Hubungan Citra dengan Ayden terus berlanjut. Ayden sering menyempatkan dirinya untuk mengunjungi Citra saat hari pernikahan mereka semakin dekat. Ayden menemani Citra mendatangi keluarganya, tentu kedatangan mereka disambut dengan antusias oleh Tiffany beserta ketiga anaknya. Tiffany sangat terkejut dan turut bahagia, karena keponakannya sebentar lagi akan menikah. Bersama mereka, Citra selalu menunjukkan senyumnya. Namun bukan bearti dia sama sekali tidak merasa getir dengan keadaan yang membelenggunya. Kalau bisa, dia ingin lari dari semua ini. Tapi semuanya sudah terlanjur basah. Nasi sudah menjadi bubur. Yang harus dia lakukan sekarang hanyalah, belajar mencintai Ayden, dan melupakan masa lalu kelamnya bersama pria yang pernah membuatnya bahagia dan merenggut kehormatannya.
Maka keesokan harinya Ayden dan Citra pergi makan siang bersama di rumah makan. Citra mengenakan pakaian santai di padukan dengan celana jins panjang berwarna hitam. Diselingi dengan senda gurau serta cerita pengalaman yang pernah mereka alami membuat acara makan siang bersama itu begitu menyenangkan. Pramusaji di restoran tersebut mulai menghidangkan pesanan Citra dan Ayden di atas meja makan. Aroma ikan bakar yang dipesan oleh Ayden menusuk penciuman Citra dengan begitu kuat. Sampai-sampai dia merasa mual dibuatnya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Ayden ketika melihat gelagat Citra yang seperti kurang enak badan.
"Tidak. Aku tidak apa-apa. Hanya sedikit mual. Mungkin masuk angin."
Citra tersenyum kecil. Berusaha menampilkan raut wajah baik-baik saja untuk menenangkan Ayden yang masih tampak khawatir. Namun dibalik itu semua, ada sekelumit rasa khawatir yang menyergap hati Citra. Sudah hampir beberapa hari ini dia mengalami hal seperti ini. Badannya mulai cepat lelah, ditambah dengan mual-mual setiap paginya, dan ketika mencium aroma-aroma amis, dia seperti ingin muntah. Dari gejala-gejala yang di alaminya mau tak mau membuat Citra berpikir ke arah yang paling di takutinya.
"Benar kau tidak apa-apa?" Ayden masih mengkhawatirkan keadaan Citra. "Wajahmu terlihat pucat."
Citra masih berusaha menahan mualnya. "Aku tidak apa-apa. Hoeekk.." Citra segera menutup mulutnya.
"Astaga, Olivia! Apa yang terjadi padamu?" Ayden beringsut ke arah Citra, dia membantu memijat-mijat tengkuk Citra.
"Apa ini karena aroma dari ikan bakar yang kupesan?" tanya Ayden. "Kalau iya, aku akan menyingkirkannya dari meja."
Citra meraih gelas yang berisi air putih di atas meja dan meminumnya pelan-pelan. "Tuan Ayden, itu tidak perlu. Aku baik-baik saja. Makanlah ikan itu, sayang sekali jika ikan selezat itu tidak dimakan."
"Kau tenang saja. Aku akan meminta pramusaji untuk membungkusnya agar aku bisa membawanya pulang."
***
"Tuan, aku sungguh merasa tak enak padamu."
"Karena apa? Perihal ikan tadi? Ah sudahlah. Itu bukan masalah, Olivia."
"Baiklah, terima kasih."
Di perjalanan pulang, Ayden berniat untuk mengantar Citra ke klinik terdekat. Namun lagi-lagi Citra menolak. Dia berusaha menepis segala kemungkinan buruk karena sebentar lagi mereka akan menikah. Dan hari pernikahan mereka pun tiba, banyak para tamu undangan yang hadir termasuk rekan bisnis Ayden. Juga Tiffany bersama ketiga anaknya yang menjadi saksi. Semua orang tampak bahagia dengan senyuman yang tak luput dari wajah mereka. Kemudian seseorang berjalan menuju ke arah sang mempelai sebelum upacara pernikahan berlangsung. Eric menatap manik mata Citra dalam yang seakan tatapan matanya mengutarakan segala isi hatinya yang tak sempat ia sampaikan.
"Akhirnya kamu akan segera menikah Citra. Selamat ya, semoga kamu bahagia."
Citra terdiam, menatap manik mata Eric yang mulai berkaca-kaca. Lalu berbagai kenangan satu persatu muncul dalam ingatannya ketika mereka masih bersama.
"Terima kasih, tuan." akhirnya hanya kata itu yang lolos dari bibir Citra. Sungguh, dia sekuat mungkin menahan airmatanya agar tidak menetes didepan Eric. Ada gejolak didalam hatinya yang sampai saat ini belum dapat ia artikan. Dia belum pernah merasakan perasaan ini sebelumnya.
"Tuan, kenapa kau datang sendirian? Dimana calon istrimu?" tanya Citra dengan seulas senyumnya, namun sejujurnya hatinya sakit. Bagaimana tidak? Lelaki dihadapannya ini yang telah merenggut semua darinya namun justru akan menikah dengan wanita lain.
"Aku sengaja tidak mengajaknya." jawab Eric singkat. Jujur, dia masih kesal dengan sikap calon istrinya beberapa hari lalu yang telah lancang.
Flashback on
"Aku bisa melihat kesedihan di matamu Eric." kata Nadia sambil mengelus paha Eric. "Aku akan membantumu melupakannya. Toh, kita akan menjadi suami istri kan."
Eric tersentak merasakan tangan Nadia yang mengusap pahanya. Segera dia menepis tangan Nadia yang merayap karena hampir menyentuh inti miliknya.
"Apa yang kau lakukan Nadia? Jaga sikapmu!" bentak Eric
"Aisshh. Memang kenapa? Bukankah sebentar lagi kita akan menikah?"
"Tapi bukan bearti kita harus melakukan itu. Apalagi kita baru saling mengenal."
Nadia memutar matanya malas. Dia baru menyadari bahwa menghadapi Eric benar-benar sulit dan butuh kesabaran sampai dia berhasil membuatnya bertekuk lutut. Eric pun kembali mengemudikan mobilnya menuju ke restoran untuk makan siang. Tak banyak percakapan diantara mereka, selesai makan siang pun Eric bergegas pergi meninggalkan Nadia yang katanya ada urusan.
Flashback off
Sejak tadi mata mereka tak lepas memandang satu sama lain. Meskipun tidak banyak kata yang terucap, namun hanya dari tatapan mata saja sudah mampu mengungkapkan semuanya.
"Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu, Citra. Hanya itu yang bisa ku lakukan." Eric perlahan memutar langkahnya memunggungi Citra, dan berjalan pelan ke arah para tamu dengan airmata yang jatuh dari sudut matanya.
Beberapa menit kemudian, upacara pernikahan di langsungkan. Citra mengapit lengan Tiffany kuat-kuat seraya menyalurkan perasaan gugupnya. Kedua gadis yang merupakan saudara dari pihak Ayden menyebarkan bunga-bunga disepanjang jalan yang Citra tapaki menuju altar, hanya tinggal beberapa langkah lagi dia akan sampai ditempat Ayden berdiri. Setelah sampai tepat dihadapan Ayden, Tiffany mulai memberikan tangan Citra ke hadapan tangan Ayden yang sudah membuka telapak tangannya dengan bebas untuk Citra.
"Baiklah, sebelum kita memulai acara sakral ini! Disini, didalam rumah Tuhan Yang Agung apakah ada yang keberatan dengan jalannya penyatuan sepasang anak manusia ini?"
Pendeta mulai mengeluarkan suaranya, hening. Tak ada tanggapan atas pertanyaan yang beliau lontarkan yang menandakan bahwa tak ada yang keberatan atas pernikahan mereka.
"Baik, kita mulai prosesinya."
"Apakah kau Ayden Robinson, bersedia menjadikan Citra Olivia sebagai istri dan pasangan hidupmu, menerima segala kelebihan dan kekurangannya, menemaninya dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit sampai ajal memisahkan?"
"Ya, saya bersedia." tanpa ragu Ayden menjawab pertanyaan yang diikrarkan oleh sang pendeta
"Dan Citra Olivia, bersediakah kau menjadikan Ayden Robinson sebagai suami dan pasangan hidupmu, menerima segala kelebihan dan kekurangannya, menemaninya dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit sampai ajal memisahkan?"
Deg
Citra butuh oksigen saat ini juga, dia sedikit menjeda waktu untuk membalas ucapan sang pendeta. Anehnya, kenapa lidahnya berubah jadi kaku. Tangan Citra terulur menyentuh sebelah kepalanya. Dan..
Brukk
Citra pingsan saat itu juga.
Tbc
07 Oktober 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Late Love
General FictionEric Anderson mengalami nasib tragis dalam kisah asmaranya. Lalu suatu hari seorang gadis datang dalam hidupnya dan setia menemani hari-harinya dengan penuh kesabaran. Akankah gadis itu mampu membuat dirinya jatuh cinta lagi? Disclaimer : Ini hanya...