10. Taman Bermain

751 146 3
                                    

Tania tidak tahu bagaimana mulanya ia bisa bersikap sesantai itu dengan Gama. Dalam ingatannya, laki-laki itu hanya seorang murid senior yang namanya sering dibicarakan oleh hampir seisi sekolah.

Mulai dari kepribadiannya yang ramah, julukan playboy, ketampanan, serta kepintarannya yang tidak pernah suka ia pamerkan. Bicara mengenai Gama adalah hal yang tidak akan ada ujungnya. Semua orang menyukai Gama, entah sebatas teman atau bahkan lebih.

Tania mengenalnya semenjak ia mulai berpacaran dengan Rehan. Awalnya ia hanya murid biasa, namun setelah Rehan menyatakan suka padanya-- yang jelas langsung menjadi perhatian seisi sekolah sebab salah satu laki-laki paling diminati memiliki pacar, eksistensi Tania mulai dikenal.

Setahun yang lalu, di depan kelasnya. Gama datang dan mengajaknya berkenalan.

"Biarin gue nanya." Tania memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Sudah tiga jam ia berada di apartemen yang sama seperti kemarin. Sekarang waktunya ia pulang, namun jelas Gama tidak akan melepaskannya semudah itu.

"Nanya mulu?" 

Gama melotot, jelas keberatan atas jawaban Tania. "Yang sopan ya sama guru."

Hampir saja Tania merotasikan bola matanya. Namun setelah ingat bagaimana sabarnya Gama mengajarinya, ia akhirnya mengalah dan duduk dengan benar di sebelah laki-laki yang masih mengenakkan seragam itu.

Sialnya, dengan rambut berantakan hasil frustasi karena harus meladeni kebodohan Tania selama tiga jam itu.... Gama terlihat lebih ganteng.

"Oke, apa?"

"Lo bego di matematika doang?" Tadinya Tania tidak berniat untuk kaget, namun jika dilihat dari ekspresi menyebalkan Gama sekarang, sepertinya ia sudah kecolongan.

"Cepetan bilang, pelajaran apa aja yang lo gak bisa?"

Tania menelan ludahnya. "Apaan sih jadi nanyain beginian. Gue kan minta lo ajarin matematika doang."

"Kok nyolot sih? Tinggal jawab doang susah banget."

Tania berdecak, lantas segera berdiri sambil membawa tas ranselnya. "Gue balik dulu."

"Heh!" 

"Tania! Bentar, tungguin!"

Bukan Tania jika mau mendengarkan Gama. Perempuan itu terus berjalan, keluar dari apartemen dengan begitu saja tanpa peduli kalau Gama memanggilnya.

Langkah besarnya membawa Tania untuk sampai ke depan lift dengan cepat. Jantungnya berdegup kencang, masih terbayang bagaimana gugupnya ia saat Gama bertanya soal pelajaran-pelajaran yang membuatnya sulit.

Cukup Gama tahu kalau ia bodoh di matematika. Tania tidak ingin laki-laki itu sampai tahu kalau dia juga bodoh dalam semua pelajaran, kecuali sejarah dan bahasa Indonesia. Tania menampar pipinya dengan spontan, memaki dirinya sendiri.

"Jangan kepancing, nanti malu sendiri." Ucapnya lirih.

Suara langkah kaki yang cepat menggema mencipta bunyi berisik, membuat Tania mau tidak mau menoleh-- hanya untuk dibuat terkejut sebab Gama berlari menghampirinya. Tania dengan spontan mengumpat, menyalahkan lift yang tidak kunjung datang.

Gama berdecak, lalu menoyor kepala Tania seperti seakan-akan mereka adalah teman akrab sambil berkata, "Udah di bilang tungguin."

"Lo.... ngapain?" Tania yang jelas terkejut hanya bisa menatap laki-laki itu dengan tatapan tak percayanya.

Belum sempat Gama menjawab, lift datang membuat Gama segera mendorong perempuan itu agar masuk terlebih dulu sebelum ia ikut bergabung. Hanya ada satu orang di dalam sana, jadi di tambah mereka totalnya tiga orang. 

GAMANIA | Jeno ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang