15. Arumanis

5.9K 588 51
                                    

"Abisin," perintah Barra menyodorkan mangkuk kecil berisi potongan apel dan juga buah jeruk.

"Siap Bapak Dosen," arum menyengir, melahap semuanya.

Barra tersenyum samar, menyimpan pisau yang tadi ia pakai untuk memotong buah apel. Memperhatikan dengan intens bagaimana Arum jauh lebih terlihat segar dari sebelumnya, karena kedua pipi yang sudah kembali menampakkan warna merah alaminya.

Tadi kedua orang tua remaja tanggung ini menjelaskan pada mereka kalau Arum terkena Tifus gejala awal. Jadi tidak heran gadis ini sempat mimisan dan mengeluh kepalanya sakit.

"Jangan jajan sembarangan lagi,"

"Ga janji."

"Yang penting jangan sering. Ingat penyakit Tifus kamu."

"Iya, iya... Bapak ternyata bawel kaya Mama ih."

Barra menyentil bibir pucat itu pelan, "Demi kebaikan kamu juga."

Tidak jauh dari keberadaan Arum dan Barra ada si kembar yang duduk di sofa panjang dengan memainkan ponsel masing-masing.

Lebih baik memainkan ponsel, dari pada harus melihat interaksi Barra dengan Arum yang terkesan manis. Membuat jiwa ke jombloan Alain meronta-ronta.

Ceklekk...

"Abang, ini ada pawangmu dateng!"

"Qiana jangan teriak-teriak," tegur Al pelan. Ingat yah, ini rumah sakit bukan alam bebas. Qiana ini selalu saja berperan sebagai pencemaran udara dengan suara cemprengnya.

"Suka-suka Qia dong. Bawel amat jadi laki..." tandas Qia tajam. Merangkul pundak Nana mendekat ke ranjang pesakitan Arum.

Tanpa memperpanjang perdebatan, Alaric memilih duduk di sofa bersama kedua Putra kembarnya.

"Hi Arum... Tadi, aku disuruh Alano ke sini. Katanya kamu sakit, jadi aku bawain kamu bunga Mawar putih ini."

Arum menerima buket bunganya, matanya langsung menyorot Nana. "Kak Nana kenapa bawanya bunga? Arum kan bukan nyi roro kidul. Masa Arum disuruh makan bunga."

Nana menggaruk hidungnya pelan, memangnya definisi orang yang memberi bunga saat sakit dimata Arum bunganya harus wajib dimakan gitu?

Qiana merebut buket bunga dari tangan Arum. "Arum anak kesayangannya Bapak Alaric. Dikasih bunga bukan berarti harus dimakan, tapi ini bunga dipajang. Buat memperindah ruangan, biar mata kamu lebih seger."

Arum cemberut, merampas kembali buket bunganya dari tangan sang Ibu.

"Nana duduk dulu aja, makasih juga udah repot-repot ke sini."

Kepala gadis cantik berwajah Barbie itu mengangguk dengan senyum tipis, melangkahkan kakinya kemudian duduk tepat di samping Alano, pacarnya sendiri.

"Minum obatnya dulu."

Tanpa protes Arum menerima beberapa butir pil dengan bentuk dan warna yang berbeda, meminumnya langsung dengan air.

"Udah," arum memberikan gelas pada Ibunya kembali.
"Mah..."

"Apa?"

"Mau permen kaki, lidah Arum udah kangen sama yang manis-manis."

"Ga ada permen kaki!" tegas Qia berkacak pinggang.

Wajah Arum kembali tertekuk. "Mama mah gitu, jauh-jauh dari Arum. Arum alergi sama orang yang ga ngasih ijin makan permen kaki."

"Nih anak bener-bener minta di goreng dadakan," sebal Ibu tiga anak itu. Melengos begitu saja, kemudian ikut duduk di samping Alain.

ArumanisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang