09. Mimpi Tentang Papa

829 132 9
                                    

•••

Khusus malam ini Tania tidak belajar di rumah. Setelah makan malam bersama Mama tadi, ia memang pamit ke kamar untuk belajar. Namun yang ia lakukan adalah segera merebahkan badannya ke atas kasur dengan perlahan, sebab punggungnya masih sakit.

Wajah Tania pucat, bibirnya yang kering beberapa kali terlihat meringis menahan sakit. Mungkin jika ia memaksa belajar, tubuhnya akan tumbang.

Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dari luar, membuat Tania terkejut setengah mati- sebab takut kalau itu adalah Mama yang melihatnya malas-malasan. Namun ternyata orang yang membuka pintunya adalah Papa.

Tania mengeryit, lalu segera duduk di tepi kasur. Sedangkan sosok itu berjalan kian mendekat, dan ikut duduk di sebelahnya.

Tania pikir..... Ini pasti mimpi. Namun ketika Papa mengangkat tangannya untuk membelai lembut rambut Tania, ia merasa bahwa ini semua nyata.

"Tania pasti lelah sekali, ya?"

Tidak butuh waktu lama untuknya tenggelam dalam dekapan Papa. Tania menangis keras, seperti seakan-akan semua tangisan yang selama ini ia tahan tumpah ruah untuk malam itu.

"Bawa Tania, Pa... Tania nggak bisa di sini. Sakit, Pa... Tania nggak bahagia. Capek... Tania mau sama Papa aja..."

Jika setidaknya ini bukan mimpi, Tania berharap kalau ia betulan ada bersama Papa. Entah di mana saja, termasuk di dunia yang berbeda.

Tania semakin mengeratkan pelukannya, was-was jika saja Papa hilang dalam jangkauannya. Namun pria paling kaku itu masih sama, mengusap rambutnya dengan lembut.

"Tidak sekarang, Tania." Kata Papa.

Tania menggeleng kuat. "Apa Papa nggak kasihan sama aku?!"

"Mama butuh kamu. Biarkan Papa yang pergi deluan, kamu jangan."

"Tanpa aku pun Mama masih punya Kak Ica, Pa. Tania cuma beban untuk Mama!" Air mata Tania turun dengan deras. "Apa Papa tau kalau setiap ada pertemuan keluarga besar, Tania nggak pernah bisa ikut karena kata Mama... Tania belum bisa kayak Kak Ica!?"

Papa menatap Tania lama, bola matanya masih sejernih dulu. Laki-laki itu... Cinta pertama Mama serta anak-anaknya, yang meskipun kaku, selalu berhasil menjadi tempat paling nyaman di mana pun.

Jari-jari besar Papa mencoba menghapus jejak air mata Tania. Melihat anaknya sesedih ini membuat Papa ikut merasakannya.

Tania menangis seperti seakan-akan dunia membuangnya, dan sepertinya itu memang benar.

"Pa.... Kenapa Tania harus hidup sebagai bayangan Kak Ica? Kenapa Tania harus di lahirkan kalau untuk hidup sesuai keinginan Tania aja nggak bisa?!"

"Papa minta maaf, Tania... Maaf karena kamu harus mirip seperti Papa."

Tangis Tania kembali deras. Perempuan itu sampai terisak-isak. Mengingat bagaimana dulu Papa juga diperlakukan tidak enak oleh keluarga besar Mama karena hanya Papa yang tidak memiliki catatan pendidikan yang bagus, Tania merasa sangat sesak.

"Kenapa Papa bertahan sama Mama?"

Papa tersenyum. Sebuah senyuman sama ketika seseorang mengingatkannya pada Mama.

"Karena Papa mencintainya."

"Tapi keluarga besar memperlakukan Papa nggak baik, Pa!"

"Mereka hanya kesal karena anak perempuan kebanggaan mereka malah memilih Papa yang bukan apa-apa, Tania. Selama Mama menginginkan Papa, Papa akan tetap bersama Mama. Akan Papa buktikan kalau Papa pantas."

GAMANIA | Jeno ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang