22. Pertengkaran yang Ke 999+

25.2K 1.9K 75
                                    

Malam itu Felix pulang dengan membawa papper bag bertuliskan samsung yang berisi burger, cemilan dan minuman. Laki-laki itu meletakkannya begitu saja tepat di atas dada Lira yang sedang berbaring tanpa memikirkannya akan jatuh atau tidak.

Ini sudah malam tapi rambut Felix tetap lembab oleh keringat, ia juga tampak kelelahan, buktinya setelah melepas topi dan bajunya kemudian melemparnya sembarangan ia langsung menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Seasik itu kah menghabiskan waktu bersama teman-teman sampai begitu.

"Kenapa belum tidur?" Tanya Felix sadar bahwa Lira masih bergeming.

Sementara Lira, entah mengapa kehadiran Felix malah membuat matanya memanas dan berair. Gadis itu mengabaikan pertanyaan Felix juga papperbag yang dibawanya dan memilih berbaring membelakanginya.

Pilihan Lira untuk tidak lagi tidur telentang membuat air matanya mulai berderai lambat, perut besarnya pun mulai terasa tidak nyaman.

Antara kesal dan sedih Lira juga tidak tau dengan suasana hatinya saat ini, tapi sumber kekesalannya sudah jelas adalah Felix.

"Burgernya harus dimakan malam ini Ra." Ucap Felix lagi.

"Jangan dekat-dekat, kamu bau." Ketus Lira saat merasa Felix mulai mendekatinya.

"Gue tau siapa yang jebak kita." Ucap Felix dengan dagu yang disandarkan pada pundak Lira.

"Siapa?" Tanya Lira masih dengan posisinya.

"Duduk dulu, lo miring gitu adek nya kasian."

Dengan malas Lira mendudukkan dirinya, bagaimana pun ia penasaran.

"Sofiya sama teman-temannya," Lirihnya, setelah itu ia diam kemudian mulai menyeka air matanya, "Bagas juga."

Mendengar itu jelas Lira terkejut. "Aku juga sebenarnya curiga sama Sofiya." Lirihnya mulai menangis. "Tapi Bagas? Dia sahabat mu kan?"

"Jangan salahkan Bagas. Gue ngasih tau lo bukan untuk ngecap dia salah." Ucap Felix menahan air matanya.

Lira yang melihat Felix saat ini membuatnya sadar bahwa Felix lah yang paling tersakiti, bayangkan sahabatnya sendiri yang merusak masa muda juga masa depannya. Kalau boleh memilih mending dibunuh 100 orang asing dari pada dibegitukan oleh 1 orang sahabat kan.

"Siapapun penyebabnya, akibatnya tetap sama, aku hamil, kita nikah." Ucap Lira mencoba tegar memeluk Felix.

Pundak Felix semakin bergetar juga menenggelamkan kepalanya di dada Lira semakin dalam.

Semakin bertambah usianya semakin hilang juga dokrin 'tidak boleh cengeng' dalam dirinya. Yang dia ingat sudah dua kali ia benar-benar menangis, yang pertama dihari pernikahannya.

Laki-laki memang harus punya alasan kuat untuk menangis, bahkan alasan itu harus 10 kali lipat dari pada perempuan baru ia boleh menangis. Felix tau, diusianya yang masih muda ini ia sudah harus jadi pengawal Tuhan untuk istri dan anaknya. Seharunya ia menangis lewat keringat dan lelahnya menjaga Lira, calon anak dan mertuanya dari kelaparan bukan seperti ini yang bahkan menangis dipelukan Lira.

Kecewa yang saat ini menyelimutinya hingga sesak membuat tangisnya tidak dapat dibendung lagi dengan kekuatan akal seperti biasanya.

"Mereka ngakuin itu?" Tanya Lira dengan pelan mendorong badan Felix menjauh dari pelukkannya.

"Iya. Emang rencana kami untuk bikin mereka ngaku malam ini."

Jadi tadi itu, 

Daniel yang paling dekat dengan Sofiya dan teman-temannya dengan mudah mengajak mereka untuk ke apartemennya dengan iming-iming 'uda lama gak main.' Sebenarnya gadis-gadis itu tidak mau karena Sofiya tidak bisa datang dengan alasan sibuk. Tapi akhirnya luluh juga dengan ajakan Daniel. Mereka sabar, tidak gegabah dengan membiarkan waktu mereka habis untuk bermain dan makan-makan terlebih dahulu. Puncaknya saat kedatangan Felix yang membuat tangan Sarah mendingin dan mereka mulai memaksa gadis-gadis itu untuk memberitahu kebenarannya.

Teen Unplanned PregnancyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang