29. menyatakan perasaan

222 18 0
                                    

—

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu baik-baik di sini sampai besok, ya." Fareza mengecup bagian atas wajahku. Aku bisa merasakan bibirnya yang kenyal membasahi permukaan keningku semenit sebelum ia benar-benar menghilang dari pandanganku.

Tubuhku berbalik menghadap pintu. Seharian ini aku menghabiskan waktuku bersama calon suamiku di luar hotel. Kami berdua memutuskan untuk berbincang banyak hal, mulai dari rumah yang akan kita tinggali, tempat liburan, sampai kenyataan bahwa Fareza akan melepaskan gelar modellingnya setelah menikah denganku.

Aku tak bisa berkata banyak. Katanya, itu sudah menjadi keputusan sejak awal sebelum dia melamarku. Dan, itu sama sekali tidak menggangguku. Makanya aku setuju-setuju saja dengan gagasan kalau kami berdua harus pindah setelah menikah. Dia menambahkan penjelasannya, mengatakan kalau ia akan memulai sesuatu di sana.

"Aku merindukanmu."

Tubuhku berdiri kaku. Hidungku mencium bau tidak menyesakkan dari seseorang yang aku kenal betul siapa namanya.

"Bisakah kau mengingat semua kenangan manis kita dan kembali bersama lagi?"

Kali ini dia menelungkupkan wajahnya di bahuku. Kubiarkan dia seenaknya sendiri sambil bersusah payah menahan isakan tangisku agar tak terdengar. Mataku sudah basah, air di kelopak sudah meluncur deras ke bawah.

"Bukankah seharusnya kamu sekarang menjawab pertanyaanku dengan persetujuan?" dia merengek seperti anak kecil, aku tahu dia sedang tidak berada di sini.

"Azzahra," ucapnya lembut, "Aku bersumpah, aku benar-benar merindukan senyumanmu yang untukku."

"Bisakah kau memberikannya padaku? Kita bisa pergi dari sini bersama."

Rancuannya semakin menjadi-jadi. Tubuhku tak bisa bergerak, bahkan suaranya sekarang tak lagi terdengar jelas di telingaku. Aku ingin kabur.

"Kalau kau mau, besok kita bisa pergi."

Tentu saja tidak bisa, jawabku dalam hati. Aku sendiri bingung harus berkata bagaimana sekarang ini. Rekaman kegiatanku bersama Fareza seharian ini berputar di dalam kepalaku seperti kaset rusak. Aku benar-benar tak bisa meninggalkan Fareza yang sudah mencintaiku mati-matian.

"Ini salah. Kamu egois, aku tau itu. Maaf aku gak bisa. Selamat malam, dan selamat tinggal Haikal."

Begitu ujarku sebelum benar-benar melepaskan tautan tangannya dari tubuhku. Kira-kira ... apa pernyataan perasaan ini, bisa membuatku bahagia?

///

bagian selanjutnya dalam cerita:
kado terakhir

D A L A M  P E L U KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang