27. Hari Terakhir?

679 126 20
                                    

Satu-satunya ingatan baik Tania mengenai Mamanya hanya ketika ulang tahunnya yang ke-10. Ingatan mengenai hari itu yang menjadi satu-satunya keyakinan Tania kalau dia masih memiliki ibu.

Ketika dia dibangunkan saat dini hari, kemudian ada sebuah kue dengan lilin menyala, serta suara Mama menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuknya. Hari itu Mama mencium keningnya sambil tersenyum, lalu tidur di sebelahnya sampai pagi.

Mama bilang... dia janji tahun depan Tania akan merayakan ulang tahunnya bersama Papa, Mama dan Kak Ica-- sebab hari itu keduanya tidak ada di sana.

Tapi tahun depan dengan janji itu tidak pernah datang. Tapi tahun depan dengan Papa, Mama, dan Kak Ica itu tidak pernah terwujud.

Di umurnya yang menginjak ke-11 tahun, Oma sering mengunjungi rumah mereka hingga Papa tidak bisa berlama-lama ada di rumahnya sendiri. Mama kemudian mulai bekerja, dan Kak Ica sibuk latihan berkuda, panahan, dan lain-lain.

Sedangkan Tania.... dia selalu tertinggal sendirian sambil bertanya-tanya apa yang mampu ia lakukan? Dia tidak pandai dalam pelajaran sekolah, juga olahraga. Namun di umurnya yang masih belia, Oma sudah menekankan kalau Tania harus sehebat Ica.

Jadi ketika Somi menggandeng tangannya seperti seorang adik yang takut hilang di tempat keramaian, sambil terus bercerita betapa semangatnya ia sebab hari ini adalah ulang tahunnya, Tania hanya bisa terdiam.

Sebab Somi masih bisa tersenyum selebar itu disamping fakta kalau ulang tahunnya kali ini, Mama dan Papanya hanya menitipkan ucapan dan doa lewat mimpi.

"Loh, Kak Tania nggak tau kalo Mama Papaku udah meninggal?"

Mereka sedang mengantre di sebuah kedai es krim. Somi tetap berdiri di sebelahnya, dengan tangan yang makin erat menggandengnya.

"Udah setahun, kak. Waktu itu kecelakaan beruntun di tol."

"Som--"

"Jangan liat aku begitu!" Somi menggeleng tegas. "Oh iya.. nanti tungguin aku solat zuhur dulu, ya?"

"Lo.... islam?"

"Iya, ikut Papa. Kalo Mama kan seiman kayak keluarganya. Makanya aku sama Kak Rehan nggak pernah gereja bareng."

Tania sebetulnya tidak suka bagaimana cara Somi bercerita dengan begitu detail kepadanya. Bercerita dengan seringan itu, dan bersikap seperti seakan-akan mereka adalah dua orang kawan lama yang sangat dekat

Namun entah kenapa dia tidak bisa menolak semua keinginan Somi. Seperti ketika dia menyuruh Tania untuk menunggu di depan musala, lalu mengajaknya masuk-keluar toko aksesoris, dan kemudian duduk di sebuah tempat makan cepat saji.

Mata Somi berbinar-binar semenjak Tania menjemputnya. Dia langsung bertanya apakah Gama tidak kemana-mana sebab mobilnya Tania pakai, lalu apakah bajunya bagus, atau sekecil pertanyaan.... apakah Tania sudah makan atau belum.

"Kak... boleh minta kulitnya nggak?"

Tania mengangguk, kemudian memberikan semua kulit ayamnya kepada Somi yang langsung kegirangan. Tania menatapnya penuh kebingungan.

"Lo sesenang itu?"

Somi mengangguk dengan mulut yang penuh kentang goreng. Kemudian setelah berhasil menelan semuanya dia mulai berbicara. "Seneeeng banget. Mungkin gini kali ya kalo punya kakak perempuan."

Tania tertegun.

"Kak Tania kan punya kakak juga, ya? Alumni sekolah kita bukan sih? Pasti enak ya punya kakak perempuan."

"Biasa aja. Tergantung."

"Tergantung apanya?"

"Nggak apa-apa." Tania membalas tatapan Somi kepadanya, kemudian mengeryit. "Apa lagi?"

GAMANIA | Jeno ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang