—
Aku menghela napasku saat menyadari waktuku tak lagi lama. Kakiku berjalan menyusuri halaman yang sering aku datangi satu bulan ini. Gigiku menggigit bibir bawah dengan perasaan cemas. Jalanan di depan tampak seperti lorong yang tak berujung. Kepalaku ribut sendiri menerka-nerka apa yang akan terjadi beberapa saat lagi.
Tanganku mendorong sebuah pintu ke dalam. Mataku menatap ke depan dengan ragu-ragu. Seorang laki-laki yang ingin aku temui akhirnya terlihat juga di depan mataku sendiri.
Haikal, kekasihku yang tengah sibuk dengan pekerjaannya tak kala langsung berhenti sebentar dan menyambutku dengan senyuman manis seperti biasanya. "Halo, sayang,"
"Hai," balasku. suaraku terdengar aneh. "Aku perlu bicara,"
"Silahkan," katanya. "Tapi, aku sambil kerja ya?"
Aku mengangguk menyetujui. Tanganku meremas ujung pakaianku sampai kusut. Perasaanku tak jauh berbeda dari apa yang terjadi beberapa tahun yang lalu saat aku sendiri mendengar kepusan Haikal untuk menyudahi semua yang telah kita bangun bersama.
Air liur ku telan sendiri ke dalam kerongkongan. Aku melirik takut-takut ke arah Haikal yang sedari tadi tidak melihatku sama sekali.
Suaraku seperti tercekat sendiri. Aku berusaha mati-matian sampai akhirnya apa yang ingin ku sampaikan benar-benar terucap. Perasaanku semakin kacau.
"Sebentar," Haikal memotongnya dengan tegas. Suara beratnya membuatku semakin menciut ditambah tatapannya sekarang jelas mengarah padaku dengan tajam. "Maksud kamu? Kita gak jadi pergi gara-gara kamu ada jadwal mendadak di Paris?"
Aku menggeleng kuat-kuat, kakiku melangkah mendekat beberapa cm untuk sekadar memperpendek jarak antara aku sendiri dengan dia yang tampak jauh di depanku. "Kita undur dulu, Kal."
Haikal terlihat sangat kesal. Dia tiba-tiba saja berjalan pergi ke arah sofa setelah melempar beberapa berkas yang tadi dia pegang ke atas permukaan meja kerjanya di hadapanku. Dengan sekali gerakan dia berhasil melempar tubuhnya sendiri di atas sofa yang seminggu lalu kami beli berdua di toko perabotan.
"Terserah kamu, Ra," dia menghela napasnya kasar dan melirik tajam ke arahku. "Kamu pulang aja, besok mau pergi ke Paris, kan?"
Selepas mengusirku, dia memandang ke arah lain tak berani melihatku. Aku sendiri tidak bisa lagi bertahan lebih lama di sana. Ku putuskan untuk mengiyakan perkataannya. Kakiku pergi melangkah pergi dari sana.
Perasaanku kacau sendiri. Bingung harus berbuat apa.
///
next chapter:
trauma atas kepergian
KAMU SEDANG MEMBACA
D A L A M P E L U K
Historia Corta[✔️ ] Aku pernah dikecewakan. Melepasmu pergi. Membiarkan kesempatan memilikimu selamanya hilang. Sebab, kamu berhak memilih. Aku tidak bahagia dengan keputusan itu. Maka dari itu, aku berlari pergi. Lalu kemudian, kamu datang di saat seseorang jug...