19. Arumanis

5K 537 41
                                    

Arum yang hendak menunggu jemputan Kakak kembarnya langsung mengurungkan niatnya saat Alano mengirim pesan, bahwa mereka berdua masih ada jam kuliah. Jadi tidak bisa menjemputnya pulang, untuk itu Alano menyuruhnya pulang sendiri naik taxi atau langsung ke kampus dan menunggu mereka selesai kuliah.

Untuk itu Arum langsung memilih ke kampus, kali ini ia tidak datang sendiri. Melainkan membawa ikut serta Sita. Lebih tepatnya memaksa Sita ikut.

Walaupun Sita jelas menolak ajakan itu dengan tegas, Arum tetap keras kepala. Buktinya kini kedua remaja unyil itu sedang berjalan di lorong kampus.

Banyak mahasiswa yang menggoda keduanya lantaran seragam putih-biru yang masih melekat ditubuh mungil mereka. Apa lagi dengan wajah imut dan tatapan lugunya, tambah membuat buaya darat kampus berlomba-lomba melempar rayuan maut masing-masing.

"Arum... Kamu ga malu apa digoda kaya gitu." protes Sita tidak nyaman.

"Ga tuh, biasa aja," balas Arum cuek, kembali mencekal pergelangan tangan Sita lalu menyeretnya paksa agar mengikutinya.

Sita hanya bisa menghela napas melihat ke keras kepalaan Arum. "Sebenernya kita di sini mau apa si Rum?"

"Ke ruangan Pak Barra."

"Pak Barra siapa?"

"Dosennya Abang sama Kakak."

"Kamu kenal? Lagian buat apa kita nemuin dia?"

"Arum mau minta permen kaki."

"Permen kaki?" beo Sita masih tidak mengerti.

"Udah deh, nanti juga Sita ngerti. Kalo dapet permen kaki satu pak, Arum janji bakal kasih satu biji buat Sita"

Maimun mengelus dada sabar, kalau masalah permen kaki Arum akan jadi manusia terpelit dimuka bumi.

"Nah, ini dia ruangannya!" antusias Arum, langsung memutar gagang pintu lalu membukanya lebar.

Barra yang ada didalam ruangan berniat menegur orang tersebut, tapi ia urungkan saat melihat Arum lah sang pelaku utama ketenangannya terganggu, wajah lelahnya langsung berseri-seri. "Kamu sudah sehat?"

"Udah dong Pak, buktinya Arum sekolah lagi," jawabnya cepat, duduk di depan kursi tepat di depan meja kerja Barra.

"Dia siapa?"

"Ini tuh sahabat Arum, namanya Sita. Orangnya pemalu, tapi kalo udah kenal deket jadi malu-maluin..."

"Arum..." protes Sita tidak terima.

"Hehehe... Becanda Sita."

Barra tertawa pelan, menatap sayang pada wajah gadis permen kaki. "Kamu ke sini mau kenapa?"

"Minta permen kaki dong Pak, kan bapak suka nyetok banyak tuh."

Mendengar itu membuat Barra mengumpat dalam hati, sungguh kali ini ia lupa mengisi stok permen kakinya. Ini gara-gara Arum yang sakit, jadi ia pikir gadis itu tidak akan datang ke sini lagi dalan waktu dekat.

"Tapi sayangnya saya sedang tidak ada stok sedikitpun," jawabnya mencoba tetap tenang.

Arum mewek, berdiri dari duduknya. "Yahh... Sia-sia dong Arum rela ke sini, tadi langsung pulang aja."

Barra ikut berdiri, membasahi bibirnya yang terasa kering. "Eum, maaf..."

Sita menghela napas melihat drama di depannya, menyobek satu kertas kosong dan mengambil satu pulpen. Tangannya bergerak di atas kertas itu.

Setelah selesai, Sita menyodorkan kertas itu kehadapan Barra dengan hati-hati. Jangan sampai Arum mengetahui apa yang ia perbuat.

Barra membaca tulisan dalam kertas itu, yang bertuliskan...

Anda punya pulpen warna merah tidak? Kalau punya berikan saja pada Arum agar dia tidak jadi ngambek, saya pastikan ini ampuh

Walaupun terlihat ragu, Barra tetap mencari pulpen bertinta merah di dalam laci mejanya. Ada lima pulpen yang masih utuh dan belum terpakai, Barra pun menyodorkan pulpen itu kehadapan Arum.

"Sebagai penyembuh kecewa kamu karena saya tidak sedang menyetok permen kaki, saya ada pulpen bertinta merah. Ambil saja, ini... Gratis."

Mata Arum menatap Sita curiga, namun lama kelamaan ia berasumsi kalau Sita tidak akan berani berbicara pada orang baru, jadi ini tidak mungkin rencana sahabatnya kan?

"Bapak tau aja Arum suka koleksi pulpen merah," jawabnya malu-malu, membuat kedua pipinya bersemu. Mengambil semua pulpen itu.

Dalam hati Barra berterima kasih pada sahabat gadis pujaan hatinya. Berkatnya, ia jadi tau, selain permen kaki, gula-gula.. Arum juga menyukai pulpen bertinta merah.

*

"Nah itu mobil Kakak!" tunjuk Arum pada mobil hitam yang berada diujung sana.

Entah bagaiman ceritanya, mereka berdua berdiam diri di ruangan ber-AC Dosen di kampus ini cukup lama. Bahkan Arum tidak sadar kalau Kakak kembarnya mengirim spam pesan yang menanyainya ada di mana.

Terakhir Alain mengirim pesan, menyuruhnya agar langsung ke parkiran kampus. Karena katanya mereka sudah menunggu di sana sejak tadi.

Arum membuka pintu belakang, di sana sudah ada Alano yang sedang membaca buku. Haiss... Rajin sekali.

"Cepet masuk. Kakak laper tau!" semprot Alain judes, pemuda itu kini duduk di belakang kemudi.

"Sita duduk di depan aja ya sama Kakak, Arum di belakang sama Abang."

"Iya," jawab Sita menurut.

Kini keempatnya sudah berada di dalam mobil, di depan sudah ada Alain dan juga Sita. Sedangkan di belakang Alano duduk berdampingan dengan Arum.

Diperjalanan Alain sesekali melirik ke arah Sita, ia baru tau kalau Arum mempunya teman seimut gadis yang kini ada di sampingnya.

Arum memang sering menyebut nama 'Sita' tapi tidak sekalipun Arum membawa Sita main ke rumah. Jadi wajar saja kalau ia belum pernah bertatap muka langsung.

"Nama lo Sita?"

"Iya," jawabnya dengan suara kecil.

"Lembut banget si suaranya, ga kaya Arum," goda Alain dengan senyum mautnya.

Arum mencubit kencang lengan Alain hingga mengadu kesakitan. "Kalo mau modus, jangan jelek-jelekin Arum juga dong."

"Tuh Sita mah jangan kasar kaya Arum ya, yang kalem aja. Gue jadi tambah suka," goda Alain tanpa tau kalau Arum siapa memberikan cubitan mautnya lagi.

"Balas dendamnya di rumah aja, Abang masih mau hidup," ceplos Alano mengurungkan niat Arum yang akan kembali mencubit Alain.

Remaja tanggung itu langsung melipat tangan di depan dada, ah... Menyebalkan sekali Alano ini. Kalau sekali bicara bikin hati orang kesal.

Di depan Alain langsung berterimakasih pada kembarannya, berkat Alano ia jadi bisa terus melempar rayuan pada Maimun tanpa harus takut di gampar oleh Arum seperti sebelum-belumnya.

"Sita ko diem aja..."

"Bingung, aku harus jawab apa," jawabnya seadanya.

Alain tertawa, tangannya terulur untuk bisa mengelus pipi tembam itu. Tapi belum juga niatnya terkabul tangannya sudah ditepis kasar.

"Jangan sentuh kulit Sita sama tangan kotor kakak! Buat muka Sita jerawatan!"

Sita tertawa pelan, tidak tahan dengan kelakuan ajaib dari Arum. Tapi ia juga terharu karena Arum mencoba melindunginya bahkan dari Alain, Kakaknya sendiri.

Alain langsung terpesona, rasa jengkel pada Arum langsung hilang ketika mendengar tawa lembut Sita.

Sekarang ia percaya kalau di bumi masih ada kaum hawa dengan suara lembut tanpa ngegas, seperti Ibu dan juga Arum.

Nampaknya Sita memang tipe idaman yang selama ini ia cari.

Dalam hati Alain bersorak karena sebentar lagi status jomblonya akan berakhir.

Arum tidak akan marah kan kalau diamenjalin hubungan dengan Sita yang termasuk sahabatnya sendiri?

ArumanisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang