07. Permohonan Sederhana

889 135 8
                                    

Di sekolah mereka, hampir tidak ada yang namanya cerita-cerita menyenangkan seperti di kisah SMA yang sering di banggakan orang lain.

Masuk dalam sekolah swasta yang hanya memandang kepintaran dan kekayaan, jelas saja menjadi masalah tersendiri untuk mereka yang serba kurang.

Untungnya, meski tidak pintar, Tania masih punya uang. Jadi ketika wali kelas mulai melayangkan beberapa keluhan untuk nilai-nilai Tania yang tidak pernah meningkat dan selalu tertinggal jauh dari murid lainnya, Mama tinggal menenangkan pihak sekolah dengan embel-embel menyumbang sofa baru untuk ruang guru, atau bahkan pendingin ruangan.

Padahal jika dipikirkan lagi.... Untuk apa semua itu? Kenapa Mama memaksa sekali agar Tania bisa masuk dan bertahan di sekolah itu hanya karena Kak Ica alumni sana. 

Padahal jika boleh Tania mau sekolah di tempatnya Arkana saja. Padahal kalau boleh Tania mau hidup seperti anak SMA pada umumnya. 

"Lo gak kapok ya waktu itu di tendang sama kakak gue?!" 

Meskipun punya uang, Tania tetap akan kalah dengan anak-anak yang terlahir pintar serta kaya seperti murid lainnya. Itu juga yang menjadi alasan Tania membenci fakta bahwa dia adalah boneka Mama yang harus selalu patuh.

Bahkan ketika ia dirundung teman-teman sekelasnya. 

"Lo itu kalo terlahir bego ya bego aja sih Tan! Bisa nggak sehari aja nggak usah caper ke guru?"

Apakah Tania tidak pernah mengadu pada Mama kalau ia di ganggu? Jelas pernah. Namun kata Mama, mungkin Tania saja yang tidak bisa berbaur dengan teman-teman yang lain.

"Lo tau nggak gara-gara kelakuan super caper lo kemarin, kita semua harus kena hukuman?!" Tania memejamkan matanya saat bentakan Alana-- teman sekelasnya, yang kini menjadi salah satu murid paling ditakuti sebab latar belakang sosial dan posisinya sebagai adik Shalsa-- primadona sekolah, makin nyaring hingga memekkan telinganya.

Kaki mejanya di tendang hingga beberapa pena beserta alat tulis lain yang tadinya tersimpan rapi dalam kotak pensilnya berjatuhan dan menggelinding di lantai. 

Tania hanya mampu menghela napas pelan, mencoba bersabar.

Sebab jika ia melawan, dan guru-guru mengetahui hal ini, lalu orang tua mereka terlibat, Tania sudah tahu bagaimana akhirnya. Mama akan menjadi pihak paling dirugikan, dan Tania akan jadi sasaran empuk kemarahan semua orang.

Hidupnya memang se-menyebalkan itu.

"Lo nggak mau ngejawab gue?" Alana mendorong bahu Tania, memaksa perempuan yang tadinya hanya menunduk itu agar mau menatapnya.

"Udah, Al." Balas Tania pelan, mencoba untuk tidak membuat keributan. Namun sayangnya, Alana yang sudah keburu emosi dengan tingkah songong Tania malah semakin tidak tahan untuk tidak mendorong perempuan itu lagi.

Dalam waktu singkat suara kursi dan meja yang terdorong ke belakang sebab tubuh Tania yang kurus terlempar dengan mudah saat Alana menendangnya hingga mengenai benda-benda itu berhasil memancing banyak perhatian.

Tania meringis menahan sakit di punggungnya. Dia jadi bertanya-tanya apakah Shalsa dan Alana memang suka menendang atau bagaimana. Namun jika dipikirkan, lebih baik Shalsa yang melakukannya saat sepi, ketimbang Alana yang malah merundungnya saat jam istirahat begini.

Semua orang yang tadi hilir-mudik di koridor jadi tertarik untuk menyaksikan kelemahannya dari balik jendela kelas. Tania kembali memejamkan matanya agar bisa menahan diri. 

"Lo tahu diri sedikit bisa kan?" Alana menyunggingkan senyuman miringnya, merasa bangga pada dirinya sendiri. "Gue harap peringatan kali ini jadi yang terakhir. Paham lo?!"

GAMANIA | Jeno ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang