25. Dedikasi Somi

660 127 13
                                    

Sehari setelah pembagian rapot Tania.

Gama betulan menepati kata-katanya untuk membuat momen-momen baik bersama Tania di sisa waktu mereka sebelum ia pergi ke Malaysia.

Bahkan sampai hari terakhir Tania ulangan, Gama tetap rajin menemani perempuan itu belajar. Gama juga membuatkan catatan baru untuk Tania, menggantikan catatan lamanya yang di rusak oleh Alana. Dia juga mengajak Tania makan dengan teratur, dan menemani perempuan itu ke gereja.

Ketika itu, sewaktu Tania cerita kalau Alana dan Shalsa tidak lagi merundungnya, Gama merasa ada yang tidak beres. Sebab mana mungkin Shalsa akan berhenti. Namun akhirnya ia tahu kalau Candra adalah dalang di balik momen baik itu.

Awalnya Gama khawatir kalau Candra jadi kepikiran Shalsa lagi setelah hari dimana mereka bertemu, namun ternyata tidak. Kata Candra, kali ini dia lebih ringan ketika membiarkan Shalsa pergi lagi.

Dalam dua bulan belakangan, semua hal jadi membaik. Sampai akhirnya pembagian hasil belajar kemarin, membuat Tania tidak berhenti berpikir.

Apa yang salah?

"Mama tinggal, kayaknya kamu jadi malas-malasan. Bagus, Tania. Matematika-mu bahkan cuma dapat tujuh puluh!"

Dapat 70 bahkan masih kurang, padahal biasanya ia tidak pernah bisa mencapai angka 50.

"Liat apa kamu? Kalo Mama ngomong jangan di tatap balik! Berani kamu sama Mama?!"

Tania mengalihkan pandangannya, kemudian menunduk. Keseringam bersama Gama dia jadi terbiasa menatap mata lawan bicaranya, sebab Gama tidak suka jika di abaikan saat sedang bicara.

Ketika kepalanya di pukul oleh rapot, Tania hanya mampu memejamkan mata. Rasanya seperti seakan-akan, usahanya belajar selama berbulan-bulan hanya berakhir jadi sampah yang tidak bisa Mamanya hargai.

"Mama tuh capek, Tan. Terbuat dari apa sih kepalamu? Selama ini apa aja yang kamu kerjain? Kamu ngapain aja??"

"Liat rapotmu. Rata-ratanya cuma tujuh, gimana mau jadi dokter? Nggak malu kamu sama keluarga yang lain? Kamu nggak kasihan sama Mama?"

Tania masih mengenakan piyama, dan duduk di pinggir kasur. Dia baru saja bangun tidur ketika Mama datang dari luar kota, dan langsung menyemprotnya dengan kata-kata tak baik. Dia bahkan dibangunkan dengan cara tak layak.

Mama bahkan tidak bertanya kenapa ada baskom berisi air dan handuk basah di atas nakas. Dia bahkan tidak bertanya kenapa ada banyak obat di atas sana, atau sekedar bertanya.... Kenapa ada plester di jari tangannya.

Seakan-akan Mama buru-buru pulang hanya untuk memarahinya, dan menghakiminya atas nilai-nilai yang tidak bisa sempurna.

"Tania, sekarang Mama harus bilang apa ke Oma? Dia tau kamu udah bagi rapot, dan nyuruh kita datang ke rumahnya kalau-- seenggaknya, nilai kamu rata-rata sembilan! Apa kamu nggak pernah kepengen ketemu sama Oma sambil bawa nilai yang bagus??"

Mama menghela napasnya gusar, kemudian melempar rapot Tania ke sembarang tempat hingga benda itu berakhir di dekat pintu balkon.

"Nggak ada yang bisa dibanggakan dari kamu! Semuanya sia-sia, tau nggak?!"

Tania memejamkan matanya, berharap kalau Mama tidak akan mengeluarkan kata-kata menyakitkan itu lagi. Namun terlambat, karena wanita itu sudah keburu memelototinya dengan mata memerah.

"Saya heran kenapa anak kayak kamu bisa lahir dari rahim saya."

Kata-kata itu diucapkan hanya dalam waktu lima detik, namun untuk menghilangkannya dari kepala Tania, mungkin membutuhkan waktu seumur hidup.

GAMANIA | Jeno ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang