Felix's Pov
Hari ini gue ngabulkan permintaan Lira untuk ketemu dan membahas tentang kehamilan dia.
"10 menit lagi gue tunggu kalau dia gak datang juga, gue pulang pokoknya."
"Maaf telat." Ucap Lira yang tiba-tiba sudah ada di belakang gue.
Hari ini Lira beda banget sama dua hari yang lalu. Dia berdiri di belakang gue dengan sedikit membungkuk, dagu yang sedikit lebam dan kuncir kuda nya yang sudah compang-camping. Gue tau dia kesakitan.
"Aku setuju untuk aborsi. Tapi aku butuh perawatan sehabis aborsi biar aku gak rasain sakit lagi. Aku takut gak bisa hamil lagi." Ucap dia dengan mata yang sudah siap menumpahkan air matanya.
Dia memegang erat pagar sepinggang yang ada di sampingnya. Tangannya gemetar, kakinya kelihatan banget gak bisa berdiri lama.
"Iya gue janji bakal bayar mahal untuk perawatan lo." Setidaknya gue gak biarkan dia ngerasa sakit lagi.
Lira menganggukkan kepala nya, "Tapi aku gak tau tempat yang kaya gituan." katanya.
"Nanti gue yang cari. Lo gak penasaran siapa yang bikin kita begini? atau lo emang tau siapa dibalik semuanya ini?"
"Sumpah aku gak tau." Jawab dia memundurkan badannya.
Setelah percakapan itu Lira tiba-tiba ling-lung dan dengan cepat gue mengangkat badan dia untuk masuk ke mobil.
Di dalam mobil gue bingung banget, gak mungkin gue bawa dia ke rumah sakit karena kehamilannya bakal ketahuan dan gak mungkin juga gue ninggal dia di sini.
Gak ada pilihan lain. Gue bakal bawa dia ke rumah. Semoga Bunda beneran pulang nanti malam.
Sesampinya di rumah, gue masuk ke rumah lebih dulu untuk periksa keadaan rumah. Untung nya semua orang lagi sibuk di dapur.
Gue angkat dia ke kamar di lantai dua dan menidurkannya di kasur. Sebenarnya gue penasaran apa yang bikin dia kaya gini.
Saat dilihat lebih dekat, ada banyak bekas goresan-goresan di wajah dia yang masih basah berwarna merah belum lagi luka lebam yang ada di dagu nya serta di sekujur kaki dan tangannya.
"Bagiamana dengan perutnya?" pikir gue yang tiba-tiba ingat kalau dia lagi mengandung.
Dengan pelan gue membuka kancing baju sekolahnya di bagian perut nya.
Gue tiba-tiba mematung. Seakan bisa melihat isi perut dia, gue ngebayangin ada bayi kecil di dalam perut dia. Mirip gue...
Dengan cepat gue menggelengkan kepala, kembali mengancingkan bajunya dan beranjak mengambil kotak obat.
Sebenarnya persetujuan Lira gak penting, karena meskipun dia gak setuju, aborsi bakal tetap ada bagaimana pun caranya.
Semuanya terjadi diluar kemauan kami. Kami dijebak. Gue bahkan gak pernah sedikit pun kepikiran untuk ngehamilin anak orang.
Kalau dilogikakan lebih baik mengorbankan satu nyawa dari pada dua nyawa. Right? Jangan muna kalian.
Seperti dalam masalah ini, gue rasa gak ada yang bakal berkabung kalau janin yang dikandung Lira meninggal. Sebaliknya bakal banyak orang yang kecewa kalau ternyata kami memiliki anak diluar nikah.
Gak terasa sebentar lagi jam 4 gue harus gantiin Papa di Cafe tapi Lira gak bangun-bangun dari tadi.
"Ra, Lira bangun."
"Eumm.." Lira membuka matanya pelan dan langsung terduduk saat matanya sudah jelas melihat gue.
"Maaf aku tiba-tiba pingsan."
"Cepet bangun, Gue sudah pesan gojek untuk antar lo pulang."
***
Lira's Pov
Hari ini aku pingsan. Jelas karena kehamilan ini badanku jadi melemah. Untungnya Felix tidak membiarkan aku begitu saja di pelabuhan.
Luka-luka kecil di tangan dan di wajahku sedikit membaik. Felix mengobatinya.
Tidak pernah terbayangkan bisa jadi seperti ini. Untungnya Felix mengakui bahwa anak ini adalah anak dia. Setidaknya dia juga berusaha untuk keluar dari masalah ini, walaupun dengan cara yang salah.
Aku memang mengenal Felix tapi aku memilih untuk tidak berurusan dengan dia sejak pertama kali mengenalnya di SMP. Karena memang kami tidak sefrekuensi.
Felix lahir dari keluarga berada, dia pintar, orang kaya, punya banyak teman dan terkenal. Bagaimana bisa dia memiliki anak dari perempuan seperti aku.
Semua yang ada pada diri Felix berbading terbalik dengan ku. Intinya dia kaya aku miskin. Jelaskan?
Semua tau kalau kita ini zoon politicon. Lalu timbal balik seperti apa yang terjalin antara aku dan Felix. Gak ada.
Dia bisa menghidupiku dan ibuku. Tapi tidak dengan aku. Tidak ada yang bisa ku berikan untuk dia. Dia juga tidak menginginkan anak ini.
Aku tau, Felix juga sama takutnya dengan aku. Sejak mengetahui kehamilanku dia memintaku untuk aborsi.
Aku berani sumpah kalau memang kehamilanku ini adalah pure kesalahan ku, aku akan mati-matian untuk membiarkan janin ini hidup.
I think abortion is the right way, karena ini sama sekali bukan kesalahan kami.
TBC
Minta dukungannya dengan Like dan komen.
Terima kasih sudah membaca.
Luv yuh
26 Juni 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Teen Unplanned Pregnancy
Ficção AdolescenteAfter Sperm Meet Ovum.... "Aku setuju untuk aborsi. Tapi aku butuh perawatan sehabis aborsi biar aku gak rasain sakit lagi. Aku takut gak bisa hamil lagi." -Lira "Seakan bisa melihat isi perut dia, gue ngebayangin ada bayi kecil di dalam perutnya. M...