12. Arumanis

6.2K 578 25
                                    

Arum meletakkan semuah barang belanjaannya di hadapan sang Ibu, tidak lupa ia juga memberikan uang kembalian serta sekantong rujak buah dengan sambal terpisah.

"Kakak sama Abang belum pulang Mah?"

"Udah dari tadi."

"Mereka di mana? Kamar ya?"

Kepala Qiana menggeleng. "Lagi di sidang Papamu tuh."

Mata Arum membesar, kalau Ayahnya sudah turun tangan pasti kenakalan kedua Kakak kembarnya sudah keterlaluan.

"Kenapa Mama ga belain Abang sama Kakak sih?!"

Qiana mendengus, dari kedua Putranya masuk ke rumah ia juga sudah mencoba mencegah Alaric agar tidak marah, tapi malah ia yang dibentak habis-habisan oleh demit satu itu.

Selama Alaric tidak menggunakan kekerasan pada si kembar, ia juga tidak mempermasalahkan kalau keduanya mendapat teguran. Karena yang salah harus tetap di beri peringatan agar tidak semakin menjadi-jadi.

Tapi kalau sampai Alaric menggunakan kekerasan dalam mendidik si kembar, ia sendiri yang akan turun tangan menghabisi laki-laki mantan play boy itu.

"Mama udah belain sampe titik darah penghabisan, tapi kamu tau sendiri kan gimana Papa kalo udah marah."

"Di hukumnya di mana?"

"Halaman belakang."

Kaki pendek Arum langsung melesat ke sana, benar saja Kakak kembarnya sedang dihukum push up dengan bertelanjang dada di pinggir kolam renang.

"Papa udah dong, jangan hukum Abang sama Kakak lagi," rengek Arum memelas, mengguncang pelan lengan sang Ayah.

"Jangan ikut campur Arum," tegas Alaric melepas pelan tangan sang Putri.

"Tapi Pah... Ini matahari lagi panas banget, kasian Abang sama Kakak."

"Masuk ke dalam Arum!" bentak Alaric tanpa sadar menaikkan volume suaranya, tanpa mengetahui kini bola mata Putrinya sudah berkaca-kaca dengan bibir bergetar.

"Huaaa... Jangan hukum Abang sama Kakak lagi, kasian. Hiks, hiks..."

Arum menangis tersedu-sedu. Tidak tega melihat kulit putih Kakak kembarnya memerah lantaran push up dibawah sinar mata hari yang sedang terik-teriknya.

Alric langsung luluh, tidak tega mendengar tangisan Arum. Laki-laki paruh baya itu mengisyaratkan lewat gerakan mata pada Putra kembarnya agar menyudahi semuanya.

Kaki panjang Al mendekat pada Arum yang kini jongkok dengan wajah ditutup oleh kedua telapak tangan. Memegang kedua bahu Putrinya lembut, membantunya berdiri.

"Maafin Papa udah bentak Arum tadi ya," alaric berkata lembut, menghapus luncuran air mata di pipi Arum yang sudah memerah.

"Jangan bentak Arum lagi, Arum ga suka tau!"

"Iya sayang... Maaf."

Kepala Arum mengangguk, mengangkat plastik hitam ditangan kanannya. "Tadi Arum beliin Papa rujak buah, nanti dimakan."

"Makasih Putri kecil Papa," alaric mengecup pucuk kepala Putrinya sayang, menerima kantong kresek hitam itu. Melingkarkan tangannya ke pinggang ramping Arum.

"Nanti malam Papa tunggu penjelasan kalian," tegas Al pada kedua Putranya. Kemudian melenggang pergi dengan Arum ke dalam rumah.

*

Dengan telaten Arum membantu mengobati luka di wajah Kaka kembarnya, ia masih belum tau alasan dibalik wajah babak belum mereka berdua, dan juga kenapa Ayahnya sampai semarah itu tadi.

ArumanisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang