Guntoro memakan nasi goreng dengan sisiran ayam dipadukan potongan timun itu dengan nikmat. Kepalanya menggeleng melihat bagaimana polosnya gadis kecil yang disukai putranya.
Tadi ia langsung menyuruh Arum naik ke lantai atas untuk ke kamar Barra. Entahlah apa yang sedang terjadi, ia tidak ingin mencampuri urusan keduanya lebih jauh lagi.
Biarkan keduanya menyikapinya dengan dewasa, dan mungkin ia akan bertukar kabar dengan Alaric, ayah Arum. Kalau sebentar lagi mereka akan besanan.
Sedangkan Arum mematung diambang pintu, matanya terpaku pada seorang pria yang sedang berdiri membelakanginya dengan tangan ditekuk kebelakang.
Persis seperti Ayahnya kalau sedang banyak pikiran.
"Bapak," cicitnya pelan. Berharap laki-laki yang berhasil menganggu pikirannya mau menyahutinya.
"Ngapain kamu ada di sini?" tanya Barra tanpa membalikkan badan.
Kaki Arum berani melangkah masuk, meletakkan nampan yang ia bawa ke atas meja. "Bapak makan belum?"
"Saya tidak lapar."
"Ih, padahal Arum udah masakin nasi goreng lho Pak."
"Kamu saja yang makan, saya... Kenyang."
Bola mata bulat Arum memicing. "Tapi... Paman bilang Bapak belum makan sejak dari sore."
Barra mengumpat dalam hati. Ayah nya itu memang benar-benar menyebalkan.
"Makan ya Pak, Arum ga mau Bapak sakit. Nih, Arum juga buatin susu coklat."
"Saya tidak mau Arum," desis Barra dengan suara rendahnya.
Arum berjalan mendekat, menusuk-nusuk lengan Dosen kedua Kakak kembarnya itu dengan jari-jemari lentiknya. "Bapak makan, nanti kalo sakit gimana?"
"Kalau saya sakit, memangnya kenapa?"
"Nanti Arum sedih tau, udah ih... Jangan ngambek terus, Arum kan jadi pengen nangis kalo di cuekin sama Bapak," tangis Arum pecah, tersedu-sedu.
Barra membalikkan badannya ke arah Arum. Menghela napas berat. "Jangan nangis," pintanya tulus, mengusap air mata yang berlomba turun dikedua pipi tirus itu dengan telapak tangannya.
"Hiks... Hiks... Arum ga tau, Arum mau terus nangis kalo Bapak masih cuekin Arum... Hiks... hiks..."
"Kalo kamu nangis, gantian saya yang ngerasa bersalah. Udah ya, saya janji bakal makan nasi goreng sama susu coklatnya sampe abis."
Arum masih tersedu-sedu. Kepalanya mengangguk cepat, menarik kedua sudut bibirnya hingga terbentuk senyum. "Janji ya di makan?"
"Janji," balas Barra melangkah ke sofa di sudut kamarnya. Mulai menyantap nasi goreng dengan raut wajah menikmati. Untuk ukuran anak SMP kemampuan memasak Arum sudah bisa dikatakan sempurna.
Arum ikut duduk di samping Barra. Menatap intens wajah pria itu.
Barra yang mengetahui tatapan Arum langsung salah tingkah, tapi langsung dia tutupi sebisa mungkin. "Kenapa kamu liatin saya sampe segitunya?"
Helaan napas keluar begitu berat dari Arum, wajahnya murung. "Eum... Bapak ga bakal pindah dari kota Bandung kan?" tanyanya harap-harap cemas.
"Tergantung, kalo kamu ngecewain saya lagi. Saya bakal langsung pergi," balas Barra mengkat bahunya sok acuh.
Manik mata Arum kembali berkaca-kaca, bibirnya bergetar ingin segera menangis lagi. "Jangan pergi ih."
"Tadi aja Arum nangis, waktu Bapak ga bales WA, SMS sama telpon Arum. Arum kira Bapak beneran langsung pergi," tambahnya.
Barra terkejut mendengar penuturan Arum. Ah, salahkan ia karena sudah membanting beda itu hingga hancur. ia jadi tidak tau kalau Arum sampai sekhawatir itu.
"Maaf, ponselnya saya banting."
"Yang itu kan?" tunjuk Arum pada dinding yang didekatnya berhamburan bagian ponsel yang sudah hancur lebur.
"Iya," jawab Barra pelan. Meminum susu coklatnya hingga habis.
Arum menggoyangkan lengan Barra bagai anak kecil. "Jangan diemin Arum lagi ya Pak, janji deh... Arum ga nakal lagi."
"Ga tau, saya ga yakin kalo nyatanya kamu masih berhubungan sama Sakya dan Ivan."
Bibir Arum maju ke depan, bagaimana bisa? Sakya itu Kakak kelasnya, sedangkan Ivan juga teman barunya yang terlihat nakal di luar tapi sangat rapuh jika sendiri.
Arum tidak ingin menjadi buaya perempuan, sepertinya yang sering Ibunya katakan. Ia hanya mau berteman dengan semua orang.
Tapi ternyata sikap ramah dan terbukanya membuat ketiga laki-laki itu menaruh harapan besar, ia juga tidak mungkin egois memilih ketiganya harus tetap berada disisinya.
Ia nyaman dengan Sakya yang pintar dan ramah. Ivan juga sangat asik, mengajarkan banyak hal-hal baru yang belum ia ketahui. Untuk Barra juga sangat berdampak besar pada ketenangan hatinya ia nyaman dengan pria itu.
*
"Rumah Bapak enak, Arum betah di sini." cetus Arum sembari mengerakkan kakinya yang menjuntai di dalam air.
Barra yang sedang berenang, tersenyum tipis. Mendekat ke arah Arum. "Kalo sama yang punya rumah nyaman ga?"
"Yang punya rumah Bapak atau Paman?" tanya Arum lugu.
Pertanyaan itu membuat Barra terbungkam. Ah, sepertinya ia salah melempar pertanyaan pada Arum.
"Bapak atau Paman?!" tanya Arum memaksa.
"Ayah saya."
Arum menyengir. "Ya udah, Arum ga nyaman. Orang Arum nyamannya sama anaknya ko."
Sudut bibir Barra terangkat, ia kembali menjauh untuk berenang. Perkataan Arum tadi sudah mampu membuatnya senang dan bersemangat.
Tidak sia-sia acara ngambeknya selama satu hari lebih sedikit. Sekarang ia mendapatkan perhatian dari Arum yang bahkan sampai rela datang langsung ke rumahnya, jangan lupakan Arum juga membuatkannya nasi goreng dengan satu gelas susu coklat.
"Kamu ga mau ikut berenang?"
"Ga ah, nanti Arum pake baju apa? Ini aja masih make seragam sekolah," jawab Arum menolak, lebih asik memperhatikan Barra yang berenang dari ujung kolam ke ujung yang lainnya.
Badan Barra itu sangat bagus, ia sampai betah berlama-lama memandangnya. Bagaimana perut kotak-kotak itu terlihat jelas karena Barra hanya menggunakan kolor hitam di atas lutut.
Kalau Ibunya tau, ia melihat pria dewasa asing berenang. Pasti ia sudah mendapat omelan dan juga jeweran maut milik Ibunya.
"Pak, kotak-kotak diperutnya ada berapa?"
Barra yang sedang berenang langsung berhenti, wajahnya terlihat terkejut. "Kenapa nanya gitu, hm?"
"Hehe... Pengen tau aja. Soalnya perut Abang sama Kakak ada 4 kotaknya. Tapi kalo perut Papa malah kaya orang hamil," jujurnya dengan pandangan lugu.
Barra tertawa kencang, astaga bagaimana bisa di matanya Arum terlihat sangat menggemaskan hanya karena berkata seperti tadi. "Coba hitung sendiri," barra keluar dari kolam renang.
Manik mata Arum langsung berbinar, masih dengan posisi duduk Arum hanya memutar badannya sedikit. "Woahhh... Ada 8!" antusiasnya bertepuk tangan kencang.
Lagi-lagi Barra tertawa, kembali berendam ke dalam kolam renang. "Perut saya keren ga, Rum?"
"Keren banget Pak," jawab Arum terkikik.
Barra mendekat ke tepian di mana gadis kecil itu duduk. Senyum jahilnya muncul. "Kamu suka?"
"Hehe... Pasti suka dong Pak."
"Mau pegang perut saya?"
"Emang boleh Pak?!" jawab Arum antusias.
Barra mengangguk mantap, "Boleh, tapi nanti kalo udah halal."
![](https://img.wattpad.com/cover/231632783-288-k511824.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Arumanis
Teen Fiction[Sebagian chapter di privat, follow untuk membacanya] [ Sequel dari ' Suami Kampret!' ] Ini tentang Arum, Putri Bungsu dari sepasang Suami Istri bernama Alaric dan Qiana. Arum yang cantik, polos dan naif membuat sebagian laki-laki terjerat pesona se...