Hari sudah larut malam. Sunyi, hanya terdengar detakan jam dinding yang menempel di kamar Gentala.
Laki-laki itu masih betah bersandar pada kepala ranjang sambil melipat kakinya. Ia sudah berjanji pada diri sendiri bahwa ia tidak akan tidur sebelum menghabiskan satu liter es teh dalam botol yang sengaja ia buat.
Agak aneh memang. Tapi daripada menghabiskan Vodka atau sejenisnya, lebih baik ia minum es teh saja. Lagipula lebih enak es teh. Di antara minuman keras dan es teh juga sama-sama akan membuat pusing kalau es teh diminum dengan porsi berlebihan sekaligus, apalagi kalau cuaca sedang dingin. Bukan hanya pusing, bahkan flu juga, dan efeknya bukan satu atau dua jam, bisa berhari-hari.
Tak setiap hari ia melakukannya. Ia hanya melakukan hal seperti saat ini saat pikirannya kacau. Seperti saat ini, saat ia tau adik tercintanya akan menikah. Ia tidak akan membiarkan itu terjadi bila ia adalah orang gila.
Pasalnya ia masih waras dengan tidak menggagalkan rencana keluarganya yang menjodohkan Aratasha dengan entah siapa itu.
"Arggghhh!!," Gentala mulai geram.
Pukul satu dini hari, mata Gentala masih seratus persen terbuka. Ia sama sekali tidak ngantuk. Ia tidak tau apa es tehnya berefek seperti kopi yang membuatnya betah berlama-lama tidak tidur atau karena memang fikirannya sedang semrawut.
Sampai pukul tiga dini hari dan Gentala melawan matanya yang tidak ingin tertutup sama sekali. Ia memejamkan matanya walaupun tidak ada rasa kantuk sama sekali. Ia hanya memejamkan matanya tapi pikirannya masih melayang kesana kemari.
Tok tok tok
Gentala menggeliat dari tidurnya setelah mendengar ketukan pintu. Ia melirik jam dinding. Ternyata baru jam enam. Ia baru bisa benar-benar terlelap pada pukul lima pagi.
Tok tok tok
Pintu kembali diketuk. Kali ini dengan tidak sabaran. Gentala menggeram. Siapa yang berani mengganggu tidurnya.
Ia beranjak dan membuka pintu yang sengaja ia kunci. Ia tidak mau ada seseorang yang tiba-tiba masuk kamarnya saat suasana hatinya tak karuan.
"Mas! Gini ya kamu sekarang. Mentang-mentang nggak ada Mama jadi sekarang kamu bangun tidur jam delapan? Nggak solat?," Cerca Ibunda Gentala.
"Ini baru jam enam, Ma," Protes Gentala.
"Jadi sekarang menurut kamu jam enam tuh baru dini hari?,"
"Ya enggak gitu, Ma,"
Kali ini Gentala benar-benar enggan meladeni ocehan Ibunya. Ia ingin memperpanjang masa tidurnya yang tidak nyenyak itu.
"Ya terus?," Riani mengikuti langkah Gentala menuju ranjang lagi. "Jangan tidur lagi, Mas!,"
"Ngantuk, Ma. Genta baru tidur jam lima pagi," rengek Gentala. Ia menarik selimut untuk menutupi badannya lagi.
"Emang Mama peduli? Salah siapa tidur jam lima?,"
Gentala tak menjawab. Ia memberengut dalam balutan selimut. Andai Riani tau kalau ia tak tidur itu semua karena Aratasha.
"Nggak mau tau! Setengah jam lagi Mama tunggu di meja makan! Tacha juga udah nunggu!. Kalau enggak, Mama sita mobil kamu!," Ancam Riani.
Mau tidak mau Gentala lagi-lagi harus menurut. Hal seperti inilah yang membuat Gentala ingin cepat wisuda, kerja, punya fasilitas sendiri, which is, nggak ada kata sita menyita. Nyatanya ia harus merendah hati dengan segera bangun dan segera mandi dengan asal. Lagipula ia tidak aja jadwal bimbingan hari ini.
Selang empat puluh lima menit ia sudah selesai dan segera bergabung di meja makan dengan wajah kusut.
"Telat lima belas menit!," Peringat Riani.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARATASHA (COMPLETED)
Romanzi rosa / ChickLitBerawal saat Ndoro Nyai Riani yang tak lain adalah Mama-nya sendiri yang menitipkannya kepada orang kepercayaan selama ia menyelesaikan skripsi di ibukota. Siapa sangka sosok kepercayaan itu adalah adik sepupu perempuannya yang telah lama menghilang...