22. Happiness

3K 183 0
                                    


بسم الله الرحمن الرحيم

Kelas telah berakhir empat puluh lima menit yang lalu. Naisya, beserta ketiga temannya kini tengah duduk di sebuah cafe, sambil menunggu pesanan mereka disajikan oleh pramusaji. Sesekali mereka menggunakan fasilitas WiFi cafe itu untuk mencari referensi tugas kuliahnya.

“Aku masih kesel sama ucapan Syintia tadi,” tiba-tiba Sindy kembali menyinggung kejadian pagi tadi. Naisya hanya geleng-geleng kepala.

“Sin, aku yang dia nyinyirin loh. Tapi kenapa kamu yang keselnya keterusan?” tanya Naisya.

“Ya aku gak terima aja. Sahabat aku dikata-katain kaya gitu!” tegas Sindy.

Tiba-tiba seorang pramusaji datang dengan beberapa makanan yang telah dipesannya tadi.

“Permisi, Mbak. Dua spaghetti carbonara, satu nasi goreng seafood, satu nasi goreng original dan empat jus strawberry?” tanya pramusaji itu sebelum menyiapkannya di atas meja.

“Iya, Mas,” jawab Maya. Lantas pramusaji itu menaruh satu persatu menu yang barusan disebutkan itu.

“Terima kasih, Mas,” ucap mereka berempat. Pramusaji itu mengangguk.

“Kalau begitu, saya izin kembali ke belakang.” pramusaji itu kembali untuk melayani pelanggan yang lain.

Lantas mereka bertempat pun langsung menyantap makanan yang dipesannya. 

Dreet … dreet ponsel Naisya yang di simpan di meja, bergetar. Sebuah panggilan masuk. Naisya meminum terlebih dahulu jusnya sebelum mengangkat panggilan itu.

“Assalamualaikum, kenapa Mas?” salam Naisya, saat panggilan telah tersambung.

“Ekhem … ekhemm,” ketiga temannya berdehem menggoda Naisya.

“Aku lagi di cafe. Sama ketiga teman aku, Mas.”

“Yang udah punya pacar halal mah beda, ya” celetuk Nisha, sebelum ia memasukkan sesendok nasi goreng seafood ke dalam mulutnya.

“Yoi,” timpal Maya dan Sindy. Naisya mendelik ke arah ketiga temannya itu. Sindy, Maya serta Nisha tertawa.

“Emangnya sudah selesai pekerjaannya, Mas?”

“Belum, Say,” sahut Nisha.

“Sha, bukan kamu yang ditanya sama, Naisya!”

“Hahahaha.”

“Yaudah nanti aku sharelok, ya, Mas. Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab Naisya. Panggilan pun terputus.

“Ciee mau dijemput doi,” goda Sindy.

“Apaan si.” Naisya kembali melanjutkan makannya. “Eh makanan kalian udah habis?” tanya Naisya, saat ketiga temannya itu sudah tak lagi menyendok makanan. Jus milik mereka pun kini tersisa setengah gelas.

“Udah, kamu telponan kelamaan,” ucap Maya.

“Ehh nggak kok. Cuma lima menit, kalian aja makannya yang kecepetan. Kalian udah lapar dari tadi kah?”

“Iya.”

“Kamu mau dijemput?” tanya Sindy memastikan. Naisya mengangguk sebagai jawaban.

“Kalau gitu, aku pulang sendiri ya”

“Sudah nasib jomlo! Jadi terima aja, segala sesuatu harus dilakukan sendiri!” ledek Naisya.

“Hih! Mentang-mentang udah married,”

Sindy melirik jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore.

Jleger… suara petir terdengar begitu keras. Bersamaan dengan itu, hujan turun dengan derasnya. Memang sedari tadi saat mereka pergi ke cafe, cuaca sudah mendung.

When I Meet U, My ImamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang