Rumah Sakit

362 25 0
                                    

Semua orang sedang menunggu di depan ruang rawat Aratasha. Mereka adalah Nilam, Gentala, Riani, Rusman, dan Kakek Aratasha sendiri, Pramana. Tidak ada yang menunjukkan raut wajah biasa saja. Mereka semua panik akan keadaan Aratasha. Terlebih lagi Gentala yang merasa bersalah karena telah membawa Aratasha bertemu Pramana.

Mereka semua menoleh ke pintu ruang rawat Aratasha ketika seorang dokter laki-laki yang menangani Aratasha keluar bersama seorang suster yang mendampinginya.

"Keluarga dari Nona Aratasha?," Panggil dokter tersebut.

Nilam berdiri dan mengangkat tangan. "Saya Ibunya, Dok,"

"Mari ikut ke ruangan saya," pinta sang dokter.

Tanpa basa-basi Nilam mengikuti dokter tersebut ke ruangannya. Nilam dipersilakan duduk di bangku yang disediakan di depan meja dokter tersebut.

"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?," Tanya Nilam.

"Sebelumnya, bolehkah saya bertanya satu hal kepada ibu?," Nilam mengernyit namun tetap mengangguk.

"Silakan, Dok,"

"Saya tau dari bagian administrasi bahwa anak ibu, Aratasha pernah menjalani perawatan di rumah sakit ini berkenaan dengan kesehatan mentalnya, benar begitu, Bu?,"

Nilam mengangguk mengiyakan pertanyaan Dokter tersebut. Dulu memang menjalani perawatan berkaitan dengan depresinya di rumah sakit ini sebelum akhirnya memutuskan untuk berhenti karena mengira dirinya sudah sembuh.

"Betul, Dok. Tapi Aratasha memutuskan tidak ingin berkonsultasi lagi karena merasa fisiknya sudah baik-baik saja," jelas Nilam.

"Sayang sekali, Ibu. Pengobatan yang belum tuntas tersebut malah menyebabkan hal yang bisa terjadi secara tiba-tiba seperti saat ini. Aratasha belum bisa sepenuhnya mengontrol dirinya dan bisa membahayakan siapapun termasuk dirinya sendiri dan orang yang disayanginya,"

Nilam menunduk dalam-dalam. Ia menyalahkan dirinya sendiri secara terus menerus. Andai saat itu ia bisa membujuk Aratasha untuk tetap menjalani pengobatan.

"Beruntung saat ini Aratasha bisa diselamatkan karena pecahan gelas tidak sampai memutus urat nadinya. Ia hanya shock dan lemas," Sang Dokter menjelaskan keadaan Aratasha. Nilam menyimak dengan seksama.

"Syukurlah, Dok. Saya senang mendengarnya," Aratasha mencium kedua telapak tangannya untuk mengucap syukur.

Sang dokter mengeluarkan sesuatu dari laci kerjanya. Selembar kartu nama. Ia menyodorkannya pada Nilam. Nilam membaca nama dalam kartu nama tersebut.

'Prof. Dr. Zuhri Assegaf, M.psi.'

"Beliau adalah salah satu psikolog terpercaya di Jakarta. Dia salah satu rekan saya. Mungkin dia lebih baik daripada psikolog di Yogyakarta. Saya sarankan Aratasha agar mengunjungi Dokter Zuhri untuk penyembuhannya. Kalau tidak segera ditangani, bisa saja terjadi hal yang lebih fatal daripada ini," jelas Sang dokter. Nilam mengangguk dengan yakin.

"Baik, Dok. Terimakasih atas sarannya. Saya akan segera bawa Aratasha mengunjungi Dokter Zuhri,"

"Senang saran saya bisa diterima dengan baik,"

"Kalau begitu saya permisi untuk menengok Aratasha, Dok. Terimakasih atas penjelasannya,"

Sang Dokter mengangguk sambil tersenyum. Nilam segera keluar dan menemui Aratasha di ruangannya.

Di dalam ruangan, Gentala sedang duduk di samping brangkar yang Aratasha tempati. Wajahnya terlihat sangat cemas karena sampai saat ini Aratasha belum juga menampakkan tanda-tanda akan siuman. Ia terus menciumi punggung tangan Aratasha berharap gadis itu bisa merasakan sentuhannya dan segera sadar.

Nilam datang dengan tergesa-gesa. Ia lega ketika melihat Gentala sudah ada di ruang rawat Aratasha. Entah mengapa ia selalu percaya dengan Gentala bahwa keponakannya tersebut selalu bisa menjaga Aratasha.

Gentala berdiri dari duduknya ketika melihat Nilam datang. Ia mempersilakan Nilam untuk duduk di tempat yang sebelumnya ia tempati.

"Belum ada tanda-tanda Aratasha akan sadar?," Tanya Nilam pada Gentala. Gentala menjawab dengan gelengan.

"Apa kata dokter mengenai keadaan Aratasha, Tante?" Tanya Gentala.

"Dia hanya shock. Beruntung pecahan gelas itu nggak sampai memutus urat nadinya," jelas Nilam sambil mengelus kepala Aratasha yang terbaring lemah.

Nilam menyodorkan kartu nama yang diberi oleh dokter tadi pada Gentala. Gentala menerimanya walau dengan wajah bingung.

"Dia psikolog terpercaya di Jakarta, Tante dapat itu dari dokter yang menangani Aratasha," Gentala mengangguk. Ia sudah paham arah pembicaraan Nilam.

"Secepatnya Gentala akan bawa Aratasha ke dokter ini setelah kami ada di Jakarta," tegas Gentala.

"Tante percaya sama kamu, Genta. Hanya dengan kamu Aratasha bisa luluh. Kamu juga selalu bisa menjaga Aratasha,"

Gentala tak menjawab namun ia sama sekali tak keberatan untuk selalu ada di samping Aratasha sampai kapanpun.

"Tante akan susul kalian ke Jakarta. Nanti biar Tante cari alasan kenapa Tante ke Jakarta pada Aratasha,"

"Tante nggak perlu ke Jakarta. Biar ini jadi tanggung jawab Genta. Genta akan selalu menjaga Aratasha,"

"Terimakasih, Gentala. Tapi Tante tidak akan tenang jika Tante jauh dari Aratasha sedangkan keadaannya seperti ini," keukeh Nilam. Sungguh ia tidak bisa membiarkan anaknya dalam keadaan seperti ini. Ia ingin selalu ada di sampingnya.

"Baiklah kalau itu kemauan Tante," putus Gentala.

Seseorang tiba-tiba masuk ketika keduanya sedang mengobrol serius. Mereka kaget ketika pria tua itu berjalan pelan ke arah mereka. Gentala melototkan matanya dan mengeratkan rahangnya.

"Izinkan saya menjenguk Aratasha. Saya janji tidak akan melakukan hal yang tidak-tidak," Pria itu memohon penuh harap. Rautnya sarat akan penyesalan.

"Kakek nggak sadar? Aratasha seperti ini karena Kakek. Jangan sampai ketika sadar nanti, Aratasha lihat Kakek dan melakukan hal yang sama seperti tadi!," Tegas Gentala. Ia sungguh heran dengan kelakuan Kakeknya yang selama ini sangat baik padanya.

"Kakek mohon, Genta," Pramana mendekati Gentala dan mencoba berbicara.

"Genta, nggak masalah jika Kakek kamu ingin menjenguk Aratasha. Dia Kakeknya Aratasha juga," Nilam menyela.

"Maafkan Bapak, Nilam. Bapak mohon izinkan Bapak menjenguk Aratasha," Pramana memegang tangan Nilam berharap menantunya yang sebelumnya ia sia-siakan itu mengizinkannya menjenguk Aratasha.

"Nilam sudah maafkan Bapak. Silakan jika Bapak ingin menjenguk Aratasha," Nilam berkata dengan lembut.

Pramana hendak mendekati Aratasha namun masih terhalangi oleh keberadaan Gentala. Pramana memandang Gentala penuh harap. Gentala berdecak namun akhirnya menyingkir juga dan membiarkan Kakeknya melihat Aratasha.

Saat ini Pramana sudah berada dihadapan Aratasha tanpa melakukan apa-apa. Ia hanya memandang gadis yang terkulai lemah dihadapannya sambil menyesali apa yang telah ia perbuat di masa lalu. Air matanya menetes dan jatuh tepat di lengan Aratasha. Ia sedikit mengelus kepala Aratasha.

Gerakan Pramana berhenti ketika melihat kelopak mata Aratasha bergerak. Nilam dan Gentala yang tak luput dari pergerakan mata Aratasha itu pun merasa bahagia. Tak lama kemudian, kelopak mata itu terbuka perlahan menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya.

Pramana melangkah mundur ketika Aratasha mulai sadar. Hingga akhirnya Aratasha benar-benar sadar dan ia sudah tak berada di ruangan itu. Ia tak mau mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.

"Mami, Genta,"

Gentala dan Nilam menangis haru bersamaan melihat Aratasha yang sudah benar-benar sadar.

*******

Jangan lupa vote and comment ☺️

ARATASHA (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang