33. Bertemu Papa

1.2K 155 49
                                    

bentar, deg-degan.. oke-oke.. udah. selamat membaca. sampai ketemu di akhir part hehe.

***

Tadinya, Ica sempat berpikir kalau ayah dari calon bayi yang adiknya kandung adalah Arkana. Makanya ketika Tania dilarikan ke rumah sakit, Ica buru-buru menghubungi Arkana-- namun siapa sangka, yang berlari seperti orang gila di sepanjang lorong rumah sakit adalah orang lain.

Proposi tubuhnya bagus-- meski Ica akui ini bukan saatnya membicarakan fisik seseorang. Wajahnya tampan, terpahat dengan baik. Sekilas Ica pikir adiknya pasti diperkosa-- sebab kelihatannya, Gama bukanlah anak baik-baik. Namun melihat sengsaranya Gama yang terus menatap pintu ruangan Tania, membuat Ica jadi sedikit ragu.

"Lo... boleh masuk kalau mau."

Gama menoleh dengan ekspresi menahan kaget. "Saya nggak bisa."

"Kenapa?"

"Tania benci saya."

"Jadi lo akan duduk diam di sini padahal dokter bilang nyawa anak lo nggak selamat?"

Gama menelan ludah. Dadanya sakit sekali. Namun apakah dia berhak masuk ke dalam? Disaat ia sadar kalau penderitaan Tania semakin bertambah karenanya?

"Tania nggak mau sama Mama." Pintu di depan mereka terbuka, keluar Mama dalam keadaan kacau. "Tania sudah sadar. Dia mau sama kamu."

"Saya?"

"Iya, kamu. Kamu, kan, Gama? Atau Arkana yang ayah anaknya?" Ucap Mama sambil memandang Arkana dan Gama bergantian. Gama langsung berdiri, merasa sedikit tersinggung karena Mama Tania meragukannya.

"Saya. Saya ayahnya."

Kemudian, Gama masuk ke dalam ruangan. Keadaan lebih membuat sesak di dalam sana. Dahi Tania diperban, bekas luka benturan ujung meja. Namun untuk sesaat Gama agak terkejut karena Tania menatapnya dengan berbeda. Bukan tatapan benci seperti yang terakhir kali, melainkan tatapan sedih.

Dokter Helen duduk di sebelah Tania.

"Tania bersikeras buat USG ulang."

"USG ulang?"

"Saya minta maaf, Gama. Janin--"

"Dokter... kita harus periksa sekali lagi." Tania menggenggam tangan dokter Helen penuh harapan. Sebenarnya kepala dan punggungnya sakit, namun dia tidak bisa menerima dengan begitu saja kalau orang-orang berkata janinnya telah tiada.

"Ayahnya belum pernah liat dia." Mata Tania berkaca-kaca. "Setelah pemeriksaan terakhir kali, saya bahkan berpikir buat datang lagi untuk denger detak jantungnya."

Melihat putus asanya pasangan muda itu, membuat Dokter Helen ikut sedih. Sewaktu tadi Tania datang dengan keadaan yang sangat menyedihkan, sebenarnya ia sudah menduga kalau kandungannya tidak bisa diselamatkan. Sebab dia mendapat serangan langsung di perut.

Tadi dia sudah memeriksa, dan detak jantung yang Tania harapkan tidak ada. Jika harus memeriksa lagi, bukankah itu sama saja membunuh Tania dan Gama dua kali?

Gama mendekat, berdiri di sebelah Tania yang berbaring. Sekat mereka yang kemarin berdiri sangat kokoh, kini terasa tidak ada. Gama menunggu lama untuk perasaan itu. Namun bukan dengan situasi yang seperti saat ini.

Gama tersenyum kecil, menahan tangisnya agar tidak pecah. Tangan besarnya membelai kepala Tania dengan lembut.

"Nggak papa, Dok. Lakuin aja apa yang Tania mau."

"Gama..."

"Tapi kamu harus janji, ya?" Gama memandang Tania. "Apapun keputusan yang Tuhan kasih, kita harus terima itu."

GAMANIA | Jeno ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang