bagian 4

30.6K 982 25
                                    

Rentetan kalimat bermakna keluhan masih saja didengar, setidaknya dalam setengah jam terakhir. Ruangan bernuansa maskulin ini seakan tidak memberi pengaruh untuk wanita yang sedari tadi bahkan enggan menyentuh cangkir teh didepannya. Kecuali, jika kalimat persetujuan itu ia dengar.

Gengsi? Tidak juga, hanya saja dia tidak bisa menelan minuman manis itu jika tenggorokan nya gatal karna kalimat omelannya tidak terucap semua.

"Ma, berhentilah. Aku akan menjadi anak baik. Oke. I'm fine, always fine". Rayuan dan bujukan terselip bantahan itu kembali seorang pria ucapkan namun balasan berupa gelengan tegas itu membuatnya menghela nafas berat.

"Pindah, atau Mama akan lamarkan kamu dengan anak teman mama, minggu ini juga!"

Kalimat itu yang Aliand hindari sejak tadi. Meskipun ia bertanya tanya kapan kata lamaran itu akan terlontar.

Demi apapun. Aliand, si pemimpin perusahaan ayahnya ini. Menjauhi namanya terikat dengan perempuan. Untuk saat ini, fokusnya adalah membangun bisnisnya agar bisa memiliki anak cabang sampai ke luar negeri. Bidang apapun, yang jelas ia masih sangat bergairah untuk menjadi pengusaha sukses.

Pasangan? sampai menikah?

Ya Tuhan. Tolong dia agar sementara ini dijauhkan dulu dari yang namanya keribetan yang berasal dari perempuan. Kecuali Mamanya. Oke itu bisa dipikirkan nanti.

"Ma, Ali sebentar lagi harus berangkat meeting. Kita ketemu dirumah oke, Ali janji bakal mampir setelah meeting selesai."

Alina, mamanya Ali bersikeras meminta anaknya pindah dari apartemen ke rumah yang sudah dibelinya beberapa waktu lalu. Tidak ada maksud lain hanya saja ia tidak ingin ketika datang keapartemen Ali, merasakan hawa pengap seperti ruangan yang tidak pernah dihuni. Karna setelah Ali pulang dari kantor ia biasanya hanya mandi dan langsung tidur, sarapan dan makan malam pun selalu diluar. Dengan alasan itulah Alina memaksa Ali tinggal di sebuah rumah yang sudah terisi lengkap dengan asisten rumah tangga yang sudah ia pekerjakan.

''Ma, apartemen itu pas buat seorang pekerja seperti Ali, cukup buat istirahat aja. Ali lebih banyak menghabiskan waktu dikantor, Mama pasti paham.'' untuk kesekian kali Ali berusaha berunding dengan mamanya.

''Tidak ada lagi penolakan, keputusan Mama sudah final pilih tinggal dirumah yang Mama pilih atau..'' jeda Alina menatap Ali sangat serius.

Ali menunggu dengan was was, firasatnya mengatakan jika kelanjutan ucapan Mamanya ini bisa membuatnya diam menurut, ''menikah dengan wanita yang mama pilih." sudah Ali duga, tapi yang tak ia duga adalah Mamanya menjodohkan Ali. Jaman apa ini? batinnya mengeluh. Tak ada pilihan, ucapan Alina adalah perintah telak baginya yang dengan terpaksa harus menurut .

''Lagipula apa susahnya sih, hanya tinggal menempati saja tanpa perlu repot menata ini itu semua sudah Mama atur. Kamu hanya perlu membawa barang barang pribadi untuk diletakkan disana, bereskan?'' ujar Alina lagi tanpa peduli Ali yang memutar otak untuk mencari seribu satu alasan. Belum Ali berucap Alina sudah berdiri dari sofa yang ia duduki dan pergi meninggalkan Ali diruang kerjanya.

Dan disini lah Ali berada, didepan sebuah rumah bertingkat dengan desain minimalis namun terlihat berkelas. Tentu Mamanya tidak akan memilih asal untuk sebuah tempat tinggal tanpa memeriksanya hingga kedetail. Dibantu supir dan pelayan yang bekerja dirumah ini, Ali memindahkan beberapa kardus berisi barang pribadinya dari dalam bagasi mobil ke dalam rumah. Tak perlu waktu lama untuk menata barangnya yang tidak terlalu banyak, pakaian Ali sudah beberapa hari sebelumnya dipindahkan Alina lebih dulu.

Mumpung hari minggu dan ia tidak bekerja lembur, Ali memilih berkeliling rumah untuk melihat semua tata ruang yang ada dirumahnya. Meski ia terpaksa berada dirumah ini tapi ia tetap memuji kehebatan Mamanya dalam menyiapkan semua isi rumah sesuai yang Ali inginkan.

MGID 1(EDITING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang