Ano dan Ain keluar dari kamar, mereka sudah berpakaian rapih dengan tas yang tersampir di pundak masing-masing.
Kali ini mereka akan kembali membujuk Arum agar mau berbicara dan mengatakan apa yang membuat gadis berbadan pendek seperti sang mama itu sampai menangis histeris tadi malam.
Tok... Tok... Tok...
"Ade... Udah bangun belum?"
Tidak ada sautan dari dalam, membuat keduanya berinisiatif langsung membuka pintunya kamar adik perempuan mereka langsung.
"Kayaknya Arum udah keluar deh," celetuk Ain ketika mendapati kamar adik perempuannya sudah rapih dengan sang pemilik kamar yang tidak berada didalam.
"Kalo gitu kita keluar, kali saja Arum ada di dapur," ajak Ano. Karena dia hafal betul, ketika sang papa dan mama sedang dalam perjalanan bisnis, gadis kecil itu lah yang memasak untuk mereka santap sebagai sarapan.
Sesampainya di dapur mereka masih tidak menemukan gadis kecil itu, rasa bersalah dan tidak enak mulai menjalar ke hati mereka berdua.
"Coba gue cek ke ruang makan," ain langsung ngibrit ke tempat tujuan disusul Ano yang juga ikut mengekor di belakang.
Dua buah piring dengan dua gelas susu coklat dengan air putih langsung menjadi pemandangan mata keduanya ketika sampai di meja makan.
Keduanya langsung mengambil posisi duduk di hadapan masing-masing piring yang tersanding. Menatap satu piring nasi putih dengan lauk semur telur ayam campur tumis teri kacang.
"Ade kenapa si?" beo Ano pada dirinya sendiri. Seumur Arum baru pertama kali bersikap sedingin dan datar seperti sekarang.
"Bang ada kertas," ucap ain, kemudian mengambil kertas yang tertekuk di tengah-tengah meja dan mulai membuka serta membaca isinya.
"Selamat pagi, Arum berangkat sekolah duluan, abang sama kakak sarapannya dihabisin yah... Terus kalo mau berangkat ke kampus jangan lupa baca bismilah sama jangan ngebut bawa mobilnya," selesai membaca isi suartanya, Ain kembali melipat kertasnya dan menaruhnya kembali ke tempat semula.
Mendengar itu Ano tersenyum kecil, mulai memasukkan satu sendok nasi ke dalam mulutnya. Ternyata walaupun adik perempuan mereka sedang kesal, gadis kecil itu tetap perhatian kepada dirinya dan juga saudara kembarnya, Ain.
Benar-benar adik perempuan yang manis.
Sama halnya dengan Ain, pemuda itu juga memakan sarapannya dalam diam. Apa mungkin Arum marah karena kemarin dia sudah lancang menawarkan perempuan lain untuk masuk kedalam kamarnya?
Kalau memang dugaannya benar, dia sangat menyesal dan bersedih akan hal itu.
*
Pria paruh baya dengan rambut kepala yang sudah dihiasi uban berwarna putih itu masuk ke dalam kelas, ditangan sebelah kirinya dia menenteng buku peket berwarna hijau, dengan kaca mata yang bertengger di hidungnya.
Suasana kelas yang hening membuat satu Alis Kusno terangkat heran. Matanya langsung menatap wajah semua anak didiknya. "Tumben sekali tidak ada keributan yang menyambut saya?"
Hening. Tidak ada yang menjawab pertanyaan yang juga termasuk sindiran itu. Semuanya menatap gurunya dalam diam dengan tatapan tidak tau apa-apa.
"Dimana Arum?" tanya Kusno sekali lagi, meletakkan buku paket yang dia bawa ke atas meja guru khusu untuknya.
"Galau pak!" saut Nawang memecah keheningan yang terjadi.
Kepala Kusno menggeleng. "Masa ratu pembuat onar bisa galau."
Tawa mulai terdengar heboh, bahkan murid laki-laki yang memang menjadi teman baik dari Arum ikut memeriahkan ejekan itu.
Bukannya mereka membenarkan, hanya saja mungkin dengan cara memancing Arum dengan ejekan dapat membuat gadis itu mau mengeluarkan suara, kenapa tidak?
"Sudah, sudah..." tegur Kusno mendudukkan bokongnya pada kursi. Mulai membuka buku absensi murid-muridnya.
"Yang hadir angkat tangan, yang tidak hadir mulai besok bisa angkat bangku dan pindah dari kelas ini."Kembali lagi semuanya dibuat tertawa, sama halnya dengan Arum yang sedari tadi diam kini terlihat kedua sudut bibirnya terangkat ke atas dan malah ikut tertawa.
"Bapak Kuno mah ngelawak mulu!"
Kusno menggelengkan kepalanya prihatin, mengelus dadanya tabah menghadapi kegilaan salah satu murid didiknya. Entah sengaja atau tidak muridnya itu selalu saja salah ketika memanggil namanya.
"Nah gitu dong Rum ketawa, kita tuh pas tau lo bad mood bawanya canggung pas mau becanda. Iya gak guys?!" teriak Rangga heboh yang langsung disetujui oleh semuanya.
"Baik banget sih temen-teman Arum tuh, Arum jadi ngga mau lulus biar bisa sama kalian terus."
"Sama..." teriak semuanya kembali dengan heboh.
Kusno langsung melotot mendengar itu, pria paruh baya itu berdiri dari duduknya, berkacak pinggang menghadap murid legendaris milik sekolah Senja. "Arum, jangan hasut temen-temen kamu buat sesat yah!"
"Enak aja. Arum tuh bukannya buat sesat tapi malah buat kompak tau pak Kuno!"
"Dasar murid semprul," decak Kusno.
"Dari pada kamu nambah dosa, mending sini bantuan bapak nyatet di papan tulis."Seketika Arum langsung duduk tegak, dengan kedua lengan yang dilipat di atas meja. Menatap polos ke arah guru matematika nya itu. "Maap, maap nih pak, kalo suruh nulis di papan tulis mending Arum milih duduk anteng aja. Janji deh ngga buat rusuh."
"Ada yah murid kaya kamu," sebal kusno, "Angga kamu yang nulis kalo gitu."
"Lah... Ko jadi saya pak?!"
"Udah cepet! Kamu mau nilai matematika nya saya minus."
Kaki Angga menghentak tidak terima. Berjalan ke depan. "Perasaan dimana-mana yang nulis di papan tulis tuh cewek, terus kenapa jadi gue yang kena? Gue kan cowok seratus persen original."
*
Arum berjalan keluar gerbang sekolah dengan bibir yang bersenandung pelan. Raut wajahnya langsung berubah datar ketika melihat abang dan kakaknya berdiri di hadapannya dengan senyuman.
"Yu pulang," ajak si kembar berbarengan.
"Ngga!" mengibaskan rambut pendeknya kearah keduanya, kemudian melewati begitu saja abang dan kakaknya.
Ano langsung mencekal lengan atas adik perempuannya, mencengkeramnya lembut. "Kamu kenapa sih de?"
"Lepasin ah!" sentak Arum menepis kasar tangan abangnya.
"Jangan ngambek ngga jelas gini dong. Bilang sama Kakak, sama abang kalo kita tuh salah apa?" sambar Ain ikut mencekal pergelangan tangan adik perempuannya.
"Arum tuh ngga papah."
Rahang Ano mengeras. "BILANG KAMU KENAPA?!" bentaknya tidak sadar.
"Bang, lo... Ngga seharusnya bentak Arum," tegur Ain.
"Lo diem aja. Kita udah nanya baik-baik tapi masih aja ngga mau ngomong. Jadi mending kita pake cara kasar," cetus Ano tegas.
"Bang..." kesal Ain geregetan, kasihan juga ketika melihat mata Arum sudah berkaca-kaca.
Tapi kelihatannya amarah Ano sudah di ubun-ubun, terbukti dengan tatapannya yang semakin menajam. "CEPET NGOMONG?!"
Arum menghapus kasar air matanya yang mengenang di pelupuk mata. Mendorong kencang dada sang abang. "Nakal! Arum beneran bilang sama papa sama mama," teriaknya kencang langsung berjalan ke arah pintu belakang mobil dan masuk ke dalam.
"Lo keterlaluan tau bang," ain menatap saudara kembarnya kecewa.
"Lo ngga lupakan, kalau Arum tuh paling anti di bentak.""Gue kelepasan, tau sendiri emosi gue susah di kontrol," gumam Ano lirih.
"Mau gimana lagi, lo juga udah terlanjur bentak Arum. Mending sekarang kita pulang dan nyusun rencana buat minta maaf," ain menepuk pundak abangnya menyemangati.
![](https://img.wattpad.com/cover/231632783-288-k511824.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Arumanis
Novela Juvenil[Sebagian chapter di privat, follow untuk membacanya] [ Sequel dari ' Suami Kampret!' ] Ini tentang Arum, Putri Bungsu dari sepasang Suami Istri bernama Alaric dan Qiana. Arum yang cantik, polos dan naif membuat sebagian laki-laki terjerat pesona se...