32

103 9 0
                                    

Aku menyipitkan mataku saat perlahan kesadaranku mulai terkumpul kembali. Sekitarku gelap membuat mataku sedikit kesulitan menangkap keadaan ditambah dengan bau pengap yang entah kenapa membuatku ingin menyiram tubuhku dengan air segar.

Setelah semua kesadaran terkumpul penglihatanku juga menjadi lebih jelas. Ruang ini seperti gudang kosong yang luas. Ada lemari kayu di pojok ruangan dengan tumpukan kayu yang berserakan di sekitarnya. Jendela terletak di bagian tertinggi pada dinding membuatku memiliki ilusi bahwa aku dikurung di dalam menara. Pintu besi terlihat sekitar seratus atau dua ratus meter di sisi lemari tua.

Aku tidak tau jam berapa sekarang dan dimana ini, tapi aku tau ini bukanlah hal yang baik. Kepalaku terasa pening dan aku memijatnya paksa. Saat aku sadar ada yang tidak beres aku menatap kedua tangan dan kakiku. Diborgol. Bahkan saat aku meraba leher ada rantai disana. Bukankah ini lebih buruk daripada anjing?! Pantas saja aku merasa seperti ada es yang menempel pada leherku, ternyata ada rantai disana.

Aku menatap sekelilingku dan tidak menemukan tas sekolahku dimana-mana. Aku meraba saku bajuku lalu rokku dan mendesah saat tidak menemukan ponselku. Tapi aku ingat telah memasukkan ponsel lain di ikat pinggang. Saat aku berpikir untuk mengeluarkan ponsel itu, mataku tak sengaja menangkap Kamera kecil di salah satu sudut yang langsung menghadapku. Aku menggertakkan gigiku menahan amarah.

Aku memikirkan bagaimana cara keluar dari sini tanpa perlu menimbulkan masalah yang tidak perlu. Ah, setidaknya pertama-tama aku harus melihat ada berapa banyak Kamera yang dipasang disini dan menonaktifkannya sementara.

Di tengah lautan pemikiran simpang siur dalam benakku pintu besi terbuka dengan suara berderit menyakiti telinga. Bahkan aku harus menutupi kedua telingaku karenanya. Aku melihat ada lima siluet tinggi masuk ke ruangan mendekatiku.

Jantungku berdegup kencang entah kenapa. Aku menekan rasa cemas dan takut di dada sepanjang langkah kaki mereka ke arahku. Aku menangkap wajah pertama yang berdiri menonjol dan paling depan. Aku mengenalinya. Mataku bergulir meneliti keempat pria di belakangnya lalu membelalak tak percaya. Tenggorokkanku tersumpal begitu melihatnya. Apakah dia? Wajahnya tetap dingin memberikan rasa jauh menyendiri dan tak tersentuh. Meski begitu aku bisa yakin aku melihat tatapan khawatir di matanya. Ya. Aku percaya dengan itu.

“ Apakah menyenangkan melihat teman lamamu disini? ” suara dingin mengejek keluar dari bibir Kak Bimo.

Aku mengalihkan pandanganku padanya dengan jijik menjawab, “ Ya. Sangat senang hingga aku ingin tertawa. ”

Tangan besarnya menarik rambutku mendongakkan kepalaku menghadapnya. Ia tersenyum mengejek, “ Begitu? Kalau begitu tertawa! Tertawa yang keras hingga aku bisa membungkammu langsung tanpa menunda waktu! ” Kak Bimo tertawa keras.

Aku menatapnya tanpa ekspresi dan menampilkan senyum tipis di wajahku. “ Apa untungnya bagiku menuruti ucapanmu? Aku lebih bahagia melihatmu terus menunda waktu untukku. ” aku tersenyum remeh memandangnya sekilas.

PLAKK

“ APA YANG KAU KATAKAN, HAH?! DASAR JALANG! APAKAH MULUTMU TIDAK PERNAH DIAJARI SOPAN SANTUN?! APA PERLU AKU MENGAJARIMU HEH? ” bentak Kak Bimo lalu tertawa sinis. Ia kembali mengayunkan tangannya menampar pipi kiriku, “ apa itu cukup? ”

Aku tertawa terbahak-bahak tak memperdulikan tatapannya yang semakin tajam dengan niat membunuh, “ Mengjari? Apakah Kak Bimo-ku tersayang ini tidak memiliki cermin? Bahkan keledai pun akan tau siapa yang tidak diajari dengan benar! ” ucapku dengan nada tinggi.

Tangan Kak Bimo mengepal di kedua sisi tubuhnya. Matanya merah dengan niat membunuh yang semakin kentara. Untuk kesekian kalinya aku terkekeh menatapnya, “ Apa? Langsung sadar, heh? ” ejekku.

I'M WITH YOU✔ #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang