Hampir seminggu Cantika berada di rumah sakit. Sekarang ia sudah kembali bersekolah, walaupun masih kesulitan untuk bergerak.
"Padahal lo di rumah aja dulu. Lo perlu banyak istirahat."
"Gue gapapa. Pinjem catatan dong."
"Kalo butuh apa-apa bilang aja. Jangan diem-diem kalem mendem."
"Iya, Feb," dirinya hanya mengiyakan perkataan Feby sambil mulai menyalin catatan yang belum sempat dicatatnya.
"Selama gue di rumah sakit ada ulangan harian gak?"
"Gaada sih. Tugas aja yang ada."
Cantika sudah memakai kacamatanya. Mungkin hari ini ia perlu menyelesaikan semua catatannya. Dan jika bisa, beberapa tugas juga harus selesai.
"List tugasnya dong, jadi enak ngerjainnya, gak bingung. Nanti gue minta bantuan lo kalo ada materi yang gak gue paham," sambil mulai menulis catatannya.
"Mau gue bantu?"
Mendadak tangannya berhenti menulis mendengar suara berat yang selalu ia dengar setiap hari. Perasaannya juga menjadi tidak enak.
"Makasih. Tapi gue sama Feby aja," jawabnya pelan.
Rendi yang berada didepannya hanya bisa menghela napas mendengar penolakan Cantika. Lalu ia bertatapan dengan Feby, seperti memberi kode.
Jika kata Feby kemarin Rendi harus berusaha, maka akan Rendi lakukan. Tapi usaha pertamanya sudah ditolak. Tidak apa-apa, namanya usaha tidak akan berhenti hanya karena sekali penolakan kan?
Akhirnya laki-laki itu kembali ke tempat duduknya yang disambut tatapan kasihan dari ketiga sohibnya, Rama, Raihan, dan Juna.
"Sabar bro, jangan nyerah gitu aja. Lo pasti bisa." Rama memberi semangat.
"Walaupun gue saingan lo, tapi tetep aja gitu ngerasa kasian."
"Gue jadi ngerasa salah udah lakuin ini. Denger suara gue aja Ika udah kaget. Natap gue pun enggak. Harusnya gue sadar diri kalo gue itu berbahaya buat dia."
"Mendadak insecure buat deketin doi."
Ucapan Juna mengundang tatapan sinis dari Rama dan Raihan. Bukannya memberi semangat, tapi malah menjatuhkan semangat. Juna memang.
"Ini bukan salah lo. Yang salah itu cewe yang ngaku-ngaku jadi pacar lo."
Memilih untuk tidak ambil pusing, Rendi merebahkan kepalanya di atas meja. Dari pagi saja pikirannya sudah kacau begini. Entah bagaimana ia menghadapi setiap pelajaran agar bisa tetap fokus sampai sore.
🍁🍁🍁
"Dora 4d, mau kemana nih?"
Padahal bukan namanya yang dipanggil, tapi ia tetap refleks menoleh. Dora identik dengan rambut pendek dan poni. Dan rambutnya sama persis. Cantika merasa ternotice.
"Mau ke sungai Han, kata peta perjalanan selanjutnya kesana." jawabnya asal.
"Wahh, Boots harus membantu. Jangan sampai Swiper mencuri."
"Kita harus berjaga-jaga agar Swiper gagal mencuri."
"Siap bos!" Nathan berlagak waspada, tapi justru malah menjadi aneh di mata orang-orang termasuk Cantika.
Walaupun begitu, Nathan tetap tampan. Kegantengan yang bertamah berkali-kali lipat saat melawak.
"Lo yang betingkah gue yang malu," Cantika tertawa.
"Gapapa, biar orang-orang gak serius-serius amat mukanya gegara pelajaran. Menghibur orang dapat pahala."
"Makasih loh udah menghibur."
"Masama, Dora."
Setelahnya mereka tertawa melihat tingkah laku masing-masing. Aneh memang, tapi itu bisa membuat Cantika senang. Walaupun tidak bisa tertawa bebas karena bekas lukanya masih belum sembuh.
"Ke sungai Han jalan kaki?" tanya Nathan dengan wajah polosnya. Sepertinya percaya dengan ucapan Cantika yang mengatakan akan pergi ke sungai Han.
"Ya enggak lah. Becanda gue mah," lagi-lagi Cantika tertawa.
"Eh? Gue udah mikir buat ikut lo, bawa barang apa aja, naik apa."
"Ululuuu, polos banget si Nana iniii," saking gemasnya, gadis itu sampai mengusap puncak kepala Nathan.
"Terus mau kemana?"
"Mau ke perpus."
"Ikut dooongg!"
"Daritadi lo ngikutin gue btw."
"Masa si?"
Entah memang tidak sadar atau pura-pura tidak sadar, padahal sejak awal Nathan terus berjalan beriringan dengan Cantika.
"Di perpus mau ngapain?"
Pertanyaan yang bagus wahai Nathan.
"Konser."
"Bohongin aku lagi nih? Pundung aku pundung," ia bertingkah layaknya anak kecil yang tidak diberikan balon.
Dalam hati Cantika menjerit,
MENGAPA NATHAN MENJADI SANGAT IMUT?!
"Mau belajar materi yang ketinggalan."
"Jangan berlebihan, dicicil dulu."
"Kenapa emang?" tanyanya.
"Sebenarnya telat sih kalo gue nanyain ini, tapi gapapa lah ya. Gimana keadaan lo?"
"Ha? Naon?" Mendadak Cantika jadi telmi.
Nathan memutar bola matanya malas, "gimana keadaan lo sekarang? Lukanya belum sembuh?"
"Masih sakit dikit. Makanya jangan sering buat gue ketawa, nahan sakit nih."
"Y–ya maap. Kan gatau."
Mereka berdua terus mengobrol sampai menuju perpustakaan. Ada saja obrolan kecil yang terkadang membuat mereka berdua tertawa. Walaupun sang gadis tidak bisa tertawa lepas.
Di tengah canda tawa dua orang tersebut, justru ada seseorang yang mendapat luka sangat dalam. Menyayat perlahan namun pasti.
Harusnya ia senang melihat gadis itu tertawa, bahagia bisa melihat senyumnya kembali. Raut bahagia yang dirindukannya selama berhari-hari.
Walaupun semuanya terjadi bukan karena dirinya, tapi karena orang lain. Dan hal itu yang membuatnya sakit.
"Wah, gue jadi galau gini," ia tertawa miris. Melihat dirinya sendiri yang begitu menyedihkan.
Tidak adakah ruang baginya? Apa sudah terisi oleh laki-laki yang bersamanya sekarang? Habiskah kesempatan untuk dirinya?
"Sakit, njir."
🍁🍁🍁
Bagian ini pendek ya ges:v
KAMU SEDANG MEMBACA
Cantika Story | Eunha x Eunwoo ✔
Teen FictionDON'T COPY MY STORY! "Jaket lo mana?" "Ada di tenda." "Kenapa gak pake?" "Lupa," Cantika hanya nyengir kuda yang membuat Rendi memutar bola matanya malas. Rendi langsung melepas jaket yang ia pakai. Kemudian ia berika kepada Cantika, "pake." "Loh? G...