1

35.4K 1.4K 68
                                    

"Orang akan berkata, bahwa aku mendapat anugerah. Tapi bagiku, ini adalah sebuah kesialan. Nyatanya hingga hari ini aku tak pernah bahagia menjalani pernikahanku"

~Naira~

______________

Adiwisastra Group.

Sebuah perusahaan multinasional di bidang ritail dan properti yang terbilang kuat dan memiliki nilai saham tinggi. Jumlah seluruh karyawan yang mencapai hampir 2 juta serta keuntungan Rp 100 milyar perhari membuat perusahaan ini menjadi salah satu perusahaan bonafid yang masuk ke dalam 20 perusahaan besar terkuat di dunia.

Oleh karena itu, adalah suatu kebanggan menjadi salah satu karyawan di perusahaan ini. Selain gajinya yang bisa dibilang tinggi, tentu juga dapat menjamin kondisi finansial dalam jangka panjang, tanpa dihantui kekhawatiran suatu saat kantor tiba-tiba collapse.

"Awas kelilipan pesawat!" Ucap seseorang mengejutkanku, membuat aku tersedak ludah sendiri. Sebal!

"Apa sih, An!"

"Lagian, pagi-pagi udah dongakin kepala aja. Lagi nyari ruangannya Pak Ryan, kamu? Nggak bakal keliatan. Yuk ah, masuk." Ani menepuk pundakku, kemudian berlalu.

Sesaat aku berdecak lalu kembali mengangkat kepala, menatap gedung raksasa berlantai 25 yang kini menjulang tinggi di hadapanku. Ini adalah gedung kantor pusat dari Adiwisastra Grup. Aku menyipitkan mata, mengira-ngira dimana letak ruangan CEO yang katanya berada di lantai paling atas.

Namanya Ryan A. Adiwisastra. Entah singkatan dari apa huruf A di tengah namanya itu. Dia adalah seorang Chief Executive Officer, jabatan dari jajaran eksekutif  tertinggi di Adiwisastra. Mungkin orang lebih mudah mengenal dengan kata CEO atau lebih mudah mengingatnya dengan sebutan Direktur Utama. Jika aku tak salah.

Ryan adalah pria yang nyaris di katakan sempurna. Banyak orang yang tahu jika dia adalah billioner muda pewaris tunggal kerajaan bisnis Adiwisastra. Sudah menjadi hal umum, jika semua karyawan wanita di sini terkagum-kagum padanya. Itulah sebabnya mengapa tadi Ani mengataiku seperti itu. Dia mengira aku adalah salah satu penggemar Pak Ryan. Padahal dia salah besar. Aku bukan penggemarnya. Aku, lebih dari itu ...

Jam menunjuk pukul 7 tepat, menandakan bahwa sudah saatnya aku mulai bekerja. Kulangkahkan kaki ke lobby utama, menuju lift umum yang bisa membawaku ke lantai 7, tempat dimana para staf administrasi bekerja.

Meski hari masih pagi, tetapi sudah banyak orang yang mengantri di hadapan 4 pintu lift. Mereka berbaris rapi menunggu giliran memasuki kotak besi itu. Di antara mereka, ada beberapa orang yang berseragam sepertiku. Dan ada juga salah satu dari mereka yang aku kenal. Semua orang tampak sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang mengomel tak jelas karena tak sabar melihat antrian yang mengular, ada yang sibuk menelpon ke sana kemari, dan ada juga yang asik mengobrol dengan teman sebelahnya. Yang ini biasanya mereka tengah berghibah. Astagfirullah, jangan suudzon Ara! Intinya, semua ini adalah pemandangan biasa yang kulihat setiap pagi selama 3 tahun aku bekerja di Adiwisastra.

Tiba-tiba suasana mendadak hening. Semua orang tampak berdiri tegak seakan menjaga image dari seseorang yang paling berpengaruh bagi mereka. Aku sudah sangat hafal keadaan seperti ini. Dan benar saja, sekelompok orang berpakaian sangat rapi berjalan tegap menuju pintu lift khusus. Lift yang hanya boleh digunakan untuk Bapak CEO dan jajaran eksekutif lainnya.

Tanpa diminta, mata ini langsung tertuju pada seorang pria yang paling mencolok diantara semuanya. Tubuhnya tinggi tegap proporsional. Aku pernah mendengar jika tinggi tubuhnya mencapai 190cm. Perpaduan alis, mata, hidung dan bibir terpahat sempurna di wajahnya. Sungguh maha karya Allah yang mengagumkan. Dialah Pak Ryan, sang CEO Adiwisastra.

Jangan berpikir CEO tampan itu dingin dan judes. Lihatlah Pak Ryan. Wajahnya selalu santai dengan bibir senyum nya yang khas. Entah itu disengaja atau tidak, namun bibir itu seolah selalu nampak tersenyum meski samar. Dia tengah berbincang dengan pria paruh baya di sampingnya. Tinggi pria itu hanya mencapai telinganya saja, hingga membuat ia harus sedikit mengangkat kepala ketika berbicara dengan Pak Ryan.

Aku mendengar bisik-bisik mereka memuji pria itu. Betapa tampannya, gantengnya, sempurnanya, dan semacan itulah. Aku hanya memutar bola mata jengah. Kalimat-kalimat itu membuat telingaku gatal. Ketika pintu lift khusus itu terbuka, Pak Ryan masuk kedalam di ikuti yang lainnya. Saat itulah, sebelum pintu lift itu tertutup ... Tatapan kami bertemu. Auranya langsung berubah. Meski bibirnya nampak tersenyum -mungkin memang sudah sejak lahir tipe bibirnya seperti itu- namun pandangan matanya datar. Ya, aku tau. Tatapan itu selalu berbeda begitu melihatku.

Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya tiba giliranku masuk ke dalam lift. Meski aku orang yang terakhir masuk, namun posisiku terepit paling belakang. Aku tahu mereka sengaja melakukannya. Meski aku sama-sama karyawan Adiwisastra, namun di mata mereka aku tetaplah berbeda. Bagiku hal ini sama sekali tak masalah, selama mereka tak ada niat berbuat buruk padaku.

Tiba di lantai 7, aku segera memasuki ruang khusus yang berisi alat kebersihan untuk menyiapkan peralatan kerja. Pembersih kaca, kain lap, pel, ember dan sabun-sabunnya sudah tertata rapi di atas troli. Aku hanya tinggal mendorongnya saja ke ruangan yang ku inginkan. Dan kali ini, ruangan yang kutuju adalah ruang staf administrasi. Jadwalku hari ini adalah merapikan dan membersihkan ruangan ini, sebelum mereka yang bekerja di sini datang.

Ketika kurasakan HP di saku apron kerja ku bergetar, aku langsung mengambilnya. Aku berharap itu adalah SMS balasan yang kutunggu-tunggu.

Kemarin, 06:30
Aku: Kak, aku ingin menengok Ibu. Bolehkah?

Hari ini, 07:12
Tibbir: Ya

Alhamdulillah ... Ternyata ini memang balasan darinya. Balasan dari SMS yang telah ku kirim sejak kemarin pagi. Setelah 24 jam lebih menunggu, dia baru membalasnya. Its ok. Tak apa-apa. Setidaknya jawaban singkat itu adalah jawaban yang aku harapkan. Dia mengizinkanku menengok Ibu.

Tahu siapa Tibbir?

Tibbir adalah nama dari salah satu iblis penggoda manusia. Tibbir bertugas menggoda kita untuk mudah terpancing amarah serta emosian. Iblis ini membuat hati tak pernah merasa tenang dan merasa gelisah terus-menerus.

Jika orang lain menamai kontak orang yang dibenci dengan nama 'Setan', 'Babi', 'Asu' dan sebagainya, maka aku namai kontak dia dengan nama Tibbir. Sengaja aku pakai nama itu untuk berjaga-jaga kalau suatu saat dia mengotak atik HP ku, meski itu adalah hal yang mustahil.

Jadi, siapa nama Tibbir di kontak HP ku ini?

Jika aku ketik nomor HP yang tertera pada kartu nama CEO Adiwisastra di HP-ku, maka nama Tibbir akan muncul. Ya, Tibbir adalah julukanku untuk Pak Ryan, si CEO Adiwisastra yang sejak tadi kubicarakan. Dia adalah pria yang telah mengucapkan ijab kabul di depan penghulu 27 hari yang lalu. Dia adalah suami sah ku, secara agama dan negara.

🌷🌷🌷

Akhirnya, aku berani posting hasil ceritaku sendiri. Setelah di semangati kakak.

Terimakasih sudah baca. Semoga kalian suka. Jangan lupa tinggalkan vote dan komen ya ^^

Tetap jadikan Al-Quran sebagai bacaan utama
💕

The Great Husband (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang