04. Dunia Tania

1.3K 163 4
                                    

Untuk Tania pulang ke rumah hampir sama dengan bunuh diri di sebuah ruangan kosong tanpa oksigen. Perlahan-lahan ia akan mati karena sesak dan sepi.

Selama bertahun-tahun, meskipun sekarang kak Ica sudah berhasil menjadi mahasiswi kedokteran, semua itu tidak cukup hingga Mama harus menekankan Tania kalau ia juga akan berada di tempat yang sama seperti kak Ica.

"Tania kenapa buahnya gak dihabiskan?" Mama menatap kesal piring buah di hadapan Tania yang masih menyisakan potongan apel serta kiwi. "Makan aja gak bener, apalagi belajar."

Kadang Tania ingin bilang pada Mama, kalau dibandingkan dengan apel, Tania lebih suka pir. Namun karena didikan Mama sejak kecil, Tania bahkan takut mengutarakan hal-hal sekecil itu.

"Ulanganmu kemarin kenapa bisa menurun? Padahal seminggu sebelumnya lumayan."

Kadang Tania juga ingin bilang pada Mama kalau ia tidak nyaman membicarakan apapun saat di meja makan. Terlebih jika itu mengenai nilainya.

Namun karena sebab yang sama, Tania memilih bungkam atas segala hal yang selama ini tidak ia senangi.

"Kamu tuh jangan males-males kenapa sih Tan. Liat kak Ica, belajar mati-matian biar bisa jadi dokter. Orang tuh harus punya mimpi yang tinggi, dan usaha yang setara."

Mama mengangkat piring buah Tania, menggantinya dengan salad sayur. Kalau malam mereka tidak menyantap makanan berat. Sebab kata Mama, selain pekerjaan bagus, perempuan juga harus punya tubuh yang ideal.

"Jangan dilihatin aja. Di makan!" Tania mengangguk samar, lalu memaksakan diri untuk menelan tomat yang ia suap ke dalam mulut.

"Kamu tuh udah biaya sekolah mahal, les di sana-sini, tetap aja gak ada peningkatan yang seimbang. Setiap nilai mu tiba-tiba bagus, pasti besoknya jelek lagi. Pertahanin dong Tan masa gak konsisten gitu."

"Iya Ma..."

"Dulu kak Ica tuh les di satu tempat doang, tapi lulus SMA nilainya memuaskan. Sampai sekarang dia lebih suka belajar sendiri. Lihat kan sekarang kakakmu gak ada? Ini dia lagi belajar di perpustakaan."

"Iya Ma..."

Meski dalam hati Tania mulai bersuara. Bahwa seingin apapun Mama, Tania tetaplah Tania, dan Ica tetaplah Ica. Meskipun mereka sedarah, bukan berarti kemampuan otak mereka juga sama.

Tania capek belajar, Ma... Sekeras apapun itu... Tania emang gak dilahirkan sepintar Mama dan kak Ica.

"Kamu juga hati-hati bisa gak sih Tan? Lihat itu hidung mu biru. Kalo ngambil buku di rak tinggi, apa lagi yang tebel, pake kursi aja gak usah sok-sokan."

Tania begini karena di tendang kakak kelas, Ma. Anakmu ini di kenal sombong... Karena lebih suka berteman sama buku.

"Kalo makannya udah selesai, naik sana terus belajar. Jangan males-malesan sebentar lagi kenaikan kelas."

Dengan segera, Tania memaksakan suapan terakhirnya lagi. Setelah itu ia menghabiskan air di dalam gelasnya, lalu berdiri untuk segera pergi.

"Tania deluan, Ma.."

"He'em." Balas Mama cuek. Wanita itu kini mengalihkan pandangannya pada ponsel di tangan, lalu mendekatkan ponsel itu ke telinganya.

"Halo sayang. Ica udah makan nak?"

Perlahan namun pasti, denyutan nyeri itu kembali singgah di dadanya. Seakan-akan ia memang ditakdirkan untuk jadi pemeran yang tidak pernah mendapat kesempatan adil.

Sering kali Tania berharap kalau Papa masih ada di sini untuk menuntun Mama membatasi ambisi-ambisinya. Tania sebetulnya tahu kalau Mama menyanyangi kak Ica sama seperti ia menyanyangi dirinya.

GAMANIA | Jeno ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang