonjakan bahagia di hati. Ini manis! Tidak. Ini terlalu manis!!!

Seandainya aku tidak mengikat rambutku menjadi kuncir kuda aku akan bisa menyembunyikan wajah merahku disana. Tapi sepertinya ini sudah dalam pertimbangan sehingga aku hanya bisa menunduk malu.

Ajun mrlonggarkan pelukannya, membalik posisi tubuhku agar menghadapnya. Daguku ditarik lembut dan matanya menatapku dengan hangat. Di bibirnya tidak ada senyum jail seperti biasa. Tidak ada senyum playboy juga. Tapi senyum tulus layaknya remaja yang benar-benar bahagia.

Bibirku ikut membentuk busur ringan. Telunjukku mengetuk dahinya lembut. “ Gue laper ”

Tawa Ajun meledak saat itu juga. Dia bukannya marah karena ucapan tak tau waktu dan suasana dariku tapi malah tertabahak-bahak sampai matanya berkaca-kaca.

“ Oke-oke, ayo makan. Duduk dulu donk... ” katanya sambil menarik kursi di dekatku. Aku mengangguk patuh dan duduk di kursi yang ditariknya.

Kemudian Ajun menarik kursi di sisi lain meja, duduk di hadapanku dengan tangan menopang dagu. Dia menatapku dan hanya diam hingga perutku tak bisa menahan lagi...

Aku memukul kepalanya hingga ia terdorong ke belakang dan nyaris terjungkal. “ Gue laper Ajunnnnn mana makanan gueeeee ” kataku geram hampir mencekik cowok ini saking gemasnya.

“ Ehehe iya-iya bentar, gue kira lo bakal kenyang kalo liat gue. ” giginya yang rapi ditunjukkan di depanku hingga terselip di pikiranku untuk menonjoknya sampai giginya rontok semua. Tapi untungnya aku masih punya sedikit rasa sabar juga iba padanya.

I'M WITH YOU✔ #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang