03. Masa Lalu

1.4K 183 10
                                    

Perkataan Tania tadi sore benar-benar berdampak buruk untuk kesehatan mental Gama. Dalam kasus ini, Gama sungguh tidak mengerti kenapa Tania malah memancing masalah yang sudah mati-matian ia cegah.

Sudah Gama peringatkan kalau ini semua murni taruhan. Dan Gama pun tidak bersedia menjadi guru pribadi mendadak.

Sumpah. Gama kemarin mengikuti olimpiade-- yang entah bagaimana bisa kebetulan ada secara bersamaan dengan rencana Jansen untuk membuktikan kalau Gama juga tak kalah pintar, dengan terpaksa.

Selain karena ia tidak suka dipuji secara berlebihan oleh pihak sekolah, Gama juga suka kena marah Mama kalau ketahuan belajar.

Iya, Gama dimarahi karena belajar. Bukan karena gak belajar.

Habisnya menurut pandangan Bu Airin-- Mama Gama, anaknya selalu sakit setiap kali habis belajar. Soalnya Gama tidak bisa belajar yang biasa-biasa saja. Jika sudah sekali mengamati pelajaran, maka dalam waktu berjam-jam ke depan, atau bahkan satu harian, Gama akan tetap fokus pada bukunya.

Jelas Bu Airin keberatan. Karena untuknya, nilai tidak penting jika menyangkut kesehatan anak laki-laki satu-satunya.

Lagipula, tidak belajar saja Gama kerap kali mendapat nilai yang bagus-- meski tidak sesempurna saat anak itu belajar. Namun Bu Airin tetap senang sebab Gama sehat.

Niat hati ingin mengecek keadaan anak kesayangannya di lantai atas setelah minum beberapa teguk air hangat urung ketika melihat seseorang turun melewati tangga dengan mencurigakan.

"Eh-eh-eh. Mau kemana kamu?"

Gama yang tadinya sudah berjalan mengendap-endap seperti maling langsung berhenti melangkah saat suara Mama terdengar dari arah dapur. Dalam penerangan rumah yang minim karena lampu sudah dimatikan-- mengingat sekarang jarum jam sudah menunjukkan pukul 1 lewat, mata Bu Airin tetap bisa menangkap siluet Gama.

"Anu."

"Dimana tuh anu?"

Gama menelan ludahnya kasar. Padahal dia sangat yakin kalau Mama pasti sudah tidur. Tapi melihat wanita yang kini tingginya hanya sebatas pundaknya itu berdiri sambil bersidekap di depannya, Gama merasa kalau rencananya dugem malam ini pasti batal.

"Ke depan ma. Bentar doang kok, beneran."

Bu Airin menelusuri setiap jengkal pakaian yang melekat pas di tubuh Gama. "Ke depan mana?"

"Anu... Apa tuh namanya ya? Emm..."

"Mau ke klub kan kamu!"

"Eh?" Gama langsung pura-pura terkejut. Mengeluarkan jurus andalannya, ia tersenyum sangat manis di depan Mama hingga matanya berubah menyerupai lengkungan bulan sabit yang terbalik. "Lain ah. Masa Gama dugem? Gama kan anak Tuhan, anak baik-baik."

"Halah!" Mama menyahut galak. "Istirahat sana kamu tuh udah ikut olimpiade gak bilang-bilang. Pulang telat terus seminggu sebelumnya buat belajar di perpustakaan. Kalo sakit lagi gimana?!"

Kalau Mama sudah mengungkit-ungkit perihal olimpiade yang baru-baru ini ia ikuti, Gama tidak punya pilihan lain selain mengganti raut wajahnya jadi melas.

"Gama kan lama gak main bareng temen, ma..."

"Main apaan jam satu pagi begini Gama??"

Tadinya Gama sudah mau keceplosan bilang main cewek. Tapi begitu ingat kalau di depannya saat ini adalah Bu Airin bukannya teman-teman jahanamnya, Gama jadi urung mengeluarkan candaan tersebut.

Salah-salah, tahun terakhir kehidupannya sebagai murid SMA berubah suram jika mama mengeluarkan hukuman mematikannya. Tidak boleh keluar malam. Serius, Gama betulan bisa gila kalau mama menghukumnya begitu lagi seperti setahun yang lalu ketika Gama ketahuan merokok untuk yang pertama kalinya.

GAMANIA | Jeno ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang