"Whoaaaa ini dia karyawan rasa bos kita," Aratasha melirik seseorang yang duduk di teras Teressa.
Ia baru saja memarkirkan mobilnya di halaman Teressa tepat pukul dua belas siang. Setelah tragedi demam pagi tadi, Aratasha mengajukan izin masuk siang. Sebenarnya dia ingin tidak masuk, tapi karena ia tak memiliki surat dokter, maka Aratasha dengan terpaksa harus masuk. Ada sedikit rasa sesal karena sudah menipu dokter pagi tadi. Tapi nasi sudah menjadi bubur.
"Apa kabar bu bos, lama banget ngilang," orang yang tadi menyapanya kini sudah berada di samping mobilnya. Aratasha membuka pintu mobilnya dan segera keluar menemui orang tersebut.
"Halo Nugi sayangku, tumben nyamperin Tacha," Aratasha balik menyapa orang tersebut yang tak lain adalah Nugi Sahabatnya sejak masuk SMP sambil mencubit pipinya. Sampai wanita yang sebaya dengan Aratasha itu meringis kesakitan.
"Gaya lu, Cha. Diajakin nongkrong ngilang alasan nggak jelas. Dicari di kos eh katanya lo udah pindah. Gue kira lo balik kampung, eh katanya manajer lo, lo masih ada berangkat kerja setiap hari. Eh tapi katanya lo sakit ya?" Nugi menyentuh dahi Aratasha.
"Iya nih, sakit nih, lo kenapa masuk kerja kalau masih sakit?" Nugi melanjutkan cerocosannya membuat Aratasha geleng-geleng.
"Panjang ceritanya, Gi. Nanti Gue ceritain kalau jam kerja udah abis. Yang ini udah telat nih,"
"Yah, lama dong. Gimana kalau nanti malem kita meet up aja di tempat biasa. Gue ajak Ayana sama Winda juga,"
"Oke Nugi sayangku, see you," jawab Aratasha sembari melenggang masuk ke Teressa. Nugi berdecak. Aratasha memang selalu sulit.
Namun, Aratasha menepati janjinya, ia hadir dalam acara bertemu teman-temannya di kafe. Bahkan sampe hari benar-benar petang.
Cklekk
Aratasha membuka pintu apartemennya. Ia baru saja pulang ke apartemennya sehabis berkumpul dengan teman-temannya untuk menceritakan semua yang terjadi. Termasuk soal Gentala. Dan teman-temannya merespon dengan sangat heboh karena tak menyangka Aratasha bisa bertemu dengan kakak sepupu kesayangannya. Yang sering ia ceritakan pada teman-temannya.
Gelap. Tak heran karena ia baru pulang jadi belum sempat menyalakan lampu apartemennya. Ia meraba saklar untuk menyalakan lampu.
Aratasha sempat tak berkedip beberapa detik. Ia menilik seluruh ruangan. Ini mengherankan. Kenapa ruangan Aratasha sudah penuh?. Perabotan, televisi, kulkas, sampai mesin cuci. Sudah ada semuanya. Padahal ia tidak memesannya.
Ia menuju kamarnya. Kasur lantai menyakitkan itu sudah entah kemana. Digantikan springbed berukuran sedang lengkap dengan bedcover. Lalu di sampingnya lemari yang lebih dari cukup untuk meletakkan pakaian-pakaian Aratasha.
Dan tempat ini bukan seperti apartemennya sebelumnya. Dari ruang tamu, kamar, hingga dapur sudah didesain dengan sangat bagus. Dominan biru laut seperti keinginannya.
Aratasha ganti berlari kedepan untuk memastikan ia tidak salah masuk apartemen. Nyatanya tidak, ia tidak salah, ini memang apartemennya.
Ruangan minimalisnya sekarang terlihat penuh sampai terasa sempit karena barang-barang yang tiba-tiba ada entah datang dari mana. Sofa yang terletak di ruang tamu pun kelihatannya adalah sofa mahal. Terlihat megah dan indah kontras dengan ukuran ruang tamunya yang sangat minimalis.
Aratasha menyentuh sofa warna biru tua tersebut. Lalu ia duduk di sofa tersebut. Terasa sangat empuk dan nyaman. Tapi ia tak bisa menerima semua ini begitu saja. Tanpa tau siapa yang memberinya.
Aratasha memijat keningnya. Aratasha membulatkan mulutnya sambil mengacungkan jari saat merasa mendapat pencerahan.
Ia membuka pengunci layar ponselnya lalu menelpon seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARATASHA (COMPLETED)
ChickLitBerawal saat Ndoro Nyai Riani yang tak lain adalah Mama-nya sendiri yang menitipkannya kepada orang kepercayaan selama ia menyelesaikan skripsi di ibukota. Siapa sangka sosok kepercayaan itu adalah adik sepupu perempuannya yang telah lama menghilang...