Paper 33// Hujan waktu itu

270 42 8
                                    

::
::

Usianya hampir enam tahun saat itu. Saat dimana ia untuk pertama kalinya mendengar suara teriakan dan seruan yang membuatnya ketakutan. Tidurnya terganggu karena suara yang tidak biasa. Menjadikan rasa ingin tahu itu menguasai tubuhnya untuk bergerak dari tempat tidur dan melihat ada apa gerangan.

Di bawah sana. Ya. Di lantai satu.. appa dan eommanya bertengkar. Ia hanya bisa menangis.. awalnya pelan tapi lama-lama ia sangat takut. Ia tidak suka suara keras apalagi di tengah gemuruh hujan yang turun deras. Barang-barang beserakan setelah dilempar sang appa sementara sang eomma meringkuk di sofa.

“Appa~ Eomma~ hiks… hiks…”
Begitulah kemudian kedua orang tua itu terkejut mendapati anak kesayangan mereka mengetahui pertengkaran mereka. Sepertinya bukan pertama kali terjadi, mungkin sudah beberapa kali dan beberapa lama. Tapi kali ini mereka gagal menghindari tatapan anaknya.

“Adeul? Kau terbangun? Mianhae..” ucap sang eomma dengan seluruh tenaganya berlari ke arah sang putera. Kemudian meraih anaknya dan mengukupnya dalam dekapan.

Hiks..
“jangan berteriak..” katanya di tengah isak tangis itu.

“lihat, dia tidak seharusnya melihat pertengkaran kita.. bukankah kita bisa menyelesaikan dengan baik?” sosok yang dipanggilnya, appa, itu mencoba menengahi situasi mereka hanya saja suara bernada tinggi itu menggambarkan emosi yang menggemuruh.

“Tidak..” dengan mendekap anaknya, perempuan itu bersikukuh “aku sudah berulang kali membicarakan masalah itu dengan cara yang baik, tapi kau sendiri yang tidak mau oppa.. sampai kapan aku harus bersabar dengan sikap yang seperti itu?” ia menolak.

“Kubilang mereka hanya rekan kerja.. apa salah?” ia masih tidak mau mengalah.

“entah dimana letak kesalahannya. Yang jelas.. aku  tidak ingin bersabar lagi. Aku menunggu kejelasan tapi yang kudapat hanya ketidakpastian.. aku tahu pernikahan kita sebatas bisnis tapi tidakkah keberadaan anak kita bahkan mengubah sedikit saja pemikiranmu? Bukankah dia tanda cinta kita yang tumbuh bersamanya?”

“aku tidak bermaksud seperti itu. Dan aku benar-benar mencintaimu Hana..”

“Euhm.. aku tahu itu. Tapi bicara saja tidak cukup.. karena nyatanya aku tetap tidak ada artinya bagimu.. kau tidak pernah mengakui status kita di depan mereka..”

“aku melindungimu dan anak kita.. aku tidak mau kalian terluka. Akan ada waktunya nanti dan semuanya sudah ku tata.. percayalah..”

“Maaf.. sepertinya aku mulai kehilangan kesabaran..” begitu ia selesai dengan kalimatnya, ia membawa serta anak mereka kembali ke kamar dan menenangkannya…

::
::

Namun ketenangan itu hanya sejenak saja. Nyatanya, yang ia tahu setelah semua itu, ia di seret sang eomma yang membawa satu koper besar sementara ia hanya bisa mendekap buku gambar miliknya. Hujan masih begitu deras turun, udara sangat dingin.. juga sesekali kilat menghantar cahaya mengerikan.

::
::

SLAP!!
Donghae membuka matanya. Dadanya naik turun bergemuruh. Nafasnya tak karuan. Bahkan kini kepalanya mendadak sakit.

“HASSHHH!! Sial!” umpatnya “kenapa harus mimpi itu? Menyebalkan!!” akhirnya ia memutuskan bangun sekalian walau jam masih menunjukkan tengah malam.
Donghae dengan sedikit perjuangan berjalan ke arah dapur dan meneguk habis segelas air mineral yang diambilnya dari lemari pendingin.

“ada apa?”

“OHHH!! YAK! HYUNG KAU MENGAGETKANKU..” teriaknya sambil berjingkat. Suara yang menyapanya sebenarnya lirih tapi karena pikirannya yang sedang kacau hingga ia terkejut walau hanya sapaan lembut.

ANOTHER LIFE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang