25. (No Title)

26K 2.2K 182
                                    

Tepat pukul setengah sembilan akhirnya Lira mulai menaiki tangga untuk menghampiri Felix. Baginya, apa yang ia lakukan saat ini adalah tindakan nekat sama seperti saat ia mencoba bunuh diri waktu itu. Bagaimanapun Felix marah, juga menamparnya. Harusnya Lira menghindari laki-laki itu setidaknya sampai keinginan Felix untuk menampar lagi, meninju ataupun membanting barang di sekitarnya benar-benar hilang.

Rasa bersalah karena telah mengecewakan Felix dan mencoba membunuh anak sendiri pun tidak sebanding dengan rasa takutnya saat ini apalagi tamparan Felix tadi terus terlintas di otaknya.

Setelah menaiki tiga atau empat tangga, Lira berhenti sebentar mengatur napasnya yang ngos-ngosan juga menyeka air matanya yang tidak pernah berhenti berderai.

"Ra? Sini Ayah bantu." Ucap Ayah menaiki tangga cepat.

Dengan cepat Lira menggelengkan kepalanya menolak. Ayolah, ia tidak tau harus menaruh mukanya dimana, perselisihannya dengan Felix benar-benar membuatnya malu apalagi jika mertuanya itu tau bahwa ia pernah mencoba membunuh anaknya sendiri. Lagi pula mertuanya itu seperti hendak pergi keluar.

"Felixnya aja ya Ayah suruh turun." Lanjut Ayah tetap mendatangi Lira.

"Gak Yah." Tolak Lira lagi.

"Ya sudah, selesaikan masalah kalian malam ini juga ya."

Lirapun hanya mengangguk.

"Naik aja." Lanjut Ayah saat Lira masih diam di tempat.

Gadis itu pun melanjutkan langkahnya menaiki tangga demi tangga dengan Ayah yang masih mengawasi di tempatnya tadi. "Nanti Ayah bikinkan lift." Ujar Ayah yang melihat Lira susah payah menaiki tangga.

Saat Lira sudah menginjakkan kaki di lantai tiga, barulah beliau pergi.

Di lantai tiga sepi juga lumayan gelap, hanya satu lampu yang menyala tepatnya di tengah-tengah alat-alat gym berada.

Gadis itu kembali berhenti, menghapus air mata yang semakin deras berderai, ia bahkan mulai sesenggukkan lagi. Baju terusan selutut yang dikenakannya mulai basah oleh keringat, begitu juga dengan rambut di sepanjang dahi yang ikut lepek.

Dengan pelan Lira mendekati tempat yang diterangi lampu tersebut, semakin dekat ia dapat mendegar Felix sesekali menarik ingusnya. Laki-laki itu sedang duduk di Sofa yang membelakanginya.

Langkahnya tiba-tiba terhenti saat Felix berdiri dari duduknya, membuka kasar bajunya dan langsung meninju samsak bertubi-tubi dengan kuat.

Melihat itu, rasa takut Lira semakin menjadi. Keinginan untuk putar balik mengurung diri di kamar pun muncul. A- mama takut." Benaknya mengelus perutnya.

Dengan napas putus-putus menahan sesenggukkan, gadis itu nekat melanjutkan langkahnya.

Saat beberapa meter didekat Felix, Lira mempercepat langkahnya dan langsung memeluk Felix dari belakang, melingkarkan tangannya di pinggang telanjang laki-laki itu.

Felix jelas tersentak dan awalnya mencoba melepaskan pelukan itu, namun pelukan Lira yang semakin erat membuat ia mengurungkannya. Jujur saja, Felix seperti kehilangan tenaganya, kakinya pun terasa layaknya jeli sehingga ia tidak mampu berdiri lagi. Sepertinya, jantungnya yang berdebar kencang itu menguras banyak sekali tenaga.

Lira mulai menyandarkan tubuhnya sepenuhnya pada badan Felix juga kepalanya, masa bodoh dengan keringat yang membasahi pundak itu, membiarkan Felix merasakan jantungnya yang tak kalah berdegup kencang dan keberadaan anaknya di dalam perut itu. "Aku minta maaf." Ucap Lira kecil.

"Aku janji bakal sayang sama anak kita, aku sudah nerima dia." Lanjut Lira mulai terisak.

Felix hanya diam, tapi tangannya mulai mengelus tangan Lira yang ada di perutnya. "Tolong. Kasih tau semua kekurangan aku selama kita nikah, a-aku janji bakal berbaikin." Pinta Lira ditengah tangisnya. "Tolong jangan ceraikan aku." Lanjutnya dengan badan yang semakin bergetar karena tangisnya makin menjadi.

Teen Unplanned PregnancyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang