Arum memasuki rumah dengan langkah seringan kapas, masih dengan memakan permen kakinya, entah sudah bungkus ke berapa yang ia habiskan selama di taman sampai ke rumah kembali.
Di sampingnya Ivan juga terlihat berjalan santai dengan tangan bertengger manis di bahu kecil Arum, seperti keinginan gadis itu sendiri.
"Gue bener ga papah nih mampir ke rumah lo?"
"Ga papah ko, Papa baik kalo Mama emang galak tapi sama tamu baik banget," jelas Arum menggebu-gebu. Sekaligus menyampaikan kekesalannya atas sikap sang Ibu yang kelewat menyebalkan.
Ivan mencubit pipi Arum. "Sama Mama sendiri ga boleh gitu."
"Curahan hati seorang anak nih."
"Dasar!"
Arum menghiraukan itu, manik matanya melihat Ayah dan Ibunya yang terlihat akur, terbukti keduanya sedang suap-suapan buah anggur dengan sesekali saling tertawa. Padahal tidak ada yang lucu, kadang bahagia sesederhana itu.
"Orang tua lo romantis ya."
Kepala Arum menoleh pada pemuda di sampingnya. "Kak Ivan ga tau aja gimana ributnya mereka, itu kebetulan lagi pada damai."
"Masa sih?"
"Bener deh, tapi Papa sama Mama itu kompak banget."
Ivan tersenyum, mengandeng pergelangan tangan Arum hingga remaja tanggung itu terkejut.
"Assalamualaikum..."
"Walaikumsalam..." jawab Qiana dan Alaric berbarengan, keduanya menengok ke asal suara. Lagi-lagi Qiana harus menahan dongkol pada Arum, sedangkan Alaric hanya mampu meringis, semoga saja perbuatan Arum tidak membuatnya ikut terkena dampratan Qiana.
Dengan sopan Ivan mencium punggung tangan Alaric juga Qiana, diikuti oleh Arum.
"Kakakmu mana?" tanya Qiana heran.
"Pacaran Mah, sama Sita. Ya udah karena ga mau jadi setan akhirnya Arum pulang aja sama Kak Ivan. Katanya Kak Ivan juga mau ketemu sama Papa, Mama."
Qiana mengelus dada sabar, ada saja alasan Arum.
"Ambilin minum sama cemilan sana," perintah Alaric mengintrupsi mulut bawel Qiana yang akan kembali mengeluarkan sederet kalimat lainnya.
"Iyaa." balas Ibu tiga anak itu dengan sebal, sengaja menginjak kaki Alaric sebelum beranjak dari sana. Siapa suruh menyuruhnya seperti pembantu.
"YaAmpun..." desis Al membungkukkan badannya, mengelus punggung kakinya yang terasa sedikit perih. Qiana itu benar-benar kurang hati nurani.
Tidak lama Qiana kembali datang, meletakkan empat gelas sirup dengan kue kering yang tadi sore ia buat. "Anak ganteng, dimakan ya," Qiana mengedip genit.
"Mama!" pekik Arum tidak terima.
"Jangan nakal!" lanjutnya masih dengan nada yang sama."Emang Mama peduli," jawab Qiana kembali duduk di samping Alaric.
"Masih sakit ga?" tanyanya pelan.Alaric menggeleng, menjewer telinga Qiana cukup kencang. "Jangan genit, saya ga suka!"
Qiana meringis, bibirnya cemberut ke depan. "Iya, iyaga lagi-lagi. Lepasin ih, sakit tau!"
Alaric menghela napas pelan, menatap pemuda yang ada di samping Arum. "Namamu siapa?"
"Ivan Om."
Kepala Al mengangguk-angguk mengerti. "Kamu apanya putri saya?"
"Temen Om," balas Ivan seadanya.
Lagi-lagi Al menganggukkan kepalanya paham. "Ivan..."
"Iya Om?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Arumanis
Fiksi Remaja[Sebagian chapter di privat, follow untuk membacanya] [ Sequel dari ' Suami Kampret!' ] Ini tentang Arum, Putri Bungsu dari sepasang Suami Istri bernama Alaric dan Qiana. Arum yang cantik, polos dan naif membuat sebagian laki-laki terjerat pesona se...